Cinta si Bujang Kadaluarsa
Klickberita.com – “Hah?
Apa, Pak? Bu? Sukirman? Nggak salah?” Nada bicara Sawitri meninggi mendengar
nama yang disebut orangtuanya sebagai calon suami. Gadis berkulit putih itu
tahu betul siapa orang bernama Sukirman itu, bujang kadaluarsa.
“Kalau tidak mau, panggil salah satu cowok pilihanmu. Bapak tunggu malam ini juga. Masih untung ada yang mau menikahi kamu.”
Ilustrasi by Istockfoto |
Sayang, ucapan bapak banyak benarnya. Masih untung ada
yang mau mengawini gadis yang sedang hamil seperti dirinya. Bahkan orang lain
bisa saja menyebutnya, barang sisa, rongsokan, atau perawan rasa janda. Seperti
yang sering dilontarkan ibu-ibu tukang gosip di kampung.
Suatu pagi ibu membanting satu kantong plastik sayuran
sambil berderai air mata memarahi putrinya. Agaknya di luar sana, hatinya telah
tersayat-sayat oleh ucapan para tetangga yang kadang tak bisa dibendung.
Seperti mereka sudah sempurna saja hidupnya. Padahal bagi Sawitri, semua hanya
soal waktu. Tetangga hanyalah sekumpulan orang yang bertepuk tangan saat
melihat yang lain sukses dan mencibir di kala hal buruk terjadi.
“Sudahlah, Wit. Kamu terima saja sebelum bayi dalam
kandungan kamu mbrojol,” bujuk ibu.
“Baik, Pak, Bu. Beri Sawitri waktu satu malam. Nanti
pasti Angga datang meminang.”
Sepanjang hari itu, Witri terus berkutat dengan smartphone-nya. Menghubungi satu per
satu lelaki muda yang dulu hampir setiap hari mendatanginya. Membawa bermacam
kendaraan bagus yang menghiasi halaman rumah. Menjadi kebanggan bagi gadis
cantik itu, bahwa ia laku, bahkan laris.
Namun, tak satu pun mau mendekat saat ini. Tak ada yang
peduli dengan kehamilan dan pernikahan. Sudah
menjadi tabiat lelaki muda penebar pesona, bahwa mereka hanya mau
enaknya saja. Mana mau menanggung jawab seorang wanita dan anak kelak. Kalau
bukan karena benar-benar jatuh cinta atau sangat terpaksa.
Sial, Sawitri tak yakin betul siapa yang menanam benih di rahimnya. Pada hampir
semua lelaki yang datang, ia meluangkan waktu untuk menginap satu dua malam di
hotel, kost, villa bahkan rumah pribadi.
Dia mulai putus asa. Satu dua tetes embun jatuh. Begitu
singkat masa jaya. Masa di saat banyak yang memuja dan memuji. Banyak yang
peduli hingga Sawitri terlena, semua itu palsu belaka. Nyaris fiksi. Mengingat
beberapa hari yang telah lalu, membuat si cantik mual sehingga buru-buru
berlari ke kamar mandi.
Ibu memijat-mijat tengkuk putrinya yang terus memuntahkan
isi perut.
“Sabar, Nak. Sabar.”
“Hueeekkkk!”
Lepas muntah, badannya lemas. Menurut bidan usia
kehamilan memasuki minggu ke 13, di saat ketahuan hamil itulah para lelaki
menjauh.
“Kurang ajar mereka, Bu. Membuat Sawitri menderita
seperti ini!” Penuh amarah ia berkata.
“Sudah jauh-jauh hari ibu dan bapak peringatkan. Tapi
kamu ngeyel, nggak percaya orangtua. Sekarang baru tau kan akibatnya.”
Wanita muda itu tak mampu bicara lagi, hanya memeluk
ibunya penuh penyesalan. Kata maaf hampir saja meluncur, namun bibir mengatup
rapat. Air mata sudah menjadi bukti penyesalan mendalam, hatinya berbisik.
Satu bulan kemudian, Sawitri resmi menjadi istri
Sukirman. Mereka bertetangga dan sudah lama saling mengenal. Namun Witri tak
pernah menyangka bahwa laki-laki pencetak bata itu akan jadi jodohnya. Selama
ini ia bergaul dengan teman-teman yang klimis dan necis. Nyaris semuanya
rupawan.
Sukirman memang tidak jelek, namun karena sering
berpanas-panasan mencetak bata, maka ia kelihatan dekil. Witri berpikir
satu-satunya alasan Kirman mau menikahinya adalah karena usia yang tak bisa
lagi dibilang muda. Hampir berkepala empat sehingga sering dijuluki bujang
kadaluarsa. Selain itu, walaupun sudah hamil, Witri tetaplah wanita yang sangat
cantik dan memesona. Bahkan semakin cantik.
Sebuah pernikahan sederhana dilangsungkan karena badan
mempelai wanita yang mulai melar. Sehingga ibu berinisiatif melangsungkan akad
nikah tanpa riasan adat. Hanya memakai gamis longgar dan khimar dengan hiasan
bunga. Namun hal itu tak bisa membohongi para tamu yang tentu saja sudah tahu
keadaan Sawitri.
“Jangan kira aku sudi tidur denganmu, Sukirman! Kamu
tidur di bawah.”
Itulah satu kalimat selamat datang untuk suami yang baru
saja masuk ke dalam hidup Sawitri. Rela menerima apapun keadaanya. Sukirman tak
membalas satu kata pun dan tidur di lantai dengan alas bed cover. Satu hal yang
ia yakini, jika tidak sekarang maka suatu saat nanti hati Witri akan luluh.
Di malam pertama pernikahan mereka, Sukirman teringat
pada seseorang yang mungkin sedang terluka. Seseorang yang hatinya ia patahkan
dengan sengaja demi Sawitri. Ialah gadis belia yang ayu, ramah juga baik budi.
Amira.
Namun ia sadar, saat ini ia harus menjaga serta belajar
mencintai istrinya, Sawitri.
“Jangan berbuat semaumu di rumahku!” bentak Sukirman saat
pulang mencetak bata.
“Kamu jangan ikut campur urusanku, Lelaki Tua!” Sawitri
balik membentak. Di atas meja berserakan makanan ringan serta minuman kaleng
dan puntung-puntung rokok. Teman-teman Sawitri baru saja pulang saat mengetahui
kepulangan Sukirman.
Laki-laki itu tak habis pikir dengan ulah istrinya.
Padahal mereka belum genap satu pekan ke rumah yang dibangun dari hasil jerih
payahnya sendiri. Terkadang ia ingin mengadukan tingkah Sawitri kepada mertua
atau orangtuanya sendiri, namun sudah menjadi prinsipnya, bahwa masalah apapun
akan ia selesaikan sendiri atau berdua dengan istri.
Sebagai seorang pekerja keras, ia enggan merepotkan orang
lain bahkan orangtua dan keluarga.
“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu?”
“Apa maksudmu?” jawab Sawitri balik bertanya.
“Tolong, Wit, kamu jangan bawa-bawa teman lelakimu ke
sini. Itu sama saja kamu menginjak-injak harga diri saya sebagai lelaki, suami
sah kamu.”
“Saya tahu, tapi kan kamu lelaki tua yang hanya
menginginkan tubuh molek saya, Kirman! Memang saya nggak tahu.”
Sukirman menggeleng pelan. Tak percaya apa yang baru saja
didengarnya. Namun sedari awal ia sudah tahu akan bagaimana sikap istrinya.
Berbuat baik belum tentu mendapat jalan yang mulus.
Matahari bersinar terik membakar kulit Sukirman.
Bulir-bulir keringat menyatu menjadi aliran yang merembes membasahi baju.
Tangan-tangan kekar terus mencetak bongkahan-bongkahan tanah liat bagai tak
kenal lelah.
Beberapa tegukan melepaskan dahaga, kala seorang wanita
lari tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Sukirman! Sukirman!” panggilnya dari kejauhan.
“Ada apa, Bu?” tanya yang dipanggil cemas melihat ibu
mertuanya.
“Sa-Sawitri.”
“Kenapa Sawitri, Bu?”
“Sawitri, kompor meledak,” kata wanita itu terpatah-patah
dengan nafas tersengal.
“Tenang dulu, Bu. Tenang. Atur nafas dulu. Katakan yang
jelas ada apa?”
“Itu, Man, tadi kompor di rumahmu meledak. Sawitri dibawa
ke Puskesmas.”
Ibu langsung jatuh pingsang saat setelah memberitakan hal
itu pada menantunya.
“Ya Allah, apa ini?” Hati Sukirman menangis melihat
istrinya di rawat di ruang inap Puskesmas. Sawitri terus meraung-raung
kesakitan.
“Sabar, Mas.” Seseorang menepuk bahunya.
“Dik,” sapanya.
“Istri Mas terkena luka bakar 50%, tapi kabar baiknya
bayi dalam kandungan keadaannya baik-baik saja,” terang wanita berjilbab biru
muda. Ia adalah Amira, seorang perawat di Puskesmas. Seorang gadis sebatang
kara yang dirawat oleh orangtua Sukirman sejak kecil. Karena iba dan merasa
mampu, ia disekolahkan di akper oleh Sukirman sambil bekerja sambilan.
Seorang gadis yang tabah dan sabar. Serta pekerja keras.
Ia menaruh hormat pada Sukirman seperti kakaknya sendiri, bahkan tumbuh rasa
sayang yang rumit sehingga ia bersedia saat dilamar Sukirman beberapa bulan
lalu.
Setiap hari dengan telaten Sukirman dan Amira merawat
Witri. Lukanya yang amis tak mejadikan mereka merasa jijik. Bahkan ketika
orangtua Sawitri sendiri muntah, mereka berdua begitu tabah.
Hari-hari di Puskesmas menjadi momen kembali
menghangatnya hubungan Sukirman dengan adik angkatnya yang sempat mendingin.
Kekompakan mereka terbukti ketika merawat si sakit. Sering mereka bicara hal
sama dalam satu saat seperti saling membaca pikiran masing-masing.
“Mas, Witri mau bicara.”
“Bicaralah, Wit. Saya mendengarkan.”
“Maafkan saya selama ini, selalu bersikap dan berkata
kasar.” Sekuat tenaga Witri menahan tangis.
“Saya tahu siapa Amira, Mas, jika memang--“ perkataannya
terhenti oleh tangis yang tak bisa dibendung, “jika memang Mas mau kembali
padanya saya iklhas dan rela.”
“Witri, kamu ngomong apa sih? Kamu istri saya, dan akan
selalu begitu.”
“Lagipula, Witri sudah cacat, Mas. Sudah tak cantik
lagi.”
“Jujur saya memang jatuh hati pada Amira,” kata Sukirman
mematahkan hati Sawitri.
“Tapi itu dulu, Wit. Sebelum menikahi kamu. Sekarang saya
memiliki kamu. Tak ada alasan lagi untuk meninggalkan atau menduakanmu.”
“Tapi, Mas. Kenapa? Kenapa Mas mau bertahan untuk wanita
jahat dan kotor seperti saya?”
Sukirman menggenggam tangan istrinya. Menatap dalam bola mata yang
memerah dan basah.
“Saya dulu kasihan karena kamu hamil, kamu lebih
membutuhkan saya ketimbang Amira. Dia muda dan berbakat, masih bisa memilih
siapa saja. Sedangkan kamu, tak cukup waktu bagimu menunggu, Wit. Lalu sekarang
saat kamu sakit, apakah saya akan meninggalkan kamu? Tidak, Wit. Saya akan
terus belajar mencintai kamu.”
Sawitri tak mampu berkata lagi. Tangisnya pecah. Mereka
saling berpeluk dalam keharuan dan cinta yang prematur. Di balik pintu seorang
gadis menyeka air mata harunya sambil membenarkan ucapan Sukirman.
Hari itu, tak ada yang patah hati. []
Penulis:
Arwen Candra Tatiano
Baca juga cerita Arwen lainnya:
The Photograph
Bukan Bintangku
Pertarungan Sejati
Mesin Cuci untuk Santi
Baca juga cerita Arwen lainnya:
The Photograph
Bukan Bintangku
Pertarungan Sejati
Mesin Cuci untuk Santi
Posting Komentar untuk "Cinta si Bujang Kadaluarsa"