Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjaga Aset Negara dari Cengkeraman Uang Kotor: Evaluasi Kritis Penegakan Hukum Anti Money Laundering di Indonesia

 

Dian Yustikartika Basri Siregar

Klickberita.com-Indonesia, sebagai negara berkembang dengan sistem keuangan yang terus tumbuh, tidak luput dari ancaman pencucian uang (money laundering). Fenomena ini bukan sekadar kejahatan ekonomi, melainkan juga financial crime yang terorganisir, terstruktur, dan kerap melibatkan pelaku lintas negara. 

Pencucian uang menjadi jembatan aman bagi hasil tindak pidana untuk disamarkan dan dimanfaatkan seolah-olah sah. Bahaya laten dari kejahatan ini menggerogoti fondasi ekonomi, sistem perbankan, dan integritas institusi negara.

Kejahatan ini pula yang membuat Indonesia pernah dimasukkan dalam Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh Financial Action Task Force (FATF) pada awal 2000-an. Meski telah keluar dari daftar tersebut, tantangan baru terus bermunculan seiring dengan kompleksitas skema kejahatan keuangan modern.

Landasan hukum utama dalam pemberantasan pencucian uang di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). 

UU ini merupakan pembaharuan dari UU Nomor 15 Tahun 2002 dan UU Nomor 25 Tahun 2003. Poin penting dalam UU ini antara lain:

1. Asas strict liability, di mana penyidik tidak perlu menunggu adanya putusan pengadilan atas kejahatan asal (predicate crime) untuk menjerat pelaku pencucian uang.

2. Prinsip pembuktian terbalik, yang mewajibkan terdakwa menjelaskan asal-usul hartanya.

3. Kewenangan PPATK, sebagai financial intelligence unit, untuk menerima, menganalisis, dan menindaklanjuti laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM).

UU TPPU dapat diterapkan untuk menyasar berbagai kejahatan: dari korupsi, narkotika, perdagangan orang, hingga kejahatan perpajakan. Kendati kerangka hukum sudah mapan, penegakan hukum terhadap pencucian uang masih menghadapi sejumlah hambatan:

1. Minimnya pendekatan follow the money. Aparat penegak hukum masih fokus pada tindak pidana asal dan abai menelusuri aliran dan aset hasil kejahatan.

2. Kurangnya sinergi antar lembaga. Menurut pakar hukum pidana Dr. M. Arief Amrullah, “Banyak institusi hukum kita masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal kejahatan pencucian uang membutuhkan orkestrasi kelembagaan yang harmonis.”

3. Aparat belum optimal memahami teknik financial investigation. Padahal, pencucian uang sangat mengandalkan skema perbankan, transaksi digital, dan penyamaran aset melalui nominee atau badan hukum.

Laporan Indonesia Financial Intelligence Unit 2023 menunjukkan hanya 9,8% dari laporan LTKM yang berujung pada putusan pengadilan. Angka ini mengindikasikan gap besar antara
deteksi dan penindakan.

Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, “UU TPPU Indonesia sudah sangat progresif, namun penegakan yang lemah akan membuatnya menjadi toothless tiger. Dibutuhkan penyidik dan jaksa dengan keahlian multidisiplin di bidang ekonomi, IT, dan hukum keuangan.” 

Senada, Yenti Garnasih, pakar pencucian uang dan eks Ketua Panitia Seleksi KPK, menekankan: Money laundering adalah kejahatan sempurna bagi koruptor dan pelaku bisnis ilegal. Kalauaset mereka tidak disita, mereka bisa kembali ‘hidup nyaman’. Penegakan hukum harus menyasar uangnya, bukan hanya orangnya.”

Mengatasi kelemahan dalam penegakan hukum AML di Indonesia memerlukan langkah strategis sebagai berikut:

1. Peningkatan kapasitas SDM penegak hukum. Harus ada pelatihan berkelanjutan terkait financial crime, skema offshore, dan teknologi kripto.

2. Penerapan pendekatan multi-agency dan task force. Seperti diterapkan di beberapa negara, unit gabungan dari Polri, Kejaksaan, PPATK, dan OJK harus memiliki mandat bersama untuk membongkar jaringan keuangan ilegal.

3. Optimalisasi perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based forfeiture). Hal ini diatur dalam Pasal 38 UU TPPU dan telah digunakan secara terbatas, namun perlu diperluas untuk efektivitas pengembalian aset.

4. Pembaruan kebijakan terhadap aset digital dan fintech. UU TPPU belum secara eksplisit merespons fenomena crypto-based laundering. Padahal, kasus seperti Indra Kenz atau Doni Salmanan menunjukkan urgensi regulasi ini.

Perang terhadap pencucian uang bukan semata penegakan hukum, tetapi juga strategic battle untuk menjaga integritas negara dan keadilan sosial. Setiap rupiah hasil kejahatan yang tidak disita akan menjadi benih kejahatan berikutnya. UU TPPU telah menyediakan senjatanya, tinggal bagaimana negara memastikan pelurunya tepat sasaran.

Pemberantasan pencucian uang bukan hanya soal penegakan, tapi juga soal keberanian politik dan integritas institusi. Dalam kata-kata mendiang Kofi Annan, Sekjen PBB: "Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on societies… It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of human rights, and allows organized crime to flourish." Dan pencucian uang adalah oksigen utama dari korupsi itu.

Penulis: 
Dian Yustikartika Basri Siregar, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Posting Komentar untuk "Menjaga Aset Negara dari Cengkeraman Uang Kotor: Evaluasi Kritis Penegakan Hukum Anti Money Laundering di Indonesia"