Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mesin Cuci untuk Santi

Klickberita.com – Aku sedang istirahat dan berniat untuk membeli minum di area Car Free Day, ketika seorang sahabat wanita datang padaku dengan wajah lesu dengan bayi montok di gendongannya.  Matanya kuyu, menyiratkan beban di pundaknya.  Lima atau sepuluh tahun yang lalu,  mungkin dia adalah gadis biasa yang ceria, enerjik dan bertenaga.


Itu bisa terlihat dari postur tubuhnya yang terlihat kuat dan atletis untuk ukuran wanita berkepala tiga.  Aku dengar dia mantan atlet pencak silat. 

Ilsutrasi mencuci | Istockfoto

Selain itu, dia juga seorang pemotor yang cukup handal dan taat berlalu lintas.  Dia bukan wanita yang seenaknya memotong jalan, menyalakan lampu sign kanan tapi belok ke kiri, berkendara pelan di jalur cepat atau sebaliknya. Pokoknya dia itu sopan di jalan raya. 




Suatu waktu,  aku hampir saja, hampir saja mempercayakan motor Ninja-ku dipinjamnya.  Sebelum menyadari bahwa Santi tak cukup tinggi untuk mengendarai. 


Sekarang dia di rumah.  Menjadi ibu rumah tangga.  Wanita itu sering berkelakar bahwa dirinya 'dikandang'.  Itu lelucon yang cukup garing sebenarnya.  Tapi demi menghargai usahanya melawak,  aku mau saja tertawa.  Bukankah tertawa itu baik, di samping untuk kesehatan juga baik untuk menjaga perasaan orang lain yang berusaha melucu. 


"Hatiku sempit."


Well,  baiklah.  Itu bukan salam atau sapaan,  tapi keluhan.  Dasar tidak sopan.  Bertemu orang dimana saja harusnya menyapa terlebih dahulu.  Tapi mungkin Santi lupa menyetel kesopanannya siang ini.  Atau kesopanan itu tanggal ketika ia mengganti kaos kaki dan lupa tidak dipakai lagi.


"Oh,  hai.  Selamat pagi."


"O,  iya.  Selamat siang,  Tuan. Ini sudah pukul 9 artinya sudah siang."


Tuan adalah sapaan yang terkadang dia berikan.  Itu merujuk pada banyak hal.  Antara lain,  perbedaan usia dan gender, perbedaan status sosial,  perbedaan taraf pendidikan, dan terakhir perbedaan cara berpikir yang kesemuanya itu berjarak antara lebih dan kurang.  Tak mengapa, semua orang boleh menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dengan caranya masing-masing.  Aku pun punya cara untuk menghormati orang lain,  sebagai manusia, sebagai anak atau orangtua, sebagai murid, kawan, rekan kerja,  dan lain sebagainya. 




Tentu saja tidak perlu merasa keberatan kecuali, misalnya,  kau dipanggil Tuan oleh seseorang yang menimpamu dengan sekarung beras. 


"Saya mau minggat. Tapi sebelumnya Tuan harus mengajari saya memesan kamar di hotel," pintanya. 


"Kenapa mau ke hotel?"


"Kan saya mau minggat.  Mau ngadem dengan bayi saya."


"Aduh,  kenapa mesti begitu, sih?"

Sepertinya baru saja aku melayangkan pertanyaan yang tidak seharusnya.  Ya, anggap saja keceplosan tadi. 


Biar bagaimana dia temanku.  Meskipun kadang-kadang begitu aneh.  Seperti ingin cepat tua tapi tindakannya tidak mencerminkan itu.  Kalau boleh kunilai kepribadian wanita ini, antara  pikiran dan tindakan tidak singkron.  Tapi itu bukan berarti bahwa dia seorang yang buruk sebagai teman. 


"Suamiku galak.  Dia sering marah-marah.  Padahal dia tahu aku repot.  Kan ngurus bayi. Maunya apa-apa beres dan tersedia."


Jeda.  Mungkin menarik napas untuk rentetan kalimat aduan berikutnya.  Ah,  sial.  Hari ini harusnya menjadi hari santai buatku.  Tapi kalau kejadiannya seperti ini,  mau tidak mau aku harus beralih profesi menjadi konsultan pernikahan dadakan. 


Adalah wajar bila Santi merasa demikian.  Mungkin dia berasal dari rumah orangtua yang yang nyaman, mungkin biasa bebas kesana-kemari.  Maka kali ini ketika harus berkutat untuk urusan domestik di dalam rumah membuatnya mudah mengeluh. 


"Saya capek, Tuan.  Bahkan saya mencuci pakaian dua kali dalam sehari.  Manual."


Oh, jadi itu masalahnya.  Ya, pasti itu akar masalahnya.  Mudah sekali ditebak.


"Jangan tiba-tiba minggat.  Nanti malah jadi masalah. Wajar namanya juga lelaki pasti maunya beres."


"Tapi saya kan harusnya nggak dimarah-marahin kan, Tuan? Saya ini istri, bukan babu."


"Mungkin dia sedang penat.  Banyak pikiran di kerjaan.  Bisa jadi kan teman minta bayaran,  uang dari atas belum cair, belum lagi ditipu,  dibayar tidak sesuai janji. Makanya jadi gampang marah."




"Iya juga sih.  Bisa juga begitu. Uhm...  Beban kerja. Ya... ya...  ya.... "


"Meskipun begitu dia nggak mungkin cerita."


"Uhm,  sebenarnya dia cerita sih,  Tuan.  Ya seperti dugaan Tuan tadi.  Hehe. Mungkin dia stres karena otaknya yang seupil hiu mendapat tekanan."


"Nah, walaupun cerita dia sebenarnya cuma ingin didengar kan?"


"Iya, Tuan benar."
Terkadang aku bukan ingin menasihati atau semacamnya.  Berapa pun usia Santi,  dia sudah tergolong orang dewasa.  Aku hanya mengarahkan agar dia berpikir dari sisi lain saja. 


Ya,  semua teman-temanku, kuharap juga begitu, mau dan mampu berpikir secara rasional serta bertindak proporsional.


Kurasa cukup untuk mengarahkan Santi berpikir lebih bijak. Dia bukan bodoh, sebenarnya dia wanita yang lumayan cerdas.  Andai pikiran dan tindakannya sejalan pasti dia akan menjadi pribadi yang lebih baik. 


Kulihat anak bayi gemuk di gendongannya masih tidur.  Santi pamit. 


"Saya harus minum kopi," ujarnya.


"Jangan hari ini. Minumlah air putih lebih banyak. Supaya tidak gampang lelah."


"Hehe, iya. Saya tahu,  terkadang saya harus berpikir dari sisinya.  Andai saya ada di posisinya,  mungkin saya takkan bisa."


"Santi,  menikah itu bukan untuk bergalau ria.  Tapi untuk saling mendewasa. Sudah bukan waktunya pundung dan minggat.  Hadapi dengan gagah berani."




"Ya, liat-liat nantilah."


"Belilah mesin cuci, ketimbang uangmu untuk menginap di hotel."


"Hehe. Terima kasih."




Sialan, mendadak aku bijak.  Tapi ternyata istirahatku siang ini sudah terganggu.  Sepertinya sudah agak terlambat datang ke pertemuan dengan Dato Airis.  Kami ada janji berburu tuxedo dan makan lobster juga mungkin.  [Arwen Candra Tatiano]

Posting Komentar untuk "Mesin Cuci untuk Santi"