Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Hanya Milik Warga, Rumah di Pondol Keraton Milik Sejarah



Klickberita-Suasana duka dan ketidakberdayaan menyelimuti kawasan Pondol Keraton, Manado, pada Rabu pagi, 23 April 2025. Sejumlah rumah milik warga keturunan Jawa yang telah tinggal di kawasan itu selama beberapa generasi, dihancurkan dalam proses eksekusi yang dilakukan oleh aparat dan alat berat. Di antaranya adalah rumah keluarga Surijadi Supardjo.

"Saya berada di gang Pondol pagi itu. Saya hanya bisa melihat, tak bisa berbuat apa-apa," ujar Surijadi (Kamis, 26/7/2025), warga yang menjadi saksi sekaligus korban penggusuran. Ia sempat memindahkan beberapa barang dari rumahnya ke Jalan Sam Ratulangi. 

Sekitar pukul 09.00 WITA, aliran listrik mendadak dipadamkan, di tengah kegelapan itu Surijadi dan keluarganya menyelamatkan barang-barang yang bisa diangkut. Tak lama kemudian, barang-barang yang sempat diselamatkan diangkut ke Jalan Sea.

Selanjutnya pukul 14.00 WITA, Surijadi mendapat telepon dari sang istri. “Kesini dulu, rumah mulai dibongkar. Ekskavator sudah masuk,” katanya. Saat Surijadi tiba di lokasi, ekskavator telah berada tepat di depan rumahnya. Di dalam rumah masih tersimpan barang-barang berharga, termasuk sebuah motor antik Honda Astrea Supercup keluaran 1970-an.

Tanpa diberi waktu untuk mengosongkan rumah, bangunan seluas 9 x 20 meter yang telah berdiri sejak 1958 itu langsung diratakan dengan tanah. “Saya kira masih diberi kesempatan mengosongkan rumah, ternyata tidak. Pengadilan langsung eksekusi. Lemari kayu, peralatan dapur—semuanya hancur,” tuturnya.


Dokumentasi rumah keturunan Wongso

Rumah tua itu dimanfaatkan keluarga keturunan Wongso untuk mengais rezeki. “Rumah saya juga dihuni tujuh anak kos. Di situ saya buka usaha warung nasi. Tante saya, Ngatina Wongso jualan sembako,” tambahnya.

Rumah bukan sekadar tempat tinggal. Sejak dulu, rumah keluarga Suparjo menjadi pusat pertemuan masyarakat Jawa di Manado. Di sana sering diadakan pertunjukan wayang, ketoprak, hingga pengajian. "Tante Ngatina Wongso cerita bahwa bapak saya juga pemain ketoprak," ujar Surijadi.

Pemakaman GKR Sekar Kedaton | Foto Aliansi Pondol Keraton Bersatu

Pondol Keraton bukan hanya pemukiman biasa. Kawasan ini menyimpan sejarah panjang pengasingan dan asimilasi budaya Jawa di Manado. Menurut Surijadi, sejak 1960-an hingga 1970-an, seni bela diri pencak silat juga aktif dilatih di rumah Pak Rahmat oleh keluarganya.

Sayangnya, tak satu pun dari sejarah itu jadi pertimbangan. Tidak ada mediasi, tidak ada musyawarah warga. Bahkan, aparat lingkungan hanya berdiri menyaksikan. 

“Saya lihat Pak Arman Rahmat sempat bertanya, ‘Mana batas-batas lahan di sini? Kalau mau membongkar, harus jelas batasnya.’ Tapi semua sudah terjadi,” kenang Surijadi.

Sejarah keluarga Wongso sendiri dimulai sejak awal abad ke-20. Sekitar tahun 1910, Eyang Wongso datang ke Manado dari Semarang setelah dibuang oleh Belanda. Ia kemudian menikah dengan Welmina Daada, seorang gadis Ambon yang menetap di Manado bersama orang tuanya yang bekerja di pembangkit gas milik pemerintah kolonial.

Mereka tinggal di Pondol sejak 1920-an dan membesarkan delapan anak—salah satunya Jainab Wongso, ibu dari Surijadi. Keluarga ini kemudian berkembang dan menjadi bagian penting dari komunitas Jawa di Manado.

Kini, satu per satu rumah keluarga besar Wongso mulai runtuh. Rumah Yudi Wongso, sepupu Surijadi, bagian dapurnya juga telah dirobohkan. Sejumlah barang dan struktur bangunan tak sempat diselamatkan.

"Kami hanya ingin didengar. Rumah ini bukan hanya milik kami, tapi juga milik sejarah. Sayangnya, negara tidak hadir untuk melindungi," tutup Suriadi.


(Klickberita/AD)


Posting Komentar untuk "Bukan Hanya Milik Warga, Rumah di Pondol Keraton Milik Sejarah"