Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

The Photograph


Klickberita.com – Siang masih merajai hari setelah masa bergulir lebih dari 48 jam. Malam enggan menyapa warga kota. Desas-desus kiamat terdengar begitu nyata. Dekat dan menguarkan aroma duka.


Tak pelak warga pun kocar-kacir. Huru-hara terjadi di segala penjuru. Rumah-rumah,  kantor pelayanan masyarakat, supermarket, juga toko-toko dan sekolah-sekolah. Namun dalam situasi genting seperti saat ini, justru kemalanganlah yang didapat warga kota karena satu-satunya jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar justru ambruk diterpa badai dahsyat.

Ilustrasi by Nowseethis.org
Badai yang mengamuk dan memaksa semua mata terjaga.  Bayi-bayi, orang dewasa,  anak-anak juga para lansia.


Ketakutan, penjarahan, kepanikan pun mengalir deras tak terbendung lagi.  Kantor pelayanan publik pun tutup. Tak ada lagi tempat pengaduan, pejabat serta aparat sibuk dengan urusan masing-masing. Saluran telepon telah terputus juga bersama hilangnya jaringan internet di kota itu. 


Mereka bisa saja keluar ke arah hutan. Namun tak ada yang memastikan tempat tumbuhan dan hewan itu aman. Karena dalam situasi seperti sekarang ini, tidak ada yang bisa menjamin tempat yang aman.  Agaknya orang-orang enggan mengambil risiko berjalan di tengah hutan. Atau mereka bisa saja keluar melalui jalur laut, mempertaruhkan keselamatan di tengah amukan badai. Sadar atau tidak mereka terjebak. Kota sudah terisolasi.


Sebagian orang yang percaya kiamat, mendatangi tempat-tempat ibadah. Mereka memohon pengampunan. Mengharapkan kematian yang indah. Mereka mendekati Tuhan.


Sedangkan sebagian lain memilih tinggal di rumah masing-masing dengan persediaan makanan banyak. Mereka yang tak percaya akan adanya hari kiamat. Tak terkecuali Gritti dan suaminya Pato.


"Mungkin benar dunia akan kiamat. Tidakkah sebaiknya kita ikut berdoa di rumah ibadah?" tanya Pato sambil sesekali melongok ke luar jendela. Hanya pemandangan kota yang lengang dan berantakan ia dapat.


"Siapa yang akan menjaga Belvi?"


"Kita bisa ajak dia, kan?" Tangan Pato membelai kening bayi mungil yang ada di baby box.
Belvi, masih terbuai mimpi tanpa terganggu oleh kecemasan dan ketakutan orang-orang dewasa. Sesekali ia hanya akan menangis karena lapar atau popok yang basah. Badai sudah reda, ia tenang.


"Akan sangat merepotkan, Sayang," sergah Gritti sambil meminum susu hangat. Tampaknya wanita itu tidak terlalu cemas akan dunia yang mungkin segera berakhir. Fokusnya tetap pada si buah hati.


Seseorang berjalan dari arah timur. Badannya tinggi besar, berjubah hitam. Dari kejauhan orang memandang dan berpikir bahwa dialah pencabut nyawa. Kapak besar yang dia bawa dibiarkan terseret bergesekan dengan jalan atau apa saja yang dilewatinya.


Sungguh orang-orang melihat dengan penuh kengerian dari balik jendela masing-masing. Wajah mereka mengkerut penuh ketakutan. Kecuali beberapa pemuda yang berkumpul sambil minum-minum di depan mini market yang ditinggal oleh karyawan.


Mereka terus minum, bicara, dan berdendang seolah itu adalah hari terakhir mereka.


"Mari bersulang!" seru gerombolan remaja itu. Saat orang berjubah hitam mendekat mereka tanpa takut justru menawarkan minuman. Suasana kota semakin gelap, orang berjubah itu seperti menyeret malam ke dalam kota.


"Aku juru selamat," bisik lelaki tinggi besar itu sembari memberikan lembaran kertas kecil pada gerombolan remaja. Satu orang satu lembar.


"Katakan pada yang lain, jika ingin selamat datanglah temui aku di sini."


Para remaja itu bergegas menemui keluarga masing-masing, sambil membawa lembaran kertas. Mereka mengajak semua yang ditemui untuk datang ke depan Seven Eleven. Termasuk orang-orang yang ada di rumah ibadah.


Sebagian percaya, sebagian lain tetap berpegang teguh pada Tuhannya. Pato, termasuk orang yang ingin menemui juru selamat itu, namun istrinya menolak.


"Jangan percaya begitu saja. Apakah dengan membagikan sebuah kertas dia bisa menyelamatkan kita? Tinggallah saja di rumah, Pato."


"Tapi, keadaan telah terlalu aneh untuk dipahami," bantah Pato.


"Orangtua kita tak pernah mengajarkan hal itu. Kita harus terus percaya pada Tuhan. Belum tentu juga orang itu percaya pada Tuhan."


Kali ini Pato diam tak menanggapi lagi ucapan Gritti. Ia lebih memilih berdamai dengan keadaan sembari menikmati sebuah keindahan tiada tara. Hadiah besar, anugerah dari Tuhan, yaitu Belvi.


Bayi mungil tak berdosa dengan wajah berseri, mata bulatnya indah berwarna kecoklatan. Seperti tetesan madu, penyembuh dari alam. Di sisi lain, warga berbondong-bondong mendatangi si jubah hitam. Berebut untuk mendapatkan kertas yang sama. Namun seperti tak ada habisnya kertas itu pun masih saja ada bagi siapa saja yang datang. Orang-orang telah hilang kepercayaan, mereka mengingkari Tuhannya.


Si jubah hitam menanggalkan jubahnya. Tampak sesosok makhluk yang sangat indah. Lelaki tampan, tinggi besar berkulit terang.


"Ash to ash, dust to dust." Pria itu berucap. Warga melihat kertas hitam di tangan yang berbingkai warna putih mirip kertas dari kamera polaroid.


Lama kelamaan tampak wajah mereka di kertas itu. Seketika, siapa saja yang memegang kertas dan melihat bayangannya, hancur lebur menjadi debu. Sebagian lain menangis saat mendapati wajah orang yang dicintainya ada di kertas itu. Mereka segera berlari untuk menghampiri, namun tak cukup waktu. Orang yang wajahnya terlihat di kertas, hancur seperti yang lainnya juga.


Hanya tersisa orang-orang yang masih berpegang teguh pada keyakinannya. Kepercayaan kepada Tuhan. Termasuk Gritti dan Pato, meskipun mereka ragu.  Tapi tidak sampai mengambil keputusan yang salah.


Kota itu telah dibersihkan. Makhluk pembagi foto itu pun hancur berubah menjadi butiran-butiran putih dan ringan seperti kapas. Berterbangan ke angkasa.

Penulis: Arwen Candra Tatiano

Baca juga cerita Arwen lainnya:
Pertarungan Sejati 
Bukan Bintangku 
Mesin Cuci untuk Santi 

Posting Komentar untuk " The Photograph"