Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Bintangku


Klickberita.com – Tubuhku rebah di atas sofa setelah menelan dua butir paracetamol. Kepala dan badan terasa sakit, belum lagi hidung yang mampet membuatku benar-benar sulit bernapas.


Sulit bernapas dalam artian sebenarnya, juga dalam kiasan. Kalian pasti tahu bagaimana rasanya bila gerak terbatas, berusaha mencuri waktu di sela-sela kegiatan yang padat. Yang terparah ialah mencuri kesempatan untuk mencintai seseorang yang sebenarnya tak kekurangan cinta.


Bintang adalah lelaki yang kerap datang kemari. Membakar malam-malam sepiku, menghangatkan hari-hariku yang sunyi dan dingin.

Ilustrasi by Getty Image

Itu dulu, sebelum sekarang aku tahu bahwa dia, si Bintang itu hanya memanfaatkanku saja. Seperti toilet tetangga ketika toiletmu mampet. Kau tau kan? Kita akan sengat tertolong bila menemukan toilet lain ketika situasi darurat seperti itu.


Toilet mungkin bukan sebuah analogi yang baik, akan tetapi saat ini ketika badanku sakit tanpa hadirnya merawatku itulah perumpamaan yang paling pas.


Andai siang itu aku tidak kehabisan pembalut, sehingga terjadilah pertemuan pertama dengan Bintang yang kala itu menggendong Naira. Siapa kira dia lelaki beristri ketika dia bertanya, kapas mana yang biasa digunakan untuk bayi.
Alih-alih membantunya aku justru balik bertanya di mana ibunya.


"Dia sudah meninggal."


Itu jawaban yang sama sekali tidak kuharapkan. Meskipun kuakui Bintang adalah lelaki rupawan beserta bayi perempuan yang menggemaskan.


"Oh, maafkan saya. Saya turut berduka."


Setelah itu kami sepakat saling berkenalan dan bertemu secara rutin. Siapa yang tak bahagia mengenal lelaki satu paket, lengkap dengan bayinya?


Gadis mana yang tak akan melambung bila terus dibuai mesra, dijanjikan istana serta cinta yang setia.


Nyatanya waktu itu dia berbohong. Bintang sengaja menjeratku ke dalam cinta yang terlarang. Karena ibunya Naira masih hidup, hanya saja dia begitu lesu karena sedang mengandung.


Saat ini Bintang adalah orang yang paling kubenci namun paling kuharapkan hadir menemaniku. Kepalaku sakit, rasanya dunia berputar cepat tanpa mengajakku serta.


Satu, dua, tiga, aku terus menghitung jam kegelapan malam justru datang lebih dulu. Tanpa Bintang, hujan turun. Sehingga hatiku andai kalian bisa lihat, sama gelapnya dengan pemandangan langit malam ini.


Obat itu memberikan sedikit rasa nyaman, sehingga aku mengantuk.


Seseorang mengetuk pintu ketika mataku masih terasa lengket. Dengan malas aku bangkit berjalan menyambut seseorang di balik pintu. Persis seperti dugaanku, Bintang.


"Duduk," pintaku alih-alih marah dan mengamuk atas semua perbuatannya. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang dalam, mungkin luka. Sehingga seketika membuatku tak tega.


Ah, iya, aku selalu saja lemah di hadapan Bintang. Aku selalu saja menurut. Meskipun akalku menolak, sekuat tenaga, tapi harus kuakui tubuhku membutuhkannya. Aku tak bisa menafikan aliran hasrat diri yang pada akhirnya mendapatkan muaranya.


"Aku tak bisa lama. Bayiku lahir tadi malam."

Baca juga:

"Oh, selamat."


"Tapi Risa tidak selamat."


Diam, adalah respon terbaik bila kita berada dalam situasi yang membingungkan. Setidaknya informasi dari Bintang jelas, hanya saja aku belum bisa mengerti apa yang harus kulakukan atau kukatakan.


"Aku teman Risa." Kuucapkan setiap ada yang bertanya di rumah duka. Apakah perlu aku ada di sini? Entahlah, setidaknya sebagai teman Bintang, atau apapun dia menganggapku, aku patut berbelasungkawa.


Kehilangan seseorang yang kita cintai dalam hidup tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seberapa sakit, hanya yang mengalami yang tau rasanya. Dan Naira adalah salah satu yang sedang menderita.


Kulawan semua egoku. Di sana aku hadir sebagai orang baik yang melakukan penghiburan kepada yang berduka. Naira anak yang manis meski belum lancar bicara.
Ketika semua orang tak berhasil membujuknya, justru aku yang memperoleh kesempatan itu.


"Naira, ibu mau pergi."


Tangis haru pun kembali pecah ketika anak berambut keriting itu berpisah dengan ibunya.


"Untuk apa datang kembali?" tanyaku pada Bintang setelah tiga bulan kucoba untuk lupakan. Menjalani hidup normal seperti biasa.


"Amira, mohon maafkan aku. Kali ini aku datang untuk mempersuntingmu. Aku akan datangi orang tuamu."


"Apa?" Ada apa dengan hatiku? Kenapa diam? Bukankah ini yang kuharapkan sejak dulu.
Bukankah ini yang kumau, menjadi pasangan sah Bintang. Menjadi ibu bagi Naira. Naira, Amira, kami pasti menjadi sahabat yang serasi.


Bukankah tinggal bersama anak-anak menunggu Bintang pulang adalah impianku? Bukankah aku sangat menggilai dan candu akan diri Bintang yang sedang memohon kepadaku?


"Amira, maukah kau menjadi istri sahku? Ibu bagi anak-anakku?"


Meskipun ragu aku mengangguk. Rasanya aku sama sekali tidak berbakat untuk mengecewakan orang lain. Termasuk orang yang telah melukaiku.


Dan kini, berdirilah aku di depan cermin. Hari ini aku akan menjadi pengantin, sekaligus resmi menjadi ibu pengganti untuk Naira dan adik bayinya.


Beruntung tak ada yang tahu tentang hubungan gelapku dengan Bintang. Rahasia itu terkubur bersama jasad wanita yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan Bintang.
Bintang, adalah cahaya terang di kegelapan malamku. Tapi bukan untuk hidupku. Serendah apapun aku dianggap, tak mungkin aku hidup di bawah bayang-bayang wanita itu. Karena kuyakin, posisinya tak akan tergantikan oleh siapapun.


Aku mundur dan maafkan aku, Bintang. Meskipun kau begitu terang, kau tidak pernah menjadi Bintangku. Tak akan pernah.


Beratus meter jalan beraspal di belakangku, semoga sejauh itu jarak antara hatiku dengan Bintang. Jauh, jauh tak terjangkau.


Aku ingat tentang mimpi yang kukubur dalam-dalam, mimpi tentang kapal yang menyeberang ke Borneo.


Selamat tinggal, Bintang.


Penulis: Arwen Candra Tatiano

Posting Komentar untuk "Bukan Bintangku"