Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertarungan Sejati

Klickberita.com -- "Kenapa kau tak mengajaknya ikut serta?"


Apa yang harus kukatakan untuk menjawab itu. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya. Bahwa dari dunia kita yang besar ini, dia hanya menginginkan penggaris dan gunting kuku. Sesuatu yang tak ada di negerinya, karena peri tak perlu memotong kuku. Kuku mereka selalu cantik setiap waktu.

Ilustrasi Peri by Flickr/JD Hancock



Juga penggaris. Entah untuk apa, tetapi dia selalu kagum pada benda itu sejak pertama mengenalku. Dia hanya ingin sebagian kecil, sangat kecil saja. Seperti halnya kamu yang hanya memilih satu pouch sabun cair dari rak supermarket. Atau satu celana jeans di antara begitu banyak baju di departement store.


Dan percayalah, dia sama sekali tidak ingin datang ke sini, ke dunia kita Utarie. 


"Dia sedang sibuk, mereka semua sibuk."


"Kalau begitu ajak aku ke sana.  Ajak aku, Kak."


Utarie memohon untuk diajak ke negeri para peri.  Tapi aku sudah berjanji tidak akan menempatkannya dalam bahaya.  Maksudnya, aku sudah berjanji untuk selalu menjaganya. 
Jika bukan karena janjiku,  aku pasti akan mengajak Utarie berkeliling negeri para peri.  Kalau bisa kami akan menyewa penginapan di sana.  Tinggal beberapa hari, makan,  jalan-jalan, mungkin juga berfoto. 


Tapi itu tidak mungkin.  Karena selain terikat janji dengan ayah,  aku juga harus menyiapkan izin yang cukup rumit agar adikku bisa berkunjung ke sana.  Tidak beda jauh ketika akan bepergian ke luar negeri pokoknya kita harus mempersiapkan banyak hal. 


Pekan depan,  tepat sebelum bulan purnama aku akan berangkat lagi ke negeri para peri. Kepada Hamusa, peri tampanku, akan kubawakan ia penggaris dan gunting kuku. 


Ada dua belas atau tepatnya satu lusin gunting kuku yang akan kubeli nanti.  Juga dengan penggarisnya.  Aku akan mampir ke fotokopi-an siang ini selepas mengajak Utarie minum es kelapa muda. 


Dulu, dulu sekali, ketika kami masih kecil ayah sering membawa kami ke ladang.  Ayah akan memikul kami dengan budheng di depan dan belakang.  Tak lupa pula kami membawa makanan ringan. 


Sebelum bekerja, ayah akan memetik beberapa buah kelapa muda, untuk kami anak-anaknya.  Kami senang melihat ayah bekerja. Lelaki kekar dan baik hati itu menanam ubi, singkong, jagung, semua dilakukannya seorang diri. 


Tapi suatu hari, ayah terlihat sedih.  Itu terjadi ketika kami masuk sekolah di tahun yang sama.  Setelah membelikan seragam baru, tas, buku, juga sepatu, ayah tak memetikkan buah kelapa muda untuk kami lagi. 


"Kelapa ini sangat lezat. Kita tak boleh menghabisakannya sendiri.  Orang lain pun berhak menikmati."




Dan mulai saat itu kami lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah.  Sedangkan ayah membagi tenaganya ke ladang dan ke orang-orang yang ingin menikmati kelapa muda. Ya, ayah berjualan kelapa muda di teras rumah.


Ayah terus berjuang seorang diri.  Sedangkan kami terus bermain dan mengabaikannya.  Hingga kami hampir lupa rasa kelapa muda yang langsung dipetik dan dinikmati di bawah pohonnya. 
"Ayah, sekolahku nanti kan agak jauh.  Maukah ayah membelikan kendaraan agar aku bisa pulang setiap hari?"


"Tentu."


Jawaban yang kuharapkan.  Senang sekali rasanya.  Ayah dari dulu memang baik. Bahkan setelah ibu meninggal ketika melahirkan Utarie, ayah belum pernah dekat dengan wanita lagi atau berpikir akan menikah.




"Ayo kita minum es kelapa muda.  Nanti sekalian aku mau beli penggaris dan gunting kuku."
"Ayo, Kak.  Aku ambil jaket dulu."


Sekarang hanya Utarie-lah keluargaku, setelah ayah pergi tanpa pamit.  Ayah pergi dengan cepat.  Mungkin Tuhan tahu ayah terlalu lelah, sehingga ayah dipanggi-Nya untuk beristirahat.
Malam itu, ayah berpesan kepada kami untuk saling menjaga dan menyayangi.  Tepat tujuh hari sebelum kepergiannya menyusul ibu.


Maka dari itu, ketika aku menemukan gua, yang merupakan jalan masuk ke negeri para peri, aku tidak mengajak Utarie.  Meskipun di sana begitu indah dan aku menemukan sesosok peri rupawan yang menggetarkan hati, Hamusa-ku.


Kami meminum pelan-pelan es kelapa muda dalam diam.  Sambil menelan satu per satu kenangan yang indah dan buruk.  Hidup ini membawa dua sisi kenangan yang berlawanan, namun juga membawa pilihan-pilihan.  Dan kami--aku dan Utarie--telah sepakat untuk berdamai dengan semua kenangan-kenangan itu. 


Dalam perjalanan pulang, aku mendapati wajah takjub melihatku.  Mungkin pesona para peri telah menular,  sehingga Andika melihatku tanpa berkedip dan senyum.  Senyum yang sangat sedikit disertai pandangan kagum.  Ah, kau pasti tahu seperti apa itu. 




Setelah membayar semua penggaris dan gunting kuku, Andika menahanku.


"Santi, aku minta maaf atas semua yang pernah kulakukan dulu.  Aku sangat menyesal."


"Ah, itu. Jangan dipikirkan, dulu kita sama-sama masih belia.  Wajar kamu nakal dan aku marah."


"Iya.  Aku sungguh minta maaf."


"Iya.  Aku harus pergi."


"Sampai jumpa."


Andika melambaikan tangan yang entah mengapa kubalas dengan senyum.  Ada yang terasa menghangat.

"Aku tidak akan lama,  Utarie. Tunggu ya."


"Aku ikut."


"Nanti, akan kuajak lain kali."


"Tapi, Kakak kan sudah sering bilang itu.  Aku mau ikut, aku mau melihat Hamusa-mu."


"Tidak. Aku serius Utarie. Pergilah kerjakan PR-mu!"


Utarie pergi melangkah dengan berat. Bibirnya sedikit dimajukan. Aku tahu betul, itu hanya sementara.  Adikku tak pernah benar-benar marah.  Tidak setelah kami kehilangan orang tua dan menyadari tak ada pilihan lain, selain saling menyayangi. 


Sore itu aku berangkat sendirian ke gua yang merupakan pintu masuk ke negeri para peri.  Semua penggaris dan gunting kuku sudah kupersiapkan.




Hari menjelang malam,  ketika aku sampai. Hamusa dan teman-temannya telah menunggu.  Ada peri tua berjenggot putih yang gembul, ada peri cantik bergaun perak, peri kembar yang sama tampan, juga satu peri biru keunguan yang sangat menawan. 


"Senang kau kembali," sambutnya berbasa-basi.  Aku yakin mereka semua sudah sangat ingin aku membongkar ransel dan menunjukkan isinya. 


"Oh, tentu.  Aku sudah janji."


Maka dalam sebuah rumah sederhana yang agak jaub dari keramaian, aku mengeluarkan isi ranselku. 
Semua tampak senang dan gembira. Prewit, si peri gembul berjenggot putih segera memanggil anak-anaknya.  Mereka membagikan penggaris dan gunting kuku sehingga tersisa satu pasang. 


"Ini untukmu."


"Aku tidak perlu."


"Ya, di sini kau akan memerlukannya," sanggah si peri bergaun perak. 


"Baiklah malam ini kita berangkat."


Prewit akhirnya memutuskan.  Kemudian para peri saling merangkul.  Seakan mengumpulkan semangat dan keberanian.  Hamusa diam-diam menarik pundakku agar berada di peluknya. 


"Terima kasih, Santi."




"Apa rencana kalian?" tanyaku menginterupsi momen yang langka dan bersejarah ini. 


Prewit menjelaskan secara rinci rencananya.  Mereka akan menggulingkan kekuasaan ratu.  Menurut mereka ratu telah sewenang-wenang, dengan melarang adanya pernikahan di negeri para peri. Akibatnya, banyak peri yang patah hati. 


Aneh bila semua peri dilarang saling jatuh cinta. Semua itu bukan khayalan,  melainkan ancaman.  Itulah sebabnya, ketika ada yang nekat menggelar pesta pernikahan, akan langsung dihukum mati oleh ratu. 


Kekuatan ratu ada pada kukunya yang sangat tajam dan beracun.  Dalam rencana yang dirancang Prewit, mereka akan menyusup ke dalam istana,  lalu memotong kuku-kuku ratu. 


"Lalu untuk apa penggaris itu?"


Penggaris itu akan digunakan untuk belajar.  Maksudnya tidak berhubungan sama sekali dengan rencana penggulingan kekuasaan. 




"Bersamamu, Hamusa akan memimpin dan mendidik negeri ini."


"Aku? Ah, kau bercanda Tuan Prewit."


"Ya, kau pantas jadi ratu."


"Tidak, ini pertarungan kalian. Aku harus pulang.  Aku punya pertarunganku sendiri."


Dengan berat hati, Hamusa melepas kepergianku.  Dan dengan berat hati yang berlipat ganda aku pergi.  Menuju ke pertarunganku sendiri, sebagai manusia. 


Bertarung melawan kenyataan bahwa aku harus bertahan hidup dengan Utarie.  Mencukupi kebutuhan kami,  bekerja dan terus bekerja.  Juga menjauhkan Utarie dari bahaya, termasuk bahaya pergaulan.  Itu adalah pertarungan sejati.


Bertarung melawan kenangan buruk masa lalu.  Untuk terus hidup, untuk terus maju. 

Penulis: Arwen Candra Tatiano

Posting Komentar untuk "Pertarungan Sejati"