Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ini Sebabnya Surakarta Tidak Daerah Istimewa Seperti Yogyakarta

Klickberita.com – Keberadaan istimewa yang melekat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak begitu saja diberikan oleh Indonesia. Banyak sekali faktor-faktor hingga Kota Pendidikan, Kota Wisata, dan Kota Budaya tersebut akhirnya resmi menjadi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta).

Jika dibandingkan dengan Surakarta (Solo), tidak ada bedanya, entah itu dipandang dari sejarahnya, atau budayanya. Karena kedua kota ini dulunya merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Juru Martani.

Upacara grebeg Maulid Nabi Muhammad SAW di Kraton Yogyakarta | Foto Doc. Asmarainjogja.id

Seperti yang ditulis di buku Wasiat Hamengku Buwono IX Yogyakarta Kota Republik, karangan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, akibat adu domba penjajah Belanda, Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta melalui perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Sebuah kesepakatan antara Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dengan Paku Buwono III, dan Pemerintah Belanda (Gubernur Hartingh).

Kemudian di Surakarta juga muncul kerajaan baru, yakni Mangkunegaran melalui perjanjian damai (Perjanjian Salatiga) pada tanggal 17 Maret 1757 antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Sultan Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, dan Pemerintah Belanda. Perjanjian itu bermula ketika Raden Mas Said menyerang Keraton Yogyakarta saat Perjanjian Giyanti. Maka pasukan gabungan Yogyakarta, Surakarta, dan Belanda melawan Raden Mas Said, hingga akhirnya ia pun tunduk dan menyerah.

Berdasarkan perjanjian damai itu Radaen Mas Said mendapat sebagian dari Surakarta serta berhak menguasainya dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro. Dan tidak mendapatkan secuil pun wilayah dari Kesultanan Yogyakarta.

Masih dari buku Wasiat Hamengku Buwono IX, di Yogyakarta juga lahir kerajaan baru, yaitu Kadipaten Pakualaman di masa Inggris mengambil alih kekuasaan Belanda. Saat itu Gubernur Jendral Raffles menilai bahwa Sultan Hamengku Buwono II dan Sunan Solo tidak menepati Perjanjian Tuntang. Karena itu Sultan Hamengku Buwono II dipaksa oleh Raffles untuk turun tahta. Kemudian Raffles mengangkat Sultan Hamengku Buwono III dengan mengurangi daerah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sebagian dari kekuasaan Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang merupakan saudara dari Sultan Hamengku Buwono III.

Daerah otonom itu sebagian di dalam kota, dan sebagian di daerah Selatan Yogyakarta (Adikarto) menjadi sebuah kadipaten baru yang dikuasai dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo. Lalu pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Sejak saat itu dimulailah Pemerintahan Pakualaman sebagai kerajaan yang bersifat otonom, yang berciri mempunyai kedaulatan, wilayah kekuasaan, rakyat, simbol-simbol, dan memiliki kekuatan militer sendiri (pada masa Paku Alam V).



Pasca Kemerdekaan Indonesia
Pada buku Hamengku Buwono IX, Pengorbanan Sang Pembela Republik, Seri Buku Tempo itu menuliskan: Setelah proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan bendera merah putih berkibar gagah di langit Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Berita kemerdekaan itu tersebar cepat ke penjuru Indonesia melalui radio. Di Yogyakarta sendiri, dari Masjid Besar Yogyakarta mengumumkan kabar suka cita itu ke para jamaah sholat Jumat. Kemudian petang harinya, Ki Hajar Dewantara mengerahkan guru dan murid Taman Siswa berpawai keliling kota seraya mengucapkan pekik “medeka”.

Ki Hajar Dewantara, merupakan sosok yang pertama kali memberikan selamat kepada negara yang baru merdeka itu melalui telegram, kemudian Sultan Hamengku Buwono turut mengucapkan selamat yang diikuti Paku Alam VIII. Dua hari kemudian telegram kembali mengirim pesan yang menegaskan bahwa Yogyakarta sanggup berdiri di belakang Soekarno dan Muhammad Hatta untuk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Soekarno pun kemudian membalas dengan piagam bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII. Inilah embrio keistimewaan Yogyakarta yang kemudian disusul dengan Undang-undang Dasar 1945. Berikut piagam itu yang dikutip dari buku Wasiat Hamengku Buwono IX, Yogyakarta Kota Republik, karangan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo:
Piagam Kedudukan
Sri Paduka Ingkang Sinuwun kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX

Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing Ngalogo, Abdurrachman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarto Hadingingrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselematan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia,
Ir. Soekarno
Piagama Kedudukan
Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII

Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka kanjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah Paku Alaman sebagai bahan daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Soekarno

Kemudian Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII membalas piagam itu berupa sebuah amanat kepada rakyat Yogyakarta. Berikut amanat itu seperti yang dikutip pada buku yang sama:

Amanat Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan
(5 September 1945)
Kami Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat menyatakan:
aa. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
bb. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan  dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
cc. Bahwa berhubung antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami perintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngayogyakarto Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5 Sepetember 1945
Hamengku Buwono IX
Hijab

Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
(5 September 1945)
Kami paku Alam VIII Kepala Negeri Paku-Alaman, Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, menyatakan
aa. Bahwa Negeri Paku-Alaman, yang bersifat Kerajaan adalah daerah istimewa dari Negeri Republik Indonesia.
bb.  Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku-Alaman dan oleh karena itu berhuung dengan keadaan dewasa ini segala urusan Pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
cc. Bahwa berhubung antara Negeri Paku-Alaman dengan pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku-Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku-Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5 September 1945
Paku Alam VIII

Baca juga:

Selain Yogyakarta yang diakui daerah istimewanya, Surakarta juga turut diakui keistimewaannya. Hal ini termaktub pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Pasal 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang berbunyi: Komite Nasional Daerah Diadakan-ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta- di kresidenan, di kota berautonomi, kabupaten, dan lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.

Penjelasan Pasal 1:
Komite Nasional Daerah diadakan di Djawa dan Madura (ketjuali di Daerah Istimemewa
Jogjakarta dan Surakarta) di Keresidenan, di kota berautonomie. Kabupaten dan lain-lain daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri.
a. Ini berarti bahwa Komite Nasional Daerah di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Ketjamatan) dan di Siku dan Ku dalam kota, ta' perlu dilandjutkan lagi.
b. Tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika - begitulah surat pengantar - sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia menerima-untuk membicarakannja-rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu.
c. Tentang perkataan "di lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri". Ini tambahan diadakan berhubung dengan perkataan "mengatur rumah tangga daerahnja" dalam fatsal 2.

Penyebab Surakarta Tidak Istimewa
Sebenarnya Sultan Hamengku Buwono IX mendambakan agar kerajaan-kerajaan pecahan dari Mataram Islam dapat bersatu lagi, secara tak langsung beliau menginginkan Daerah Istimewa Mataram, tak hanya Daerah Istimewa Yogyakarta saja. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengirim utusan ke Surakarta agar bergotong royong mengupayakan keistimewaan bersama. Namun pada akhirnya hanya Yogyakarta yang berhasil menjadi daerah istimewa.

Menurut Sujamto (1988) dari buku Wasiat Hamengku Buwono IX Yogyakarta Kota Republik, keadaan Surakarta waktu itu jauh lebih rumit, merupakan daerah wild west dan ajang perkelahian antar berbagai kekuatan politik dan laskar-laskar bersenjata. Kecuali itu, yang paling menentukan gagalnya Surakarta menjadi daerah istimewa adanya gerakan anti swapraja yang kuat sekali.


Gerakan itu bukan hanya didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kekuatan-kekuatan kiri, namun juga oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Barisan Banteng yang berpengaruh besar.


Jika Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dapat menyatukan dan menentramkan rakyatnya sehingga tidak menimbulkan ‘kegaduhan’. Sebaliknya di Surakarta, menurut Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Soejamto (1988) pada buku Wasiat Hamengku Buwono IX Yogyakarta Kota Republik, Sri Sunan dan Sri Mangkunegoro tidak mau dan tidak dapat bersatu. 


3 komentar untuk "Ini Sebabnya Surakarta Tidak Daerah Istimewa Seperti Yogyakarta"

  1. Sudah garis nya demikian untuk kebesaran kraton surakarta hanya sampai sinuwun PB X.. seandainya raja besar di tanah jawa itu masih ada di jaman peralihan tersebut mungkin nasib surakarta akan berbeda. Namun sayang Beliau wafat 1938 tepat sebelum PD II pecah yang mengubah tatanan dunia baru.

    BalasHapus
  2. Pada waktu itu kedua Raja Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran masih anak kecil. Dan masih banyak lagi alasannya, tabu bila diangkat

    BalasHapus
  3. Padahal kasunanan Solo punya banyak tanah perdikan, termasuk di sebagian wilayah ex Mataram di Jawa Timur.de facto nya terasa sampai tahun 1980 an. Namun apa daya, di level elite merekapun tidak rukun sehingga menjadi lemah dan generasi kekinian cuma dengar cerita simbahnya.

    BalasHapus