Kematian Ganda di Kasus Blok Medan: Gugurnya Saksi Kunci dan Matinya Rasionalitas Hukum TPPU di Tangan KPK
![]() |
Bobby Asyer Simangunsong |
Klickberita.com-Sebuah preseden buruk yang kelam dan berbahaya tengah terlahir di jantung pemberantasan korupsi Indonesia. Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan penyelidikan atas dugaan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dalam skandal korupsi "Blok Medan".
Setelah wafatnya saksi kunci sekaligus terdakwa, Abdul Gani Kasuba, bukan sekadar penghentian sebuah kasus. Ini adalah sebuah langkah radikal yang mengancam untuk menciptakan sebuah doktrin tak tertulis di mana kematian seorang pelaku utama secara efektif membunuh penyelidikan terhadap seluruh ekosistem kejahatannya.
Langkah KPK ini merupakan serangan frontal terhadap rasionalitas hukum paling fundamental dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Alih-alih menjadikan kematian koruptor sebagai pemicu untuk semakin ganas memburu aset haram, KPK justru seolah turut mengubur semangat UU TPPU bersama jasad sang mantan gubernur. Analisis ini akan membedah bagaimana keputusan tersebut secara sistematis mengkhianati setiap pilar utama dari rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Membedah Grand Design UU TPPU: Aset Sebagai Pelaku
Untuk memahami betapa fatalnya langkah KPK, kita harus membedah DNA dari UU TPPU itu sendiri. Undang-undang ini lahir dari sebuah paradigma revolusioner yang menggeser fokus penegakan hukum dari sekadar menghukum manusianya (male in se) menjadi memburu hasil kejahatannya (male prohibitum).
Dalam rezim TPPU, pelaku utamanya bukanlah orang, melainkan aset itu sendiri. Filosofi inilah yang melahirkan dua senjata pamungkas: prinsip Follow the Money dan mekanisme Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture.
Prinsip Follow the Money mengharuskan penegak hukum melakukan penelusuran komprehensif terhadap aliran dana dari sumber hingga pemanfaatannya. Prinsip ini didesain untuk tidak bergantung pada status hidup atau matinya seorang pelaku.
"Nyanyian" Abdul Gani Kasuba di persidangan mengenai "Blok Medan" adalah titik awal dari peta aliran dana. Kematiannya tidak serta-merta menghapus peta tersebut. Kewajiban hukum KPK adalah menelusuri setiap jalur dalam peta itu hingga ke titik akhir, siapapun penerimanya.
Di ujung penelusuran itu, UU TPPU telah menyiapkan senjata pamungkasnya, NCB Asset Forfeiture. Ketentuan ini secara eksplisit dirancang untuk kondisi di mana terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan.
Mekanisme ini memisahkan secara tegas antara aspek pidana yang melekat pada individu dengan aspek perdata yang melekat pada aset hasil kejahatan. Ketika aspek pidana terhapus oleh kematian berdasarkan asas mors omnia solvit, aspek perdata untuk menyelamatkan aset negara justru harus semakin digencarkan.
Logika Terbalik KPK: Kematian Sebagai Batu Nisan Perkara
Keputusan KPK untuk menghentikan penyelidikan "Blok Medan" menunjukkan sebuah logika hukum yang terbalik. Mereka menjadikan kematian Kasuba sebagai batu nisan bagi sebuah perkara, padahal UU TPPU telah merancangnya untuk menjadi landasan pacu.
KPK memperlakukan sebuah undang-undang yang didesain untuk melampaui kematian seolah-olah tak berdaya di hadapannya.
Ini adalah sebuah inkonsistensi yang mengkhawatirkan. KPK seharusnya tidak menghentikan proses hanya karena terdakwa meninggal dunia. Justru sebaliknya, KPK memiliki kewajiban hukum untuk melanjutkan proses perampasan aset dan pembuktian keterlibatan pihak lain dengan menggunakan mekanisme yang tersedia.
Menghentikan penyelidikan adalah tindakan membuang peta harta karun korupsi hanya karena sang pembisik peta telah tiada. Ini bukan hanya sebuah kelalaian, tetapi sebuah pembangkangan terhadap amanat undang-undang yang menjadi raison d'ĂȘtre lembaga itu sendiri.
Beban Pembuktian Terbalik: Pedang yang Sengaja Disimpan
Aspek paling radikal dari UU TPPU adalah sistem pembalikan beban pembuktian. Sistem ini, yang didasarkan pada "praduga bersalah" khusus untuk aset dalam tindak pidana pencucian uang, memaksa terdakwa atau pemilik aset untuk membuktikan asal-usul hartanya yang sah.
Jika terdakwa meninggal, kewajiban ini secara hukum beralih kepada ahli waris atau pihak mana pun yang menerima atau menguasai aset tersebut.
Dengan menghentikan penyelidikan "Blok Medan" di tahap awal, KPK secara efektif telah mencegah bekerjanya mekanisme maha penting ini. Publik kehilangan kesempatan untuk melihat apakah pihak-pihak yang disebut dalam "nyanyian" Kasuba mampu membuktikan secara sah sumber kekayaan mereka yang diduga terkait transaksi koruptif tersebut.
KPK telah dengan sengaja menyimpan pedang paling tajam yang diberikan undang-undang kepadanya. Tindakan ini menciptakan sebuah tameng perlindungan prosedural bagi pihak-pihak yang berpotensi terlibat, sebelum substansi perkara sempat diuji.
Inkonsistensi Sebagai Norma dan Ancaman Moral Hazard
Langkah KPK dalam kasus ini berisiko menormalisasi inkonsistensi sebagai praktik penegakan hukum. Jika dibiarkan, ini akan menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi dan moral hazard yang sangat berbahaya bagi iklim pemberantasan korupsi.
Pesan yang dikirimkan kepada para koruptor dan jaringannya sangat jelas: konspirasi kejahatan akan aman selama pelaku kuncinya meninggal sebelum seluruh jaringan terbongkar. Kematian menjadi polis asuransi paling efektif untuk melindungi hasil jarahan.
Hal ini secara langsung akan meruntuhkan efek jera, yang merupakan salah satu tujuan utama dari pemidanaan dan perampasan aset. Lebih jauh lagi, inkonsistensi ini akan menggerus sisa-sisa kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.
Publik akan memandang bahwa hukum hanya tajam pada kasus-kasus kecil, namun tumpul dan penuh dalih ketika menyentuh nama-nama besar atau konspirasi yang rumit.
Melawan Preseden Buruk
Kematian Abdul Gani Kasuba tidak boleh menjadi akhir dari upaya membongkar skandal "Blok Medan". Keputusan KPK untuk menghentikan penyelidikan adalah sebuah paradoks hukum, blunder strategis, dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi.
Pada akhirnya, ini adalah ujian bagi marwah KPK dan supremasi hukum Indonesia. Negara harus membuktikan bahwa hukumnya lebih berdaulat daripada kematian, dan keadilannya lebih abadi daripada nyawa seorang koruptor.
Salam Keadilan!
Penulis: Bobby Asyer Simangunsong, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Posting Komentar untuk " Kematian Ganda di Kasus Blok Medan: Gugurnya Saksi Kunci dan Matinya Rasionalitas Hukum TPPU di Tangan KPK"