Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gunung Nglanggeran, Keelokan Gunung Purba yang Semakin Sepi Pengunjung

Klickberita.com – Gunung Api Purba Nglanggeran beberapa tahun lalu sempat populer sebagai objek wisata di Yogyakarta. Soalnya pada 24 April 2016 lalu saya sempat berkunjung ke sana. Ketika itu pengunjung sangat ramai, baik wisatawan luar kota, maupun wisatawan dari Yogyakarta sendiri. Saya juga sempat berkenalan dengan beberapa wisatawan dari Jakarta. Mereka berbondong-bondong menanjaki gunung dengan usia jutaan tahun tersebut. 

Dan 2 pekan lalu, saya kembali mengunjungi Gunung Nglanggeran dengan sahabat saya, Miftahul Jannah. Ia mengajak saya ke Gunung Nglanggeran karena penasaran body jumping yang sempat ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Baiklah, kami pun membelah perbukitan menuju ke sana dengan kuda besi. 

Miftah di Gunung Nglanggeran | Foto Klickberita, Asmara Dewo
Setelah sampai di lokasi parkiran dan pembayaran tiket, Miftah mulai tampak berseri-seri, ia senang bukan kepalang. Ya, kapan lagi bisa melihat gunung yang terdaftar di Unesco sebagai warisan dunia bersama Gunung Sewu Lainnya, seperti di Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Untuk parkir motor dikenakan Rp 2.000, sedangkan retribusi wisatawan per orangnya dikenakan Rp 15.000. 

Tiket masuk ini melonjak naik 2 kali lipat dari tahun lalu. Semula Rp 7.000, dan mulai tanggal 1 Juli 2016 menjadi Rp 15.000, sampai sekarang. Soal harga bagi wisatawan luar mungkin tidak masalah, ya, terbilang murahlah bagi mereka. Tapiii… bagi warga Yogyakarta jelas mahal. Mengingat banyak sekali wisata yang jauh lebih murah, bahkan gratis saat mengunjunginya. 

Sebagai contoh, wisata Hutan Pinus Mangunan yang menggratiskan pengunjunjungnya, pengelola wisata hanya memungut biaya parkir saja. Bahkan ada wisata baru lagi di sekitar Mangunan yang lagi populer, yakni Watu Goyang. Tiket masuk di Watu Goyang juga gratis. Soal pemandangan juga sangat menakjubkan. 

Mungkin kita tidak sadar 80 persen pengunjung di sebuah wisata itu didominasi kaum muda, mulai dari remaja dan dewasa. Tahu sendirilah anak muda, ada wisata yang gratis kenapa pilih yang mahal. Logika sekali, bukan? Apalagi mereka  niatnya berkunjung wisata hanya sekadar happy-happy, bukan sambil belajar sejarah wisata. Saya paham sekali karakter pengunjung wisata itu, karena sudah setahun saya menulis objek wisata hasil liputan langsung. Berkenalan dengan pengunjung dan orang-orang di sekitar objek wisata. 

Tahu tidak apa yang paling digemari wisatawan muda itu? Apalagi kalau tidak selfie, wefie, dan foto cantik di spot-spot keren di objek wisata yang dikunjunginya. Mau tahu buktinya, contoh wisata Kalibiru di Kulonprogo yang sampai detik ini tetap objek wisata primadona kunjungan wisata di Yogyakarta. Hanya satu yang mereka kejar, foto cantik atau foto ganteng di atas rumah pohon berlatar pemandangan indah dan Waduk Sermo. Jadi intinya di mana ada spot foto cantik di sanalah mereka merubungi, tak perduli harga cukup mahal. Nah, Gunung Nglanggeran sendiri bagaimana? 

Setelah memasuki area pendakian, 2 petugas penjaga memeriksa tiket yang kami beli tadi. Setelah beres soal pengecekan tiket, saya tanya ke salah satu petugas tersebut mengenai body jumping

“Oh, untuk body jumping itu harus pesan dulu, Mas. Dan biasanya per paket. Soal harga paketnya saya tidak tahu,” kata petugas itu pada kami. 

Yahhh, kecewa, deh. Namun begitu kami tetap mendaki gunung dengan ketinggian 700 MDPL tersebut dengan tetap semangat. Saat itu pengunjungnya tidak ramai, bahkan bisa dihitung jari. Mulai kami naik, sampai turun lagi. Padahal kami ke sana hari Minggu, yang seharusnya pengunjung membludak pada umumnya di setiap wisata. 

Pengunjung di Gunung Nglanggeran | Foto Klick Berita, Asmara Dewo
Mengenai eksotisme, Nglanggeran memang keren, ditambah lagi pemandangn alam hijau permai nun jauh di sana. Tentunya itu sangat menakjubkan. Apalagi sampai di puncaknya, keelokan Embung Nglanggeran yang membiru terlihat jelas dari puncak gunung. Biasanya juga banyak pengunjung yang mendirikan tenda alias camping di sini, untuk memburu sunrise. Nah, kalau untuk camping atau masuk ke wisata pada malam hari tiketnya sebesar Rp 20.000. Jadi naik 5 ribu. 

Apakah karena biaya masuknya semakin tinggi ini pengunjung jadi sepi ke Gunung Api Purba Nglanggeran? 

Karena rasa heran pengunjung yang sepi ini, kami singgah di salah satu warung yang berada di jalur menuju puncak. Atas pengakuan pemilik warung memang sejak naik biaya masuk ke Gunung Nglanggeran, pengunjung semakin sepi. 

“Dulu, Mas, sebelum tiket naik, pengunjung di sini mencapai 800 pengunjung di hari libur. Tapi sekarang, ya, beginilah sepi.”

Angka 800 pengunjung itu bukan ucapan belaka, sebab biasanya yang rajin ke Gunung Nglanggeran, yaitu siswa dan mahasiswa. Jadi mereka satu kelas naik ke Gunung Nglanggeran di hari libur. Tahun lalu saya juga melihat rombongan seperti anak SMP, SMA, dan anak kuliah yang ke sini. 

Gunung Api Purba Nglanggeran | Foto dokumen asmarainjogja
Mungkin juga merosotnya pengunjung di Gunung Nglanggeran tak ditanggapi dengan baik oleh pengelola wisata. Mereka masih tetap bertahan dengan harga tiket mahal bagi warga Yogyakarta itu sendiri. Padahal mau bagaimanapun pengunjung utama, ya, dari Yogyakarta juga. Ini tidak bisa dipungkiri. Di manapun wisata itu, tetap pengunjung lokal yang mendominasi. Apalagi Kota Yogyakarta setiap tahunnya mahasiswa silih berganti berdatangan, tentu mereka ingin sekali berkunjung ke wisata-wisata yang eksotis di Yogyakarta ini. 

Promosi untuk Gunung Api Purba Nglanggeran ini sebenarnya sangat bagus, terbukti pada tanggal 8 Desember 2016, pemerintah Yogyakarta dan pengelola wisata mengadakan Festival Gunung Sewu World Class Geopark Night Specta 2016. Seharusnya dengan adanya acara tersebut mampu menaikkan jumlah wisatawan di dua wisata tersebut, yakni Gunung Nglanggeran dan Embung Nglanggeran. 

Puncak Gunung Nglanggeran berlatar Embung Nglanggeran | Foto Dokumentasi asmarainjogja

Tapi, hasilnya terlihat sekarang. Wisatawan malah semakin sepi. Jadi bagaimana agar wisata Nglanggeran kembali ramai dikunjungi oleh para wisatawan? 

Pertama, karena sekarang pengunjung wisata suka sekali dengan berswa foto alias selfie, maka sebaiknya di atas Gunung Nglanggeran dibuat spot untuk berfoto. Misalnya saja seperti di Watu Goyang, di sana ada spot foto helikopter, atau rumah kayu (samar mati) di Hutan Pinus Pengger. Boleh juga rumah pohon yang tak pernah pudar trendnya di setiap wisata alam. Intinya buatlah sesuatu yang unik. Yang bisa dijadikan tempat berfoto untuk keren-kerenan bagi pengunjung. 

Kedua, turunkan harga tiket masuk. Karena tiket masuk Rp 15.000 itu mahal. Terutama pengunjung yang masuk di malam hari untuk camping dipatok harga Rp 20.000. Harga segitu sungguh mahal. Anak alam yang biasa camping dengan biaya murah, kadang juga gratis ketika “ditodong” dengan harga 20 ribu pasti jera mendirikan tenda di sana lagi.

Pemandangan alam yang permai di Gunung Nglanggeran | Foto Klickberita, Asmara Dewo
Jadi berapa harga yang wajar? Sepertinya Rp 10.000 sangat cocok bagi pengunjung di siang hari, maupun di malam hari. Kalau lebih murah dari angka tersebut, tentu lebih bagus lagi. Nah, kalau mau ambil keuntungan lebih, bisa diambil dari biaya spot foto yang sudah dibuat tadi. Misalnya pengunjung ingin berselfie di rumah pohon dengan berlatar belakang pemandangan yang cetar membahana dikenakan Rp 5.000 atau Rp 7.000. Jadi, dari sinilah pengelola bisa mendapatkan keuntungannya, bukan dari tiket masuk sepenuhnya.

Mari kita sama-sama memajukan setiap objek wisata di Yogyakarta, dengan harapan warga sekitar turut pula mendapatkan keuntungan dari setiap pengunjung yang datang. Selain itu, tentu pula untuk menggeliatkan perekonomian warga sekitar dan sebagai dana pemasukan pemerintah Yogyakarta. [Asmara Dewo]

Baca juga:

11 komentar untuk "Gunung Nglanggeran, Keelokan Gunung Purba yang Semakin Sepi Pengunjung "

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Iyes saya setuju banget klo tempat wisata itu banyak anak muda yg berbondong-bondong selfie gitu, logis kok mbak. Tapi anak mudanya banyak yang gak logis hiks. Banyak pengunjung banyak sampah, dan bangsa kita belum bisa bertanggung jawab akan sampah. Sedih kan?

    Harga segitu sih murah mbak, bayangkan Bromo yang dari 10rb jadi 32.5rb, nggak tambah sepi tuh tapi makin bejubel. Melihat surga itu memang mahal mbak.

    Saya sih setuju dimahalin buat menekan wisatawan, ingat banyak wisatawan banyak sampah, dan alam yang indah akan rusak. Sekian salam pramuka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengunjung kita di Indonesia memang memprihatinkan, saya paham sekali soal itu. Terkadang memang malu-maluin. Tapi poinnya bukan di sana, bagaimana cara kaum muda menjadi lebih bijak lagi saat berkunjung ke wisata. Kan, begitu, ya?

      Nah, soal harga kalau murah, itu kembali lagi pada masing-masing. Hanya saja, angka segitu terbilang mahal di Yogyakarta. Saya menulis objek wisata di Yogyakarta, bukan 1 atau 2. Mungkin sudah pulahan, bahkan ratusan, termasuk wisata daerah lainnya.

      Nah, untuk menekan agar pengunjung sepi, itu sungguh tidak bijak. Coba lihat Borobudur. Itu situs sejarah yang tak kalah ternilai harganya. Tapi memang sengaja agar pengunjung terus bertambah, dan bertambah.

      Soal takut rusaknya alam, kan ada petugas yang bisa menjaga di setiap titik-titik tertentu :)

      Hapus
  4. Kalau Anda paham konsep ekowisata dan konservasi, Anda akan tahu mengapa pengelola menaikkan harga tiket. Gunung api purba termasuk dalam kawasan Geopark Gunung Sewu yang diakui Unesco. Pilar geopark adalah edukasi, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Saya akhir Februari ke sana, bertemu dengan pengelolanya dalam jamuan malam. Mereka menekankan tentang pembatasan beban pengunjung di gunung api purba agar tidak terlalu membeludak, karenanya dibuatlah wisata embung, wisata coklat, dan wisata ternak. Juga Kampung Pitu dan spot lainnya. Tak lain supaya aspek konservasi dan pemberdayaan masyarakat itu merata. Percuma saja kalau bikin selfie spot tapi tak ada unsur edukasi bagi pengunjung, dan pengelola tidak mau itu. Gunung dan alam itu sejatinya ringkih, bahaya jika dia terus menjadi beban wisatawan yang hanya mengejar foto tanpa membawa unsur edukasi.

    Sekali lagi, ini bagian konsekuensi dari status Geopark Dunia yang dipegang Nglanggeran. Dan saya pikir, ada harga yang sepadan yang harus dibayar demi keberlanjutan ekosistem dan lingkungan. Percayalah, membayar 15-20ribu untuk alam, itu sangat sangat murah. Anda harus berpikir jangka panjang. Saya yakin, pihak pengelola pun berpikir, tak akan risau dengan itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke, terimakasih :)
      Kalau ada kenalan dengan pihak pengelola Gunung Api Purba, boleh disampaikan artikel ini.

      Sekali lagi, terimakasih

      Hapus
  5. Saya malah lebih sepakat tiket dimahalkan untuk wisata seperti di Gunung Api Nglanggeran. Oya para pengelola desa wisata Nglanggeran itu salah satu yang terbaik di Indonesia. Jadi kalau anda bilang pengelola kurang memperhatikan saya rasa anda harus mengkroscek ulang.

    Oya mas, saya pernah berbicang-bincang dengan pengelola sana. Di Nglanggeran malah sejak tahun 2015 sengaja menekan jumlah pengunjung agar Gunung Api Purba tetap baik dan tidak berjubel dengan sampah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau memang menekan agar pengunjung sepi, saya rasa tidak cocok seperti itu :)

      Lha, buktinya dengan adanya mengadakan Festival Gunung Sewu World Class Geopark Night Specta 2016, itu kan promosi, agar menarik pengunjung, baik wisatawan lokal, maupun mancanegara.

      Saya ingat betul apa yang disampaikan oleh Wakil Gubernur, Paku Alam, dalam sambutannya di festival tersebut.

      Karena saya memang liputan wisata di sana, ada hasil liputan saya di asmarainjogja.id

      Hapus
  6. Poinnya bukan untuk menekan agar pengunjung sepi. Tapi, ini sebagai suatu strategi pengelolaan untuk mewujudkan kunjungan wisatawan yang lebih berkualitas, yang lebih sesuai dengan karakteristik Nglanggeran sebagai bagian dari Geopark Dunia.

    Pada akhirnya, kebijakan menaikkan tiket ini boleh jadi menunjukkan bahwa Nglanggeran adalah destinasi pariwisata minat khusus, yang memang tidak cocok untuk mereka yang hanya ingin berswafoto saja. Dan ini wajar, kok. Tak semua destinasi harus bisa mengakomodasi semua kelompok pasar wisatawan. Menerapkan strategi pengelolaan destinasi dan wisatawan yang 'selektif' dan sesuai karakteristik destinasinya adalah langkah yg saya kira lebih bijak, apalagi dari kacamata keberlanjutan destinasinya di jangka panjang. Strategi seperti ini sudah lumrah diterapkan di berbagai kawasan lindung, baik di indonesia maupun negara lain.

    Promosi yang dilakukan dalam bentuk festival pun tidak salah. Bukan berarti karena kawasan konservasi geologis maka tidak boleh dipromosikan. Jika dicermati lebih dalam, dalam festival Geopark Gunung Sewu pasti ada disisipkan pesan2 tentang kekhasan Geopark atau pun konservasinya, baik secara eksplisit maupun tidak. Jadi, tidak sekadar promosi untuk menarik sebanyak-banyaknya wisatawan, ya. CMIIW.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya tertarik dengan alasannya. Menarik pengunjung yang spesifik.

      Tapi setiap wisata sebaiknya mengutamakan pengunjung lokalnya. Dengan tiket masuk seperti itu, mahal atau tidak? Kalau tidak, ya, monggo. Nah, kalau dianggap mahal, mungkin bisa dievaluasi.

      Menurut saya lebih baik menarik setiap karakter pengunjung, daripada memilih yang spesifik. Soal pengunjung yang awalnya hanya sekadar happy-happy saja, akan mulai memahami keunikan Gunung Nglanggeran, yang tidak semua gunung seperti itu.

      Jadi untuk edukasi wisata, bukan milih-milih, tapi semua. Jadi bagaimana agar teredukasi semua terhadap pengunjung? Tentu soal harga tiket masuknya :)

      Hapus
  7. Saya dan temen-teman dulu sering sekali naik gunung Api Purba, waktu itu harga tiket masuk masih 5000-7000 rupiah. Hampir setiap bulan saya kesana...untuk sekedar mendirikan tenda dan membuat kopi.
    Bahkan jika ada temen dari luar kota yang baru main ke Jogja...pasti akan saya ajak main ke sana.
    Namun dengan kebijakan pengelola yang sekarang, saya harus pindah untuk sekedar mendirikan tenda, ngopi dan ngobrol dengan temen-teman. Tapi saya bersyukur, karena semenjak harga tiket di situ mahal...saya jadi menemukan tempat-tempat lain yang jauh lebih indah. Tempat main saya jadi lebih jauh...
    Sekarang puncak Merbabu menjadi tempat favorit saya dan teman-teman untuk sekedar mendirikan tenda, ngopi dan ngobrol.

    Semoga Tempat wisata gunung Api Purba selalu terjaga kelestariannya.
    Dan bagi temen-temen yang ingin ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian Gunung Api Purba adalah jangan berkunjung kesana.

    BalasHapus