Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Provokator Terbaik Adalah Seorang Dosen

Klickberita.com  Mahasiswa cupu akan mudah sekali dijejali beragam doktrin di kampusnya. Entah itu doktriniasi sesat, maupun doktranisasi yang baik. Di kelas misalnya, perkembangan ilmu pengetahuannya tak luput dari peran seorang dosen.


Hanya saja terkadang dosen yang seharusnya memberikan pendidikan yang ilmiah dan fokus pada materi, tapi pembahasannya melebar ke mana-mana. Sekelompok manusia yang katanya kaum intelektual itu masih di kelas alias berpijak di bumi, tapi karena sang dosen ngalur-ngidul topik materinya sudah sampai ke planet Mars.


Sudah tak sesuai lagi dengan cita-cita pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika tipe dosen ini menjamur bak di musim hujan, yang terjadi adalah pembodohan besar-besaran di kalangan mahasiswa. Dan parahnya, mahasiswa cupu bin unyu-unyu itu menikmati sekali wejangan ala belajar dosen yang ngawur tadi.


Ilustrasi dosen di kelas | Istockfoto


Seorang dosen yang seharusnya memberikan kunci pintu masuknya ilmu pengetahuan kepada para mahasiswanya, tapi karena budayanya suka melantur maka melahirkan generasi melantur bin ngawur pula. Dampaknya adalah bangsa ini di kemudian hari akan dipenuhi dengan kaum cupu yang tidak rasional lagi.


Jika dipikir secara mendalam alias berpikir ala radikal, sebenarnya apa penyebab si dosen bisa seperti itu (ngawur) saat mengajar?


Bisa jadi si dosen termotivasi Mario teguh yang ingin memotivasi calon generasi emas, namun sayangnya, ucapan dan tindakan tidak singkron. Yang terjadi adalah ketika dosa-dosanya terbuka, semua umat yang pernah ‘mengkultuskannya’ sudah tidak dipercayai lagi. Dikata-katain pula (baca:bully).


Sama halnya dengan dosen tadi yang tidak fokus mengajar, seolah-olah ingin memberikan pesan moral kepada anak didiknya, tapi pribadinya sendiri tidak bisa menjadi tauladan. Memang pendidikan juga meski diiringi pendidikan moral, hanya saja pendidikan moral itu tidak harus mengkorupsi waktu pelajaran di kelas.


Andai 1 kuliah itu menghabiskan waktu 90 menit, tapi karena si dosen sok-sok bicara moral untuk kebaikan mahasiswa, maka ia pun bisa korupsi waktu 30 menit. Selama 60 menit itu pun terkadang tidak efisien dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Bayangkan jika ini terjadi bertahun-tahun?


Biasanya bahan untuk ngawur itu adalah membidik salah satu mehasiswa yang kerap bermasalah dengan kampus. Mungkin karena kritis dan selalu ‘melawan’ jika apa yang dianggapnya tidak benar atau tidak baik di lingkungan kampusnya. Dosen saat itu seolah-olah nabi yang suci mengimbau pada mahasiswa cupu-nya agar jangan meniru si mahasiswa yang suka ‘melawan’ itu.


Kita sudah paham sekali, tidak mungkin ada asap, jika tidak ada api. Begitu pula dengan setiap persoalan di kampus, kenapa ada mahasiswa yng mengkritisi kampus? Mungkin hak-haknya sebagai manusia atau mahasiswa dibungkam, atau mengkritisi sistem kampus yang buruk, dan lain sebagainya.


Jadi bisa disimpulkan perlawanan di lingkungan kampus itu disebabkan karena adanya budaya pembodohan, kezaliman, dan pemerasan (sistem pendidikan kapitalisme).


Nah, si dosen yang merasa bak seorang dewa langit mengkutbahi mahasiswa cupu-nya agar jangan ikut-ikutan. Bodohnya lagi adalah hal yang demikian itu ditelan bulat-bulat oleh mahasiswa cupu, tapi tentu tidak bagi mahasiswa yang berpikir, mungkin juga cekokan dosen tadi dimuntahkannya ke selokan.


Toh, masa depan mahasiswa bukan di tangan dosen, bukan pula dari angka-angka yang disakralkan dari birokrasi kampus, yaitu indeks prestasi. Masa depan mahasiswa dari dirinya sendiri, terbukti seperti Rocky Gerung, sarjana strata 1 malah mengajar strata 2, bahkan 3. Sampai-sampai mantan dosen filsafat Universitas Indonesia itu dipanggil profesor.


Mahasiswa yang kritis dan mahasiswa yang melawan dengan intelektualnya tidak ada yang dungu. Ini boleh jadi tidak diketahui banyak orang. Tapi mahasiswa yang manggut-manggut wae, mengamini apa kata dosen boleh jadi dialah mahasiswa dungu yang mudah terprovokasi oleh dosen. Dungu apa yang pernah disampaikan dari Rocky Gerung, bukan pada orangnya, tapi dari cara bernalarnya.


Provokator terbaik adalah seorang dosen. Kalimat ini tampaknya memang seperti kurang ajar, tidak tahu balas budi, dan cenderung seperti mahasiswa durhaka. Andai di zaman Malin Kundang, bisa jadi bim salabim si mahasiswa jadi batu.


Kenapa dosen bisa disebut sebagai provokator? Karena jika dosen mencoba atau sudah menghasut mahasiswanya untuk membenci suatu perbuatan atau secara tidak langsung membuat framing seseorang menjadi buruk, maka dosen itu bisa disebut sebagai provokator.


Provokasi dalam kamus bahasa Indonesia artinya adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan. Sedangkan provokator itu adalah orangnya.


Dari situs Polkam.go.id, sebuah opini di sana dijelaskan tidak semua provokator itu berhubungan dengan hal anarkis, melainkan juga ada yang terkait dengan hal yang bersifat positif. Artinya, ada juga provokator yang menjadi motivator dalam kegiatan/tujuan yang positif, di mana hasil akhirnya harus menjadi penilaian. Sebab provokasi yang dikeluarkan hanyalah suatu “pemicu/pemancing” sehingga melahirkan satu reaksi.


Sejatinya seorang dosen harus objektif dalam menilai suatu permasalahan, dan juga jangan membawa urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan materi saat ia mengajar di kelas. Karena hal-hal demikian bila dimasukkan dalam pembahasan materi maka saban waktunya dosen sudah memprovokasi. Tak heran munculah kalimat ajaib yaitu provokator terbaik adalah seorang dosen.


Ada dua hal yang akan terjadi andai si dosen suka ngawur dan provokasi terus berlanjut. Yang pertama mahasiswa yang cupu tadi tidak selamanya menjadi mahasiswa cupu, dia akan tumbuh dan berkembang. Ia diberi pemahaman dari kawan kritisnya bahwasanya selama ini ia dibodoh-bodohi oleh dosennya sendiri, maka menimbulkan sebuah reaksi.


Dan yang kedua adalah mahasiswa kritis tidak akan membiarkan pembodohan itu berlarut-larut, ia dengan segenap keintelektualannya, tenaganya, dan pengaruhnya, membendung si dosen ngawur dan provokasinya di kelas. Ya, begitulah kira-kira yang terjadi di sebuah kelas fiksi kampus tersebut. [Asmara Dewo]

Posting Komentar untuk "Provokator Terbaik Adalah Seorang Dosen "