Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kejujuran yang tak Bisa Ditukar, Digadaikan, Apalagi Dijual Belikan

Klickberita.com – Mungkin kamu juga pernah mengalami hal yang sama dengan saya, kehilangan handphone. Ketika sadar bahwa hape kamu tidak ada lagi bersama kamu, mulai panik, mencari-cari, bongkar sana bongkar sini. Jika tak juga ketemu, dicari lagi, mencoba menginga-ingat, di mana terakhir kali meletakkannya? 

Lupa, benar-benar lupa. Duh… bagaimana ini? Kalau belum ketemu juga, kepala mulai pusing, napas tersengal, dan emosi mudah terpancing. Sabar… mencoba menabahi hati. Pernah seperti itu? 

Bahkan tak jarang juga sampai mengumpat, kesal sekali. Mau marah tapi marah sama siapa? Mau menyalahkan orang lain, tapi siapa yang mau disalahkan? Kan diri sendiri yang teledor, tidak bisa menjaga barang sendiri. Hanya mengumpat di dalam hati. Dan itu semakin sakit. Sungguh… benar-benar sakit. 

Sebuah kejujuran, sifat yang tak bisa ditukar, digadaikan, apalahi diperjual belikan | Foto Istimewa
Perlahan-lahan mulai menguasai diri, mencoba menangkan hati sendiri, dan mendinginkan kepala yang panas. Mencoba belajar mengikhlaskan. Kalau sudah dicari tidak ketemu, ya mau bagaimana lagi, cara terbaiknya ikhlas, kan? Moga-moga ada keajaiban, moga-moga rezeki tidak kemana, dan moga-moga kalau betulan hilang pun digantikan oleh Maha Pemberi yang lebih baik lagi.

Ya, inilah cara terakhir, solusi jitu menghadapi barang yang hilang. Dan terus mencoba menghibur diri sendiri. 

Baca juga: 

Kemarin malam, memang saya cukup panik dan sedikit jengkel. Ini bermula ketika saya membuat logo di salah satu  percetakan yang cukup ternama di Yogyakarta. Sore itu, pukul enam belas lebih, Kota Kesultanan diguyur hujan, sampai dipercetakan badan terasa menggigil.

Saya pun langsung menuju bagian pelayanan. Sebenarnya saat itu konsumen tidak terlalu ramai, seperti biasa. Hanya saja sebelumnya, customer servisnya bilang, “Mas antri, ya? Agak lama soalnya.” 

Baik, saya mengantri patuh. Menunggu dan terus menunggu sampai pukul delapan belas. Wah, mulai letih juga menunggu. Sabar… mengusap dada. Positif thingking. Mungkin memang sibuk bagian staf pembuatan logonya. Biasanya kemana-mana saya bawa buku di tas, jadi kalaupun menunggu bisa sambil santai membaca. Sayangnya belum sempat ke rental buku atau ke perpustakaan.  Bengonglah saya berjam-jam di sana. 

Dan saya akhirnya jengah dan kesal di pukul sembilan belas tiga puluh, saya datangai lagi customer servisnya. 

“Mbak, kok lama bener saya dipanggil? Saya datang pukul enam belas lewat lho, ini udah jam berapa coba?” protes saya dengan nada kesal sambil menunjukkan jam. 

“Maaf, Mas, bagian editingnya lagi penuh. Banyak konsumen,” katanya.

“Memangnya ada berapa pegawai di bagian editing? Kok saya belum juga dipanggil sejak tadi,” saya terus protes, tak terima. Bagi saya ini benar-benar membuang waktu.

“Ada empat, Mas,” jawabnya. Dan berbagai alasan ini-itu agar saya bisa bersabar lagi. 

“Oke, saya tunggu, kira-kira berapa lama lagi?” desak saya. 

“Kalau itu kurang tahu, Mas, tergantung konsumennya.”

Benar-benar aneh nih percetakan, katanya ada empat di shif siang. Masa iya satu di antara mereka tidak ada yang melayani saya. Beberapa menit kemudian setelah saya sedikit marah-marah tadi, nama saya pun dipanggil, dan langsung menuju bagian pembuatan logo. 

Sungguh tidak asyik lagi, sedikit saja salah di antara pegawai ini, maka saya cabut secepatnya. Untuk apa coba? Mereka memikirkan keuntungan mereka, sementara mengabaikan kerugian waktu konsumen. Syukurnya pegawai yang melayani saya untuk membuatkan logo bisa mengerti dan paham kalau saya sedang marah, ditambah lagi kesal. Pembuatan logo itu berjalan lancar. 

Sekitar pukul dua puluh, logo saya pun selesai.  Sebentar saja pembuatannya, tapi antrinya, ya ampunnnnnnn, lama betul, hampir stress saya menghadapi yang beginian. Saya ke kasir, lalu cabut dari percetakan tersebut. 

Masih ada yang harus saya selesaikan lagi, yaitu menjahit celana yang koyak. Saya cari tukang jahit, akhirnya ketemu. Deal, celana saya langsung dikerjakan dan ditunggu. Di sana mengeluarkan handphone, saya telpon Rizka mengenai logo yang baru saja dibuat. 

Tidak lama, hanya beberapa menit saja, celana saya sudah ganteng lagi. Layak dipakai lagi, baik di depan umum, maupun di belakang umum. 

Nah, saatnya untuk mencari buku. Di Yogyakarta ini ada tiga tempat biasanya saya untuk meminjam buku, yaitu Perpusatakaan Umum Kota Yogyakarta, Perpustakan Grhatama Pustaka, dan Rental Buku. Dan saya pun meminjam buku di rental buku. Ini pilihan terakhir, kalau tidak meminjam buku di perpustakaan. 

Ya, maklumlah, di perpustakaan kan gratis, kalau di rental buku bayar. Dan tergantung novel apa yang dipinjam, kalau novel-novel Indonesia sekitar enam ribuan. 

Sampai di rental buku, saya pilih-pilih buku yang menarik. Sebenarnya saya mau cari novel Pramoedya Ananta Toer, tapi kosong. Baiklah, saya cari-cari lagi novel lainnya yang bisa membuat saya tergoda membacanya. Novel Tereliye, ada di sana. Sebagian novelnya sudah banyak saya baca, yang belum maka saya comot dari rak. Novel Pukat, Serial Anak-anak Mamak. 

Hanya satu saya pinjam, taku tidak sempat dibaca. Saya pun langsung ke kasir, bayar Rp.5.500. Pegawai itu cukup ramah, tubuhnya padat berisi, dan menggenakan jilbab. Wussshh… motor matic melesat meninggalkan buku rental.

Baca juga: 

Tiba di kos, buka laptop, lihat perkembangan website. Dan menata blog. Saat itulah sadar, handphone saya mana? Saya bongkar isi tas, dikeluarin semua isinya. Hasilnya nihil. Sudah panik sejak tadi sore, ditambah panik dan kesal karena kehilangan handphone. 

Mending Ayu Ting-Ting mencari alamat palsu, paling tidak ada tujuannya, diraba-raba di mana almatnya. Nah, saya di mana mau cari handphone? Bosan cari di sana-sini di kamar, melesat lagi keluarin motor. Pertama yang saya datangi adalah warung kecil di sebelah rental buku, karena sempat beli minum di sana. 

Kata penjualnya tidak ada. Wuhhh… menghela napas kecewa. Ke rental buku sudah tutup. Tancap gas lagi ke tukang jahit, sudah tutup juga, dan coba-coba lihat di depan kios penjahit, mana tahu tercecer di sana. Tidak ketemu juga. Mulai putus asa.

Saya jumpai Rizka, berdua mencari handphone itu. Saat ditelpon handphone terus menyala. Ditelpon lagi tetap menyala. Begitu seterusnya. Kami pun berkesimpulan, ini sepertinya tercecer di jalan belum ditemukan orang lain. Oke, kami telurusi lagi jalan yang dilalui. Tetap tidak ada. 

Rizka yang “melek” internet pun mencoba men-download aplikasi pelacak handphone yang hilang menggunakan GPS. Hasilnya juga nihil, selain tidak begitu pintar menggunakanannya, juga berbagai alasan keluar dari mulut Rizka. 

Seharian juga belum sempat makan, terasa betul perut menjeri-jerit. 

“Makan dululah, sakit kepala dan lapar gara-gara ini,” kata saya. 

Setelah makan, otak pun mulai waras. Jiwa kembali tenang, layaknya bayi yang baru dilahirkan. 

“Kalau rezeki pasti ketemu itu,” ucap Rizka sok bijak mengalahkan Mario Teguh. 

Ya… ya, saya juga sudah ikhlas. Kan tidak wajar, gara-gara kehilangan handpone, saya tidak menulis lagi. Sementara Sabtu pagi harus menyiapkan artikel dan berita di blog, dan juga mengisi artikel di situs lainnya. 

Kami juga menyimpulkan kemungkinan handphone itu tertinggal di rental buku, dan diamankan oleh pegawainya. Ada harapan handphone itu kembali kepada tuannya yang penyabar ini, hahaha.

Apakah saya bisa tidur? Bisa, karena saya sudah malas berpikir. Kalau saya banyak pikiran, saya tidak bisa tidur. Yang harus dipikirkan adalah menulis untuk mengisi website. 

Pagi-pagi setelah serapan, saya pun sudah menunggu di rental buku. Di tangga semen itu saya keluarkan novel Pukat, sarapan kedua setelah lontong Padang. Jujur saja, berapapun lamanya saya menunggu, kalau ada novel di tangan tidak masalah. Toh, di mana-mana saya juga membaca. Sambil ngemil juga baca buku. 

Beberapa waktu kemudian, datang pegawai rental buku. Namun bukan pegawai yang jaga ship tadi malam. Tapi dia tahu alasan saya pagi-pagi sudah ada di depan menunggunya. 

Tidak ada basa-basi lagi untuk urusan yang seperti ini, “Mbak, handhone saya ada tercecer di sini?” 

“Oh, Mas yang cari hp, ya?” dia balik tanya. 

Saya mengangguk. Dan ia membuka rental buku, dan menyusun beberapa buku ke rak. Sementara saya masih menunggu di luar. Beberapa menit kemudian saya dipanggil. 

“Ada bawa dus hpnya, Mas,” ia memastikan bahwa sosok pemuda di depannya pemilik handphone tersebut.

“Nggak ada, Mbak. Gini aja, Mbak, itu kan hpnya terkunci, sini biar saya buka!”

Tinggg… handphon terbuka, sembilan kali panggilan tak terjawab, dan beberapa pesan masuk.

“Nah, kan, Mbak, hape saya,” saya tersenyum. Ia pun turut tersenyum.

“Ya, kan untuk memastikan saja, Mas, hape kan mahal.” 

Saya hanya mengangguk-angguk saja. Lalu saya keluarkan beberapa rupiah sambil menyalaminya. Rupiah itu ditolaknya.

“Aduh, Mas… nggak usah! Nggak usah!” ditolaknya tangan saya.

Saya terus mendesaknya, “Nggak apa-apa, Mbak!”

“Iya, Mas, nggak usah!” jawabnya sungguh-sungguh, terlihat sekali di wajah ikhlasnnya. Dan keikhlasan itu juga merambat ke hati saya. 

Saya memastikan lagi, “Bener, Mbak? Yakin?” 

“Iya, Mas, bener, yakin.”

Baiklah, saya juga tak mau memaksa. Ini adalah kedua kalinya handphone saya tercecer di Kota Yogyakarta. Sebelumnya juga pernah tercecer di atas motor parkiran Pasar Bantul. Saat itu ditemukan juru parkir, lalu mengembalikan lagi ke saya. 

Sungguh… inilah sifat yang tak bisa ditukar, apalagi dibeli. Sebuah kejujuran di hati seseorang yang masih bersih, dan paham, mana yang haknya, dan mana yang bukan haknya. Zaman boleh saja berubah, mengikuti era modern canggih, secerdas handphone yang terus diciptakan dengan segala kelebihannya. Namun di hati anak manusia, tetaplah menjaga kejujuran.

Dan saya angkat topi setinggi-tingginya untuk orang-orang yang jujur kepada saya. Kemuliaan tersanjung untuk mereka dari hati terdalam. Terukir kebaikan mereka dalam catatan sejarah, di sebuah catatan hati bagi seorang penulis. Terimakasih untuk segalanya. [Asmara Dewo]

Info: Klickberita.com di-update setiap Sabtu pagi

Posting Komentar untuk "Kejujuran yang tak Bisa Ditukar, Digadaikan, Apalagi Dijual Belikan"