Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demi Menunaikan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

Negara yang berhasil adalah negara yang bisa membawa perubahan bagi rakyatnya. Berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa, berhasil mengentaskan kemiskinan, dan berhasil merangkul rakyatnya di bawah bingkai Bhineka Tunggal Ika. Harapan di atas tentunya sebuah impian bagi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia. 

71 tahun Indonesia merdeka, bangsa besar yang dilimpahi segala sumber kekayaan alam dan hasil bumi. Di seluruh provinsi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi kekayaan alam yang berlimpah ruah. Yang semuanya itu seharusnya mampu mengangangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan bagi setiap warganya. 

Ilustrasi warga miskin | Foto grafis/istimewa
Tapi sayang seribu sayang, tanah surga yang dimiliki Indonesia bak neraka bagi warga miskin. Rakyat kecil selalu disalahkan, rakyat kecil tak bisa mendapatkan apa yang menjadi haknya, rakyat kecil dirampas haknya, rakyak kecil dianaktirikan, dan rakyat kecil dianggap benalu bagi negaranya. Inilah fenomena yang terjadi di negara kita, Indonesia Raya. 

Padahal jelas  dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Silahkan dicatat di kepala kita masing-masing DIPELIHARA. Artinya apa? Siapa saja bagi warga miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh negara Indonesia. Dan pertanyaannya adalah sudah dijalankan apa belum pasal tersebut? 

Jika sudah, penulis berani katakan bahwa selama 71 tahun kemerdekaan Indonesia seharusnya sudah tidak ada lagi warganya yang miskin. Dan anak-anak terlantar, gelandangan, pengemis, mereka semua bukan berada di jalanan, tapi di panti sosial yang mendapatkan kehidupan yang layak dan mengenyam pendidikan sebaik-baiknya. 

Nah, kenyataannya adalah ini semua hanya harapan-harapan kosong. Jangankan memenuhi tanggungjawabnya, tidak merugikan warganya sendiri saja itu cukup baik bagi warga kecil. Mungkin juga ada baiknya, biarlah warga itu berkembang atas usahanya sendiri, atas impiannya sendiri, dan atas kerja kerasanya sendiri, tanpa diganggu oleh penguasa. Ya, mungkin inilah sebagian yang diinginkan oleh mereka. Sebab apa? Tidak ada yang benar-benar perduli atas nasib mereka. Yang ada hanya janji, program, dan harapan-harapan angin surga (baca: omong kosong). 

Rakyat kecil hanya bisa mengelus dada melihat orang-orang di atas, mulai dari korupsi berjamaah, kenaikan harga barang yang mencekik leher, program-program yang tak kunjung terealisasi, dan jahatnya mereka atas nama rakyat tapi menginjak kepala rakyat. Begitulah pada umumnya oknum ekskutif, legislatif, dan yudikatif.

Bingung rakyat kecil, kenapa bangsa kita seperti ini? Ayo, bung, siapa yang bisa menjawab? 

Luka-luka rakyat semakin besar dan dalam, di mana kesenjangan sosial semakin tinggi. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Hal ini diperkuat oleh LSM tingkat dunia, Oxpam, dalam laporannya ia menyebutkan: “Empat orang Indonesia terkaya, hartanya melebihi milik 100 juta rakyat.”. Lembaga yang sudah berdiri sejak 75 tahun itu juga menyebutkan bahwa Indonesia paling tinggi kesenjangan sosialnya dari berbagai negara di Asia Tenggara. 

Sedangkan provinsi yang paling tinggi kesenjangan sosialnya berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) diduduki oleh. Yogyakarta. Gini rationya sebesar 0,425 persen, mengalahkan Jakarta 0,397 persen. Padahal kita ketahui bersama Yogyakarta merupakan kota pendidikan, sebuah icon pendidikannya Indonesia. Dan kenyataannya adalah pendidikan dan wisata di Yogyakarta tak mampu mendongkrak kehidupan warga miskin di sana. 

Ini adalah tugas bersama, bukan hanya Pemprov Yogyakarta saja, tapi seluruh elemen masyarakat. Mulai dari cendekiawan, pejabat, alim ulama, mahasiswa yang disebut agen perubahan, dan pengusaha, harus betul-betul memikirkan warga miskin Yogyakarta. Agar tahun depan kesenjangan sosial di kota kesultanan ini berkurang, dan lenyap di tahun-tahun berikutnya. 

Begitu juga dengan provinsi lainnya, harus memperdulikan warga miskin di daerahnya. Jika bukan kita siapa lagi? Banyak orang pintar di negeri ini, tapi mereka tidak perduli. Banyak juga orang kaya di negeri ini, tapi mereka tak perduli. Dan pemimpin daerah yang memang tanggungjawabnya pun tak perduli. Jadi di tangan kitalah perubahana itu bisa dimulai. 

Penulis juga sempat membaca berita, ada oknum pejabat yang mengatakan kemiskinan itu karena warganya tidak bisa mengikuti perubahan atau perkembangan. Sekilas memang tampak benar, tapi ini sebenarnya seperti mengelak dari tanggungjawabnya. Padahal tugas merekalah yang merangkul, bukan meninggalkan. Selain memberikan bantuan dana tunai dan beberapa fasilitas gratis, warga miskin juga harus dididik agar mempunyai  skill yang mumpuni mengais rezekinya. 

Bantuan tunai itu sifatnya sementara, berapa juta pun diberikan ujung-ujungnya akan habis juga. Lain halnya dengan skill yang akan selalu bermanfaat sepanjang hidup. Yang tak kalah penting lagi adalah bea siswa pendidikan dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi juga harus dibuat programnya. Dan ini berlaku bagi seluruh anak warga miskin. 

Itulah beberapa poin yang harusnya diterapkan pemerintah Indonesia di setiap daerahnya demi menunaikan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Jangan malah menyalahkan warga miskin! Mereka sudah cukup menderita dalam hidup, maka jangan tambahi lagi beban hidupnya. [Klickberita.com/Asmara Dewo]

Baca juga di asmarainjogja:
Lima Cara Mengentaskan Kesenjangan Sosial di Yogyakarta 
Lima Motivasi Ampuh untuk Anak Muda Miskin 
Jangan Membuat Mereka Kaya! Tapi Buatlah Diri Kita Menjadi Kaya 
Sebelum Di-PHK, Bangun Bisnis Secepatnya! 

Info: Klickberita di-update setiap Sabtu pagi


Posting Komentar untuk "Demi Menunaikan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945"