Anak Melawan Kekerasan Seksual: Peradilan Sesat Minahasa Utara
Sulawesi Utara Darurat Kekerasan Seksual |
Klickberita.com-Kamis 14 November 2024 KAKSBG (Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender), GPS (Gerakan Perempuan Sulut), dan Aksi Kamisan Manado melakukan aksi di Pengadilan Tinggi Manado. Aksi ini dilakukan dalam rangka mengawal proses hukum kasus kekerasan seksual anak di tingkat banding dengan No. 130/PID/2024/PT MND yang sebelumnya dengan nomor perkara 81/Pid.Sus/2024/Pn Arm. Aksi Massa menuntut agar Majelis Hakim yang menangani perkara memutuskan hukuman maksimal terhadap terdakwa dan membayar restitusi sebesar Rp.28.430.000,- (dua puluh delapan juta empat ratus tiga puluh ribu rupiah), dan Aparat Penegak Hukum bisa menerapkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Sebelumnya pada 30 September 2024, Majelis Hakim yang menangani perkara di Pengadilan Airmadidi hanya memvonis terdakwa enam tahun penjara lebih rendah 2 tahun dari tuntutan, denda Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah) jika tidak dibayar diganti 3 bulan penjara), dan restitusi Rp 9.072.000,00 (sembilan juta tujuh puluh dua ribu Rupiah) dari 28.430.000. Putusan tersebut menimbulkan kekecewaan bagi korban dan para pendamping, karena belum memenuhi rasa keadilan korban, bahkan menambah luka.
"Panjangnya proses hukum yang harus dilalui, bahkan seringkali korban mengalami reviktimisasi ditahap kepolisian salah satunya mempertanyakan hal-hal yang justru menyudutkan dan menambah trauma. Seperti kasus kekerasan seksual yang pelakunya lebih dari satu, polisi menanyakan perbandingan ukuran penis dari para pelaku mana yang lebih besar. Pertanyaan yang dilontarkan itu tentu saja membuat korban kembali mengalami trauma dan jelas tidak memiliki perspektif korban," ujar Koordinator KAKSBG Nuhasannah.
Pola aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Sulawesi Utara masih belum terupdate Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai UU khusus, yang merupakan terobosan aturan hukum seperti pasal 25 ayat (1) yang menjelaskan, “Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan hakim yakin bahwa tindak pidana tersebut benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah.” Bahkan jika korbannya anak, akan ada pemberatan hukuman sepertiga dari ancaman pidana, seperti yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) huruf g.
Aparat penegak hukum masih berkutat dengan mencari saksi yang melihat langsung terjadinya kekerasan seksual yang dialami korban. Padahal hampir semua kasus kekerasan seksual tidak ada saksi yang melihat langsung, karena memang dilakukan di ruang-ruang privat. Dengan alasan itu kemudian Penyidik tidak mau menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan karena alasan kurang bukti. Karena hanya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan alasan ancaman pidananya lebih tinggi, namun faktanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) seringkali dibawah 10 tahun bukan tuntutan maksimal 15 tahun. Dengan alasan fakta persidangan seperti itu dan keputusannya tidak bisa diintervensi. Padahal pada saat sidang JPU tidak menggali keterangan para saksi yang dihadirkan Penasihat Terdakwa, JPU juga seharusnya membela hak korban, tetapi malah lebih mengutamakan hak terdakwa.
"Dalam proses persidangan, Majelis Hakim juga tidak ada rasa empati terhadap korban dimana masih mempertemukan korban dengan pelaku pada saat sidang. Sehingga korban kembali mengalami rasa traumatis," lanjut Nurhasannah.
Padahal itu sangat bertentangan pada Pasal 10 huruf a Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 207 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum “Hakim atas inisiatif sendiri dan/atau permohonan para pihak, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau korban dapat memerintahkan perempuan berhadapan dengan hukum untuk didengar keterangannya melalui pemeriksaan dengan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain, apabila: kondisi mental/jiwa perempuan berhadapan dengan hukum tidak sehat diakibatkan oleh rasa takut/trauma psikis berdasarkan penilaian dokter atau psikolog.”
Menurut data SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) terdapat 70.734 (tujuh puluh ribu tujuh ratus tiga puluh empat) kasus kekerasan seksual berbasis gender terhitung dari tahun 2016 Sampai tahun 2023. Khusus untuk Provinsi Sulawesi Utara, data Kekerasan Seksual berbasis Gender sejak tahun 2016 hingga tahun 2023 berdasarkan Sumber yang disampaikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yakni sejumlah 1.679 (seribu enam ratus tujuh puluh sembilan) kasus.
Apabila dilihat dari data tersebut, Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2021 ke tahun 2022 kasus kekerasan seksual mengalami Kenaikan sejumlah 132%, bahkan kasus Kekerasan Seksual di Sulawesi Utara tidak kunjung turun sejak dikeluarkannya UU TPKS, terhitung pada tahun 2022 sampai tahun 2023 kasus kekerasan seksual mengalami kenaikan sejumlah 3% atau kenaikan 14 kasus. Angka ini tentunya sangat mencemaskan dan menunjukkan urgensi tindakan tegas dan hukuman seberatnya terhadap pelaku.
Kekerasan seksual juga marak terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kampus yang mestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menimba ilmu malah menjadi sarang predator seksual. Data Kemen PPPA mencatat sebanyak 13.156 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada 2023. Dan berdasarkan data per April 2024, terdapat 2.681 kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Terjadinya kekerasan seksual entah di kampus atau di mana saja, karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Seperti antara dosen dan mahasiswi, mahasiswa senior dengan mahasiswi junior. Atau warga kampus lain yang menjadi pelaku kekerasan seksual yang menargetkan korban di bawah kekuasaannya.
Satgas PPKS berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi hanya memberikan sanksi administratif terhadap pelaku. Meskinya Pelaku Kekerasan seksual juga didorong ke ranah pidana, tidak cukup hanya selesai di atas kertas, menutup kasus, atau malah berdamai dengan alasan menjaga nama baik kampus. Pelaku harus dipenjara! Lihat Pasal 23 UU TPKS “Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”
Pada laporan yang disampaikan Komnas Perempuan ke PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) Anti Kekerasan terhadap perempuan yang bertemakan “Perkosaan sebagai Pelanggaran HAM Berat dan Sistematis dan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender” Ms. Dubrovka Simonovic menyatakan negara bertanggung jawab mempidanakan dan menuntut pelaku pemerkosaan sebagai pelanggaran HAM berat dan sistematik terhadap perempuan sejalan dengan standar HAM Internasional. Laporan tersebut juga menekankan berdasarkan kerangka dan yurisprudensi HAM Internasional belakangan ini pemerkosaan tergolong sebagai pelanggaran HAM berat.
"Kedepan kami mendorong APH wajib menerapkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Penerapan Undang-Undang tersebut tidak hanya berlaku kepada korban dewasa saja, tetapi korban anak. Karena hanya dengan penerapan UU TPKS hak-hak korban dapat terpenuhi dan lebih memudahkan dalam proses penegakan hukum. Kritikan dan saran dari masyarakat yang peduli atas isu ini juga mestinya sebagai bahan evaluasi terhadap Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Bukan malah sebaliknya kritikan dianggap memusuhi APH, atau mengatakan “Anda bukan atasan saya Untuk mengevaluasi kinerja saya!” pungkas Aktivis perempuan Sulut itu.
Redaksi
Posting Komentar untuk "Anak Melawan Kekerasan Seksual: Peradilan Sesat Minahasa Utara"