Rocky Gerung Vs Presiden Jokowi
Rocky Vs Presiden Jokowi |
Klickberita.com-Rocky Gerung kembali menjadi sorotan publik. Hal itu karena Rocky dalam acara konsolidasi buruh di Jakarta mengkritik Omnibus Law dan IKN (Ibu Kota Negara). Tetapi dalam uraian kritikan itu ada kata-kata “64j1ng4n & +0l01” yang ditujukan ke Presiden Jokowi.
Rocky menjelaskan tidak bermaksud menghina Jokowi secara personal, atau secara kepala keluarga. Dia dengan tegas mengatakan itu ke Jokowi selaku Presiden. Rocky dianggap menghina Presiden, tapi menurut Rocky tidak ada martabat bagi Presiden, karena Presiden adalah jabatan yang bisa diganti lima tahun sekali. Martabat hanya ada pada manusia.
Rocky memang terkenal dengan kritikan tajam dan menohok. Sebenarnya watak kritis itu bukan hanya soal pemerintahan saja, hal-hal lain seperti mengatakan Kitab Suci adalah fiksi pada acara ILC (Indonesia Lawyers Club) pada 2019 lalu. Jadi kemunculan Rocky ke publik memang membuat gerah orang-orang yang tidak bisa menerima argumentasinya.
Rocky juga berkali-kali dilaporkan ke pihak kepolisian, dia mengaku sampai 80 laporan yang masuk. Hal itu karena kritikan dan pernyataan-pernyataan yang membuat pihak lain tersinggung. Misalnya saja Rocky mengatakan Jokowi tidak paham Pancasila. Dengan argumentasi kalau Jokowi paham Pancasila, seharusnya kebijakan yang ingin menghapus syarat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam mengurus izin investasi tidak terjadi. Menurut dia itu bertentangan dengan sila ke-5.
Contoh lain, dalam berdemokrasi, Pemerintah yang membubarkan Ormas dengan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) dianggap bertentangan dengan sila ke-4. Rocky menilai pemerintah tidak demokratis.
Jika mau diuraikan kritikan Rocky ke Jokowi tentu banyak sekali, itu salah satu contoh saja. Meski begitu yang menjadi sorotan adalah Rocky adalah oposisi pengkritik kebijakan rezim yang dinilai merugikan rakyat. Sederhananya seperti itu.
Karena Jokowi adalah Presiden, maka kader PDI-P itu menjadi bulan-bulanan kritikan Rocky. Sebenarnya itu hal wajar, dan Presiden Jokowi menyadarinya. Jokowi paham betul resiko menjadi Kepala Pemerintahan, kritikan dari rakyat itu sebagai pluit jika Jokowi offside dalam membuat kebijakan.
Hal itu pula yang menjadi alasan Jokowi tidak melaporkan Rocky ke polisi. Karena pencemaran nama baik delik aduan, bukan delik biasa. Maka harus Jokowi sendiri yang membuat laporan.
Persoalannya adalah loyalis Presiden, seperti Moeldoko. Dia menekankan jangan macam-macam dengan Presiden, Moeldoko siap pasang badan menjaga kehormatan pimpinannya. Begitu juga dengan Mahfud MD, Pasal yang digunakan bukan pencemaran nama baik, tapi akibat kritikan Rocky menjadi keonaran di tengah masyarakat. Jadi kemungkinan delik lain akan digunakan menjerat Rocky.
Memang di berbagai daerah, simpatisan Jokowi dan kader PDI-P menggelar unjuk rasa menuntut Rocky dipenjara. Rumah Rocky juga digruduk oleh anggota PDI-P. Tak hanya itu saja, Rocky juga dilarang mengisi acara kemahasiswaan di kampus. Tampaknya dampak atas kritikan Rocky kali ini cukup keras.
Krisis Demokrasi dan Menyelamatkannya
Masyarakat berhak kritis, berhak menyampaikan pendapat jika Presiden keliru dalam membuat kebijakan. Misalnya lahirnya Omnibus Law yang merugikan masyarakat dan menguntungkan investor. Begitu juga dengan gegabahnya membangun IKN, padahal dananya tidak ada. Alhasil cari investor keluar negeri untuk membangun IKN.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Begitu juga dipertegas pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Jadi dengan amanah konstitusi tersebut setiap warga berhak untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Meskipun akan beresiko pembungkaman atas apa yang diperjuangkannya, sebut saja Haris Azhar, Fathia Maulidiyanti, Dandhy Laksono, Rocky Gerung dan aktivis lainnya
Nah, ketiga aktivis itu kritiknya lebih kalem, tetap juga dipolisikan. Artinya tolak ukurnya bukan mengkritik dengan cara sopan, tetapi apa yang disampaikannya objektif. Sehingga orang yang merasa risih atas sikap mereka mencari celah untuk mempolisikannya.
Catatan demokratis harus menjadi perhatian serius, pada 2022 lalu berdasarkan riset Economist Intelligence Unit (EIU) indeks demokrasi Indonesia skornya hanya 6,71. Indonesia kalah dengan Malaysia (7,30), Filipina (7,06) dan Timor Leste (6,73). Jika semakin banyak permasalahan demokrasi Indonesia maka skornya semakin nyungsep.
Krisis Demokrasi Indonesia yang memprihatinkan ini sepatutnya menjadi salah satu pekerjaan utama Jokowi. Bukan malah sebaliknya, membiarkan relawan dan loyalisnya untuk memenjarakan Rocky. Jokowi bisa mengundang Rocky di sebuah tempat untuk berdiskusi mengenai demokrasi. Karena tak dipungkiri otak Rocky di atas rata-rata loyalis Jokowi. Dan Rocky paham betul soal demokrasi.
Rocky sosok yang gentleman, dia pernah berdiskusi dengan Menkopolhukam Mahfud MD di sebuah Podcast. Berdiskusi juga dengan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Meskipun kedua menteri tersebut kerap dikritiknya. Artinya Rocky terbuka untuk diajak berdiskusi dengan berbagai topik kenegaraan.
Dengan bertemunya Jokowi dan Rocky tentu bisa meredam potensi gesekan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari dua Panglima Dayak yang sudah berstatement atas dukungannya masing-masing. Hal ini jika dibiarkan berpotensi terjadi kegaduhan yang luar biasa antar anak bangsa.
Sebaliknya jika malah memaksa untuk memenjarakan Rocky, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik horizontal.
Penulis: Asmara Dewo, Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Sam Ratulangi
Sumber: Asmarainjogja.id
Posting Komentar untuk "Rocky Gerung Vs Presiden Jokowi"