Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Restu Baskara, "Panglima Tempur" PBHI Yogyakarta

 



Restu Baskara, Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta | Design klickberita.com/Asmara Dewo
Restu Baskara, Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta | Design klickberita.com/Asmara Dewo

Klickberita.com-Nama Restu Baskara cukup familiar di kalangan aktivis Yogyakarta. Hampir setiap aktivis pernah mendengar namanya, atau berdiskusi dengan pemuda yang satu ini. Maklum saja, Restu selain sibuk merangkai kata indah, dia juga sosok yang ramah pada siapa saja.

Sehari-hari Restu adalah mengadvokasi kaum miskin, buruh, kasus struktural, dan kasus pelanggaran HAM. Saat ini dia memang dipercaya menjadi Kepala Divisi Non Litigasi PBHI Yogyakarta. PBHI sendiri adalah organisasi bantuan hukum yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Lelaki yang menuliskan buku “Kutanam Cinta di Ladang Kemanusiaan” ini hampir lima tahun mengabdikan diri pada pengadvokasian dan pengabdiannya di PBHI Yogyakarta.

Susah senang telah dialaminya bersama kawan-kawan di organisasi bantuan hukum. Karena PBHI Yogyakarta tidak seperti organisasi/lembaga lainnya yang punya donatur, PBHI Yogyakarta bertahan karena reimbursement dari Kemenkumham.

Selain Kemenkumham, PBHI juga menangani klien berbayar, dengan catatan kasus itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai pada PBHI.

“Saya bergabung di PBHI Yogyakarta sejak 2018 sampai sekarang,” ujar Restu mencoba mengingat kembali.

Ditanya selama bergabung di PBHI Yogyakarta kasus apa yang paling berkesan, Restu menceritakan pengalamannya mengadvokasi kasus driver Ojol (Ojek Online) yang tidak bisa bayar cicilan saat pandemi tahun lalu.

“Kasus yang paling berkesan adalah pendampingan driver/ojek online ketika tidak bisa membayar angsuran kredit kendaraan bermotor (roda 2 dan roda 4) saat awal pandemi Covid-19 karena keadaan memaksa (overmacht) tidak ada order (pengguna jasa aplikasi transportasi daring) sehingga tidak ada pendapatan,” lanjut Restu, melalui pesan, 23 Desember 2022.

“Program relaksasi dan restrukturisasi dari pemerintah ternyata tidak berjalan lancar di lapangan, sehingga para driver/ojek online ini bergabung menjadi kelompok yang bernama Rembug Darurat Leasing (RDL), dimana PBHI termasuk inisiator pembentukannya, dan PBHI juga sebagai kuasa hukumnya.”

RDL adalah kelompok yang bisa menyatukan berbagai komunitas driver/ojek online. RDL terdiri dari ADO, PPOJ, FRONT INDONESIA, INKOPOL, ORASKI, dan lain-lain. Mereka menuntut relaksasi dan restrukturisasi di perusahaan pembiayaan di DIY. Untuk diketahui secara kelas, mereka adalah kelas pekerja semi proletar (informal proletariat) di dalam industri Gigs Economy ini.

“Sebanyak 454 orang/debitur yang diadvokasi oleh PBHI Yogyakarta dan sebagai penanggung jawabnya adalah saya. Mengunjungi dan bernegosiasi di 30 perusahaan pembiayaan (leasing) yang tersebar di DIY. Bernegosiasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY dan OJK Semarang. Dan menghadapi Debt Collector (DC) yang berusaha menarik (merampas) kendaraan milik anggota RDL di jalan,” kata Restu.

Dalam pengadvokasiannya, “Panglima Tempur” PBHI Yogyakarta ini juga harus lihai bernegosiasi ke berbagai pihak. Hal itu terbukti saat mengadvokasi driver (klien) saat perampasan yang dilakukan oleh DC.

“Bernegosiasi dengan DC yang bertubuh tinggi besar dan sangar. Pada akhirnya mobil bisa dikembalikan ke pemiliknya. Pernah juga menggeruduk perusahaan jasa keamanan yang telah merampas unit mobil, bentrok dengan ormas partai dan terjadi kerusuhan sampai ditembaki gas air mata oleh Polda DIY. Pelaporan pidana ke Polda atas peristiwa itu. Aksi massa di depan perusahaan pembiayaan seperti di Astra Credit Company (ACC), aksi penyegelan kantor BCA Finance, aksi menggeruduk Andalan Finance, dan lain-lain,” Restu menceritakan pengalamannya.

Restu juga mengisahkan bagaimana PBHI Yogyakarta mendampingi kasus yang cukup lama tersebut, “Advokasi yang dilakukan oleh PBHI berjalan kurang lebih 1,5 tahun (Maret 2020 – Agustus 2021), dengan pendirian Posko Darurat Leasing di kantor PBHI Yogyakarta. Posko didirikan dengan agenda diskusi, konsolidasi, pemberkasan, lalu mendatangi ke perusahaan leasing satu per satu. Penerapan relaksasi dan restrukturisasi semuanya berjalan dan mayoritas memenangkan tuntutan, yaitu penerapan mekanisme relaksasi dan restrukturisasi dengan skema yang tidak memberatkan sampai satu tahun ke depan, ” Restu menambahkan.

“Ruang perdebatan dan latihan mengolah mental menghadapi banyak orang dengan berbagai karakter yang rata-rata adalah karakter keras adalah pengalaman yang berkesan dan berharga,” katanya.

Menguatkan pengadvokasian kasus salah tangkap Ryan di depan kantor PBHI Yogyakarta | Foto PBHI Yogyakarta
Menguatkan pengadvokasian kasus salah tangkap Ryan di depan kantor PBHI Yogyakarta | Foto PBHI Yogyakarta

Restu mengatakan dalam setahun PBHI Yogyakarta mengadvokasi sekitar 50 kasus, terdiri dari kasus perburuhan (perselisihan hubungan industrial), kasus perdata, dan kasus pidana.

Disinggung mengenai kasus klitih di Gedongkuning, sebagaimana diketahui PBHI Yogyakarta adalah Penasihat Hukum salah tangkap Ryan. Dalam upaya banding ke Pengadilan Tinggi, putusan hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta.

“Perkembangannya lanjutan (kasus Ryan) saat ini sedang pengajuan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Secara non litigasinya adalah menyuarakan isu ini ke publik sampai menjadi isu nasional dan mendapat perhatian dari masyarakat. Tentu saja untuk mempengaruhi hasil keputusan MA agar para terdakwa dibebaskan, karena terindikasi kuat sebagai korban salah (asal) tangkap, kekerasan aparat, rekayasa kasus, dan peradilan sesat,” harap Restu terhadap kasus yang ditanganinya.

Kasus salah tangkap Ryan dan kawan-kawan memang menjadi perhatian masyarakat Yogyakarta, tak heran simpati dan dukungan kasus ini semakin menguat dan meluas. Pengadvokasian dan dukungan itu terlihat dari berbagai konsolidasi, membangun aliansi Warga Bergerak, diskusi publik, mengerahkan aksi massa di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Selain itu juga melakukan aksi bersama ke DPRD, Aksi Kamisan, bertemu tokoh nasional, dan lain-lain.

PBHI Yogyakarta: Rumah Keadilan bagi Buruh

Restu saat mendampingi Zainul mediasi di Disnaker Kota Yogyakarta. Buruh Zainul di-PHK oleh perusahaannya karena memberitahukan hak-hak normatif di tempatnya bekerja. Respon dari perusahaan terhadap Zainul malah memecatnya | Foto dok. pribadi Restu Baskara

PBHI Yogyakarta banyak memenangkan kasus buruh. Tak heran buruh Yogyakarta kerap mendatangi kantor PBHI Yogyakarta yang beralamat di Jl. Manuk Beri, Wirogunan, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta.

“Sejak kurun waktu kurang lebih 6 tahun yang lalu (2016) sampai sekarang. PBHI Yogyakarta adalah ‘rumah keadilan’, tempat memperjuangkan keadilan bagi buruh yang terampas hak-haknya. Buruh adalah kelompok masyarakat yang menjadi mayoritas, tapi rentan dan tertindas oleh pengusaha dan rezim, sehingga memang perlu dibela,” jelas Restu terkait kelas buruh yang terisap pemodal.

Restu juga membeberkan bahwa PBHI Yogyakarta telah mengalami progres yang cukup baik, sebab sebelum 2014, OBH ini mengalami kemunduran, kurang dikenal, bahkan dianggap vakum atau bubar. Seiring waktu PBHI Yogyakarta mengalami kemajuan.

“Meskipun PBHI Yogyakarta juga terdapat kekurangan,” Restu mengakui di tubuh PBHI Yogyakarta juga perlu dibenahi.

Menurut Restu agar PBHI Yogyakarta semakin solid dan kuat perlu mengadakan pendidikan internal organisasi, menjaring persatuan dengan organisasi masyarakat sipil (CSO) lainnya dengan turut merespon isu-isu perburuhan. Selain itu juga mendorong buruh agar berserikat, mengadakan penguatan kelompok buruh dan kelompok masyarakat lainnya dengan pelatihan, pemberdayaan, pendampingan, dan pengorganisasian.

“PBHI Yogyakarta perlu lebih aktif lagi dalam pembentukan, pembangunan, dan pendukung berbagai organisasi gerakan rakyat, seperti serikat buruh, serikat tani, dan lain-lain,” harap Restu.

KUHP Baru = Masa Orde Baru

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang baru telah disahkan pada 6 Desember 2022 lalu. Kontroversi terjadi di tengah masyarakat luas atas produk hukum yang telah lama digodok di senayan ini. Berbagai kalangan menganggap KUHP yang akan berlaku tiga tahun lagi tersebut akan mengalami kengerian seperti zaman Orba (Orde Baru).

“Indonesia akan kembali ke jaman Orde Baru, di mana kekuasaan negara atas nama stabilitas nasional bisa melakukan tindakan respresif kepada rakyat. deideologisasi, depolitisasi, dan deorganisasi akan terjadi lagi dimana praktik-praktik pembungkaman kebebasan berpikir dan berpendapat akan semakin masif dilakukan rezim,” Restu mengungkapkan kengerian KUHP baru tersebut.

Restu menjelaskan hal itu adalah cerminan deideologisasi, kriminalisasi aktivis dan rakyat pada umumnya dengan pasal penghinaan presiden dan lembaga negara adalah salah dua bentuk dari depolitisasi, dan deorganisasi. Dalam praktiknya adalah pemberangusan organisasi rakyat seperti serikat buruh, pengekangan kebebasan berorganisasi yang dianggap membahayakan rezim,” tegas Restu lagi.

Sebagaimana dalam artikel, buku, diskusi, masa-masa Orba begitu mengerikan. Rezim melanggengkan kekuasaannya di atas darah dan nyawa orang-orang yang bertentangan dengan rezimnya.

Restu mengamini akan terjadi lagi represif rezim yang berkuasa.

“Terjadi represif ketika rezim tidak suka dengan orang atau kelompok yang dianggap mengganggunya. Pembredelan buku-buku yang dianggap kiri, kriminalisasi penerbit yang dianggap membahayakan, pengekangan kebebasan pers. Dan ini sangat mengerikan di mana demokrasi diberangus dan pelanggaran HAM akan semakin banyak terjadi,” sambung dia lagi.

Seharusnya Indonesia berbenah diri terkait semakin buruknya indeks demokrasi yang terjadi. Bukan malah berbenah, rezim yang berkuasa saat ini malah melanggengkan produk hukum yang tidak ramah terhadap HAM dan demokrasi.

“Ini yang menyebabkan mengapa indeks demokrasi di Indonesia semakin lama semakin turun, dan menjadi jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara lainnya. Seharusnya jika ingin menjadi negara yang modern dan maju harus dibenahi dulu peradabannya, dalam hal ini basis struktur dan suprastrukturnya. Dan itu dimulai dengan melakukan perbaikan demokrasi dan HAM,” tegas Restu jika berbicara tentang demokrasi dan HAM.

Produk represif KUHP baru ini tentu tidak terlepas dari peran rezim sekarang. Menurut Restu Jokowi-Ma’ruf sebagai pemimpin negara, kepala pemerintahan dan sekaligus pemimpin rezim telah mengupayakan berbagai cara termasuk dalam KUHP dalam ranah melanggengkan status quo.

“Sehingga harapannya tidak dirongrong lagi oleh gerakan rakyat.” Restu menyimpulkan.

KUHP Baru dan Omnibus Law

Dalam kolom berjudul “KUHP: ‘Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa’” di klickberita.com pada 19 Desember 2022, Restu menuliskan bahwa, “Hukum dan kekuasaan politik adalah suatu alat kapitalis untuk berkuasa di bidang ekonomi dan untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana eksploitasi.”

Menurut Restu Hukum itu sebagai alat agar pengusaha dan penguasa bisa mempertahankan status quo. Analisis itu dijelaskan secara detail oleh Restu pada situs berita tersebut. Dia mencontohkan pada pengesahan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang telah disahkan beberapa pekan lalu. Untuk diketahui hukum positif itu akan berlaku tiga tahun lagi.

Rezim Jokowi-Ma’ruf pada masanya memang telah melahirkan berbagai undang-undang yang kontroversi, contohnya omnibus law (Undang-Undang Cipta Kerja). Restu juga mengaitkan omnibus law dengan KUHP yang baru.

“Omnibus law adalah aturan mengenai ekonomi politik negara, sedangkan KUHP adalah aturan pertahanan dan keamanan untuk menjaga kepentingan ekonomi politik negara (modal dan kekuasaan). Sehingga dua UU itu adalah UU yang saling berkaitan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo, memperlancar arus modal dan menjaga kepentingan dari kapitalisme,” jelas Restu.

Omnibus law dianggap sebagai kemenangan Kapitalis, atau lebih dikenal dengan Oligarki di Indonesia.

“Ada benarnya. Karena omnibus law telah mengatur banyak sektor perekonomian (ketenagakerjaan, agraria, industri, tambang, lingkungan, dan lain-lain) di setiap lini negara, sehingga ini adalah cerminan dari politik yang dilakukan oleh kelas borjuasi/oligarki untuk menjaga kepentingannya lewat penguasaan lembaga negara (DPR, pemerintahan, kepolisian, kehakiman, dan lain-lain,” Restu tidak mengiyakan seutuhnya hal itu.

Restu menjelaskan lagi bahwa omnibus law itu tidak kemenangan kapitalis secara absolut, karena kontradiksi akan semakin tajam seperti hukum dialektika, di mana ke depannya akan memunculkan perlawanan yang lebih hebat.

Perjuangan Buruh di Yogyakarta

Pengadvokasian litigasi kasus buruh | Foto via Restu Baskara

Bicara soal buruh di Yogyakarta, kurang lengkap rasanya jika belum berbincang hangat dengan Restu. Terlebih lagi, lelaki yang lahir di Kotagede ini begitu antusias jika berdiskusi terkait perjuangan buruh. Tak heran pula, setiap diundang dalam diskusi-diskusi buruh ia selalu hadir dan memberikan perspektif dan pengalaman pengorganisasian buruh di Yogyakarta.

“Yogyakarta istimewa upahnya”, kalimat itu begitu masif diucapkan oleh aktivis, baik dari kalangan mahasiswa, maupun buruh. Memang sebagaimana diketahui D.I. Yogyakarta adalah provinsi terendah UMP (Upah Minimum Provinsi) dibandingkan wilayah lainnya.

Pemerintah D.I. Yogyakarta menetapkan kenaikan UMP DIY tahun 2023 sebesar 7,65 persen, menjadi Rp1.981.782, sebelumnya pada 2022, Rp1.840.915. Artinya kenaikannya hanya Rp140.866.

Penentuan UMP itu berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi yang mengacu pada Permenaker No. 18/2022 dan data BPS terkait pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Terkait upah murah itu menurut Restu karena pemerintah DIY tidak mengakomodir tawaran serikat buruh.

“Hal ini tidak terlepas dari political will dan political action pemerintah DIY. Pemerintah DIY tidak mendukung kenaikan upah seperti yang diusung oleh serikat buruh. Pemerintah DIY tunduk pada aturan yang berlaku tentang pengupahan yaitu PP No. 78 tahun 2015, di mana kenaikan upah tidak dimusyawarahkan tetapi dirumuskan oleh negara. Tidak ada lagi peran buruh/serikat buruh, pemerintah dan pengusaha untuk memusyawarahkan/negoisiasi kenaikan upah seperti yang dilakukan sebelum PP ini muncul,” jelas Restu.

“Sehingga dari tahun 2015, negara telah menutup akses dalam penentuan upah dengan tidak lagi menyandarkan pada hasil kesepakatan musyawarah antar pihak melainkan kenaikan upah itu dirumuskan oleh dua faktor saja, yaitu inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Ini yang menyebabkan kenaikan upah sangat jauh dari layak untuk buruhnya, dan tidak menjadi upah riil. Padahal buruh itu berhak menentukan upahnya sendiri sesuai dengan hasil kerjanya,” Restu menggarisbawahi.

Belum komplit jika bicara tentang upah mengabaikan peran organisasi buruh itu sendiri. Restu mengatakan sebenarnya organisasi buruh di DIY dari dulu sampai sekarang tidak mengalami kemajuan. Restu sendiri sudah mengorganisir buruh di Yogyakarta sejak tahun 2011 setelah ia pulang merantau dari Bekasi.

Restu juga mengatakan buruh yang berserikat masih minim dan kualitas perjuangannya juga masih rendah. Dan organisasi buruh di DIY juga belum menunjukkan kekuatan perjuangannya secara maksimal.

Tidak progresnya organisasi buruh menurut Restu adalah kurangnya demokratisasi di serikat buruh itu sendiri. Para pimpinan/elit serikat buruh memegang kekuasaan penuh dalam berserikat. Sehingga partisipasi anggota sangat minim.

“Tidak melakukan pendidikan di organisasi secara baik dan merata. Penguasaan pemahaman berorganisasi, perspektif perjuangan, dan kesadaran hanya dimiliki oleh segelintir orang saja di dalam serikat buruh. Sehingga kesadaran dan pengetahuan tidak merata pada setiap anggota,” urai Restu apa yang perlu dibenahi dalam Serikat Buruh.

Organisasi buruh di Yogyakarta masih jalan sendiri-sendiri.

“Sehingga perjuangan itu masih sempit dan minim solidaritas. Konsolidasi gerakan buruh masih minim dan persatuan serikat buruh belum bisa memenangkan tuntutan ekonomistiknya (normatif), apalagi memenangkan secara politik. Minimnya persatuan dan perjuangan ini terjadi secara masif dan luas,” Restu memberi catatan.

Karakter buruh tentu saja memengaruhi perjuangan buruh di setiap wilayahnya. Hal itu terbukti organisasi buruh di Yogyakarta berbeda dengan organisasi buruh di wilayah lainnya. Restu membeberkan bahwa buruh di Yogyakarta adalah semi proletariat. Tidak murni proletariat yang sama sekali tidak punya aset atau alat produksi.

“Basis masyarakat di DIY berbeda dengan di kota/kawasan industri. Mayoritas basis masyarakat DIY adalah pekerja informal (informal proletariat), di mana masih mempunyai alat produksi menengah dan kecil. Sehingga mereka tidak terlalu mengkhawatirkan kondisi kerja yang ada karena masih punya modal dan alat produksi. Atau istilah lainnya adalah kelas proletar yang setengah-setengah (semi proletariat). Yang ini juga kemudian mempengaruhi karakter dan perjuangan serikat buruhnya yang kurang radikal, belum progresif dan tidak revolusioner,” jelas Restu.

“Pekerja atau masyarakat di DIY yang pribumi dan masih terhegemoni kekuasaan Tri Tunggal (3 kekuasaan yang menyatu) yaitu Feodal, Birokrat, dan Kapitalis, akan sedikit berbeda mengondisikan masyarakatnya menuju tatanan yang demokratis, anti feodal, anti birokratis, dan anti kapitalis dibandingkan dengan daerah lainnya. Sehingga Yogyakarta dianggap sebagai kota intoleran, kota tanpa keadilan, dan kota darurat kekerasan,” tegas Restu menyoroti Kota Istimewa tersebut.

Untuk menguatkan organisasi buruh, Restu mencoba memberikan formulanya, yaitu dengan berlawanan dengan poin-poin yang telah dijabarkan tadi.

“1. Melakukan demokratisasi di dalam serikat buruh; 2. .Melakukan pendidikan di serikat buruh, baik pendidikan yang ekonomistik, pendidikan politik, dan pendidikan ideologi kelas buruh; 3. Melakukan upaya persatuan dan perjuangan yang masif, maksimal, mandiri dan meluas. Karena kemenangan kelas buruh itu juga diukur dari semakin meluasnya persatuan dan perjuangan kelas buruh dan rakyat tertindas,” Restu melanjutkan.

“4. Kemajuan dan perkembangan dari kapitalisme itu sendiri yang semakin masif, dan ini menjadi tak terelakkan sehingga menciptakan kelas buruh (murni proletariat) yang semakin masif pula. Dan ini terjadi dari proses akumulasi primitif/modal, dimana orang tercerai berai dari modal dan alat produksi (tanah, aset, dan lain-lain); 5. Runtuhnya tatanan hegemoni feodal, sehingga rakyat menjadi lebih demokratis dan fokus melawan kepada kekuasaan (kapital dan rezim).

Penulis: Asmara Dewo

Sumber: www.asmarainjogja.id 

Posting Komentar untuk "Restu Baskara, "Panglima Tempur" PBHI Yogyakarta"