Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Potret Predator Seksual di Ruang Pendidikan Kita




Ilustrasi korban kekerasan seksual
Ilustrasi korban kekerasan seksual | Foto Maxime Caron on Unsplash

Klicikberita.com-Apa yang Anda pikirkan ketika di ruang pendidikan kita, di sekolah, di kampus, guru atau dosen yang bertugas mendidik siswa, tapi malah mencabuli siswanya? Dan yang lebih tragis lagi, pemerkosaan itu terjadi berkali-kali. Yang tidak habis pikir adalah korban itu masih di bawah umur. Tentu sangat marah, kesal, geram, apalagi dalam proses penegakan hukumnya berjalan lambat. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan masa depan mereka?

Jelas, mereka mengalami traumatis berkepanjangan. Bahkan menurut Psikolog klinis dan forensik, Kasanda Putranto, sebagaimana mengutip dari BBC Indonesia, tingkat keparahan trauma itu dipengaruhi beberapa faktor, antara lain berupa usia korban, jenis kekerasan seksual yang dialami, dan durasi kekerasan seksual itu terjadi.

Kasanda menjelaskan semakin muda usia bisa jadi semakin besar faktor traumanya dibandingkan yang sudah dewasa. Semakin banyak tekanannya, semakin besar juga traumanya. Semakin lama, misalnya bertahun-tahun dengan yang satu satuan waktu, tentu akan lebih besar traumanya. Kebanyakan korban kekerasan seksual tidak bisa pulih sepenuhnya dari traumatis mereka.

Karena begitu besarnya dampak bagi korban kekerasan seksual, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, tidak ada istilah perdamaian dalam penegakan hukum kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual meski mendapatkan efek jera atas perlakuannya terhadap korban. Selain itu yang tak kalah penting adalah sebagai pengingat bagi orang lain agar tidak berani macam-macam terhadap kejahatan kekerasan seksual.

CNN Indonesia melaporkan, survei yang dilakukan SETARA dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia menyatakan 75 persen responden setuju proses damai dihilangkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual seperti tertuang dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Beberapa bulan ini memang begitu masif kasus kekerasan seksual yang mencuat ke publik. Pertama, kasus Herry Wirawan, yang telah memperkosa 13 santriwati di pondok pesantren yang dibangunnya. Pelaku mengakui perbuatannya di persidangan, dan Pengadilan Negeri Kota Bandung memvonis pelaku dipenjara seumur hidup. Tidak terima atas putusan tersebut, pelaku mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, bukan malah berkurang hukumannya, pelaku malah divonis hukuman mati.

Kasus kedua tak kalah menggegerkan publik adalah Mochamad Subchi Anzal Tsani alias Bechi, dia diduga mencabuli lima santriwati. Anak kyai Pendiri Pondok Pesantren Shiddiqiyah Jombang itu saat ini ditahan di Rutan Kelas 1 Surabaya. Penangakapan Bechi juga sangat dramatis, ratusan Polisi dikerahkan untuk menangkap Bechi di Ponpesnya. Namun berakhir gagal karena dihalangi ratusan simpatisan dan ayahnya yang pasang badan saat penangkapan. Karena kasus ini semakin disoroti publik, pihak kepolisian pun akhirnya bisa meringkus Bechi. Sebenarnya kasus ini sudah dilaporkan ke Polres Jombang 2018 lalu. Entah ada “kekuatan gaib” dari mana Bechi masih saja bisa berkeliaran selama kurang lebih empat tahun.

Kasus ketiga, tak kalah hebohnya, Julianto Eka Putra yang dikenal sebagai motivator pendidikan dan pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia, kini telah ditahan setelah sidang yang ke-19 kalinya. Penahanan itu atas perintah Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut. Salah satu korban yang berani bersuara di Podcast Close The Door, mengakui dirinya diperkosa sebanyak 15 kali. Julianto diduga memperkosa sebanyak 15 siswi sejak 2019 silam lalu.

Kasus keempat, kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau, Dekan Fisipol sekaligus Dosen Syafri Harto divonis bebas setelah kasus pencabulan yang membawanya ke meja hijau. Hakim menilai tidak terpenuhi secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider. Namun beberapa mahasiswa melakukan audiensi ke Menteri Nadim Makarim di Kemendikbud-Ristek atas putusan bebas dosen tersebut. Selanjutnya akan ada upaya dalam perlindungan terhadap penyintas dari Kemendikbud-Ristek.

Dalam laporan Kata Data, Komnas Perempuan mencatat selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Selanjutnya Ponpes 16 kasus, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 15 kasus.

Dari kasus dan data di atas, inilah potret pendidikan Indonesia, predator seks menghuni di ruang-ruang pendidikan. Begitu mengerikan sekaligus ancaman bagi anak dan adik kita, jika pelaku kekerasan seksual masih menghirup udara bebas dan tidak ada efek jera. Hal ini membuat kita khawatir mengirimkan anak atau adik kita di Pesantren. Kita juga was-was terhadap guru-guru cabul di SMA. Dan kita juga takut menguliahkan di kampus-kampus yang masih memelihara dosen berwatak cabul.

Memang kita patut mengapresiasi atas lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Karena selama ini jika terjadi kekerasan seksual pihak Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat hanya berkutat pada KUHP saja, sehingga pelaku bisa bebas atas perbuatannya.

Tak jarang pula kasus-kasus pemerkosaan bisa didamaikan secara kekeluargaan. Perdamaian seperti ini memang patut disayangkan, padahal tidak berlaku restorative justice pada kasus pemerkosaan. Bahkan ada pula kekerasan seksual bisa berakhir dengan perkawinan. Bagaimana mungkin dalam membangun rumah tangga atas dasar keadaan yang memaksa, tidak atas pondasi kasih sayang dan cinta?

Kita bisa lihat pada kasus-kasus di atas ada ketimpangan relasi kuasa, antara murid dengan guru, antara santriwati dengan ustadz, mahasiswi dengan dosen. Sehingga korban diancam agar diam atas perilaku bejat si predator seks. Tak heran kasus seperti itu bisa bertahun-tahun terbongkar. Tak kalah menjengkelkan adalah dalam laporan ke pihak kepolisian, korban juga disudutkan oleh pihak kepolisian dari pernyataan dan pernyataannya. Bahkan sering pula kasus seperti itu tidak progres.

Menjadi catatan penting adalah korban sudah cukup mendapatkan perlakuan buruk dari predator seks, maka sebaiknya siapa saja yang ada di sekitarnya meski memahami kondisi korban. Karena otomatis psikisnya terganggu, jangan dibebani lagi dengan pertanyaan dan pernyataan yang memberatkan korban.

Catatan penting kedua adalah tidak semua korban itu berani bersuara atas apa yang dialaminya. Karena korban merasa malu, merasa dirinya sudah kotor, dan tidak berguna. Maka korban memilih diam tidak menceritakan kepada siapapun karena itu aib pada dirinya sendiri dan keluarga. Meskipun hal itu tidak kita benarkan, tapi itu memang terjadi pada kasus-kasus kekerasan seksual.

Untuk meminimalisir kejahatan seksual pada orang terdekat, kita meski memilih kampus, pondok pesantren, dan sekolah. Kita pastikan tempat di mana anak kita menuntut ilmu bersih dari predator seksual. Mengetahui dengan siapa saja anak kita berinteraksi, karena pelaku kekerasan seksual ini pelakunya adalah orang terdekat. Tidak mudah begitu percaya pada seseorang, apalagi sampai melabelisasi “orang suci”, “orang baik”. Selain itu selalu berkomunikasi secara intens, agar tingkah laku orang tersayang  kita bisa terpantau.

Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum

Sumber: www.asmarainjogja.id

Baca juga:

Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan

Posting Komentar untuk "Potret Predator Seksual di Ruang Pendidikan Kita"