Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seru Honeymoon ala Backpaker Boru Nasution di Danau Toba



 

Klickberita.com-Bus Sejahtera meliuk-liuk mengikuti tikungan tajam nan terjal di perbukitan. Dari kejauhan, bibir danau mulai terlihat. Perlahan bus semakin mendekat, tepat di Panatapan, salah satu danau terbesar di bumi ini mulai menunjukkan keanggunannya.

Kami memilih bus Sejahtera karena rekomendasi teman, Abang Halomoan Siahaan. Selain tiketnya murah Rp50.000 dari Medan ke Parapat, busnya ber-AC, sopir juga profesional. Tidak ugal-ugalan selama perjalanan.

Belakangan mulai sadar persaudaraan antar marga, Rizka memang berdarah Nasution. Menurut beberapa sejarah, ada hubungan antara marga Nasution dengan Siahaan.

“Kalau Rizka Br. Nasution, berarti dia itoku, dan kita marlae, Bang.” sambung Bang Mo lagi, “kalau marganya dipakai, Abang harus sopan samaku. Karena itoku abang ambil.” dia menambahkan emotikon senyum.

“Siap-siap, Laekku. Kan, udah sopan kali aku sebelum marlae pun,” aku membalas. Bang Mo ini teman kuliah waktu di Graha Kirana Medan, sampai sekarang tetap akrab.

Bukan Bang Mo saja, teman SMP-ku, Joshua Simajuntak, juga mengatakan begitu, “Kita marlae.”

Aku bilang ke Rizka, “Kalau Rizka di Medan, banyak sekali saudara Rizka di sini. Karena kekerabatan marga itu kuat sekali. Marga itu sendiri menembus agama. Orang bisa pindah agama, tapi orang nggak pernah pindah marga.” ini mungkin tampak berlebihan tapi, kan, memang seperti itu, darah keturunan yang mengalir pada tubuh manusia tidak akan hilang, selagi generasi itu terus beranak-pinak.

Rizka sejak tadi mendokumentasikan perjalanannya melalui kamera handphone (HP). Dia begitu takjub melihat Danau Toba dari balik kaca bus. Siapa saja memang yang melihat Danau Toba tentu takjub. Tak heran, turis lokal maupun mancanegara hilir mudik ke sana. Terlebih lagi Rizka baru pertama kali menginjakkan kaki ke Sumatera Utara, khususnya di Danau Toba.

Pelabuhan Ajibata

Bus berhenti tidak jauh dari Pelabuhan Ajibata, hanya beberapa langkah kaki saja dari loket. Dua tas gunung kami turunkan, satu carier 85 liter, dan satu lagi carier 22 liter. Menggendong carier sebesar 85 liter berkemeja itu memang tidak asyik. Karena sebelumnya kami harus takjiah ke rumah saudara yang meninggal di Johor, Medan. Jadilah penampilan aku yang tidak cocok banget, outfit rapi, tapi gendongannya kumal banget, meskipun sudah dicuci bersih versiku.

“Mau ke Ambarita atau Tomok?” tanya petugas tiket penyebrangan.

Kami ragu, sempat bertelfon dengan “tour guide” online (Abang Moan Siahaan). Dia memberikan keterangan soal Pulau Samosir yang melegenda itu. Sebenarnya aku pernah ke sini, dulu waktu SMA kelas 2 sama teman-teman dari Pondok Pesantren Darul Arqom Kerasaan. Yang kedua kalinya sama teman-teman kuliah, Bang Moan juga ikut waktu itu. Tetapi sekarang sudah lupa.

“Kalau ke Tomok kapalnya sudah berangkat, tinggal yang ke Ambarita berangkat pukul 17.30 WIB,” kata Boru Sinaga itu.

Penumpang lain menyambung, “Ke Tomok naik kapal kayulah.”

Kalau aku terserah saja naik Ferry atau kapal kayu. Apalagi Bang Mo bilang naik kapal kayu sekarang sudah aman, banyak pelampungnya. Amanlah. Akhirnya kami putuskan naik Ferry ke Pelabuhan Ambarita dengan tiket Rp10.000.

Kami lupa, ternyata belum makan siang. Sembari menunggu keberangkatan, kami mencari warung di sekitar Ajibata. Untuk mengganjal perut, aku pilih mie cup dan teh botol di warung yang dikelola dengan gaya anak muda. Rizka tidak makan, dia hanya menemani duduk di samping. Makan Pop Mie dan minum teh botoh totalnya Rp12.000.

Setelah makan, kami ke mini market membeli minuman dan camilan untuk di atas Fery, setelah itu balik lagi ke pelabuhan.

“Di mana tempat sholat, Kak?” tanya Rizka ke petugas.

“Ada di lantai atas, Kak, tapi ini udah mau berangkat,” jawab petugas.

Kami pun buru-buru ke penyebrangan Ferry. Seperti di pelabuhan penyebrangan lainnya, banyak anak-anak dan remaja tanggung berenang mendekati kapal.

“Lempar jauh! Lempar jauh!” teriak salah satu anak dari bawah.

Beberapa uang kertas mulai dua ribuan sampai lima ribuan dilempar penumpang dari atas ferry. Sesampai di permukaan air tangan mereka sudah menampung. Saling berebut, mereka teriak kegirangan mendapat uang dari penumpang. Terlihat di mulut mereka kepenuhan uang, ternyata mereka menyimpannya dalam mulut.

Penumpang sudah memenuhi kursi-kursi, mobil dan motor juga memadati Ferry di dek bawah. Beberapa menit kemudian terompet Ferry berbunyi kuat berkali-kali, tanda akan berangkat. Para bocah yang berebut uang belum juga menjaui kapal, mereka tak menggubris auman Ferry.

“Woiii! Sudah-sudah! Kapal mau berangkat!” teriak petugas pelabuhan mengingatkan.

Beberapa di antara mereka mulai menjauhi kapal, sebagian masih asyik menangkap uang dan menyelami danau.

“Sudah, Kak! Jangan lempar lagi!” teriak salah satu dari mereka.

Namun tetap saja uang tetap dilempar oleh penumpang, sehingga ada yang balik arah mengejar uang.

“Woi, jugul kali kalian! Sudah-sudah!” kembali petugas pelabuhan mengingatkan.

Akhirnya mereka mau menepi, mengucapkan terima kasih dan selamat berlayar kepada para penumpang.

Pelayaran ke Pulau Samosir

Rizka Wahyuni br. Nasution berpose di dek Ferry
Rizka Wahyuni br. Nasution berpose di dek Ferry | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo

Sabtu, 12 Maret 2022, menjadi pelayaran pertama Rizka ke Pulau Samosir. Saat itu sinar raja siang bersinar lembut, beberapa penumpang yang tengah duduk di depan dek ferry menyingkir, mencari tempat berteduh. Sementara kami menikmati sinarnya, membiarkan tubuh disirami surya.

Ferry sudah membelah danau meninggalkan jauh pelabuhan yang semakin kecil terlihat. Ombak semakin terasa karena kecepatan ferry bertambah. Di atas dek kami menikmati pelayaran penyeberangan sembari menunggu senja.

Di tengah kami juga “berpapasan” dengan kapal kayu. Terlihat kencang juga. Tampaknya ombak yang dirasakan kapal kayu itu lebih terasa. Terlihat guncangangannya, sementara ferry yang kami naiki lebih tenang.

Pelabuhan Ambarita

Tak terasa pelayaran ini harus berakhir di Pelabuhan Ambarita. Awak Ferry mengumumkan akan berlabuh, dan para penumpang pun bersiap-siap turun. Penumpang yang membawa kendaraan sudah masuk ke kendaraan masing-masing. Bersiap memutarkan roda lagi di daratan.

Sampai sejauh ini kami belum mem-booking hotel. Padahal sejak di Ferry tadi kami berusaha mencari hotel yang cocok sesuai budget. Waktu terus berlalu, hari semakin gelap. Di sana banyak warung, musholla, mobil-mobil berhenti di sana. Kami masih mencari tempat menginap dari aplikasi yang tak kunjung cocok.

Abang becak yang kedua kalinya menawarkan jasanya ke kami. Karena belum tahu pasti menginap, kami menolak halus.

Sempurna, hari sudah gelap. Penginapan belum juga fix, karena terlalu banyak “diskusi”, akhirnya sudah kami berjalan ke daerah penginapan, yaitu Tuktuk Siadong. Jarak dari Pelabuhan ke Tuktuk Siadong sekitar 5 Kilometer.

Berjalan dengan carier berat di pundak sudah biasa, toh, kali ini hitung-hitung cari keringat. Lama juga tidak berolahraga. Sepanjang jalan anjing menggonggong galak. Rizka ketakutan, apalagi ada anjing yang hiperaktif mendekati siapa saja orang baru yang melintas di depan rumah mereka.

“Gukguk itu nggak akan mengejar kalau Rizka nggak lari,” aku mencoba menenangkan. Tapi Rizka tetap nggak percaya, selalu suudzon terhadap penjaga rumah tersebut.

Untungnya trotoar jalan menuju Tuktuk sangat bagus, jadi kaki kami lebih cepat melangkah. Baju sudah basah, keringat mengucur deras meskipun suasana sebenarnya cukup dingin. Di jalan itulah kami fix mendapatkan hotel melalui aplikasi, Bernard Guest House & Resto Redpartner dengan harga Rp157.000.

Di tengah jalan tukang becak menawarkan jasanya, bapak itu dengan semangat keluar dari lapo, “Mau kemana kalian?”

“Ke Tuktuk,” kami jawab serempak.

“Bah, jauh itu, naik becak ajalah.”

“Berapa, Pak?”

“50 ribu,” jawabnya tegas dengan logat khas Batak.

“Dua puluh saja, Pak,” kami menawar.

“Nggak bisa, 50 Ribu udah standar itu.”

“Ya, udah, 25 Ribu aja.”

Si bapak tetap menolak, dan akhirnya kami kembali berjalan.

Ternyata memang jauh berjalan. Rasa lelah mulai terobati ketika tiba di Tuktuk. Di sana banyak juga kafe, tempat minum kopi, makanan khas Chinese, dan rumah makan Muslim. Yang jelas makanan khas batak B1, B2, dan lomok-lomok merajai di jalan.

Penginapan Murah

Sesampai di Bernard kami kelelahan, baju basah sempurna.

“Naik apa, Bang, sampai ke sini?” kata bos penginapan.

“Jalan, Pak.”

“Bah, dari mana tadi turunnya?”

“Dari Ambarita. Lagian sudah biasa juga kami jalan, Pak,” ucap Rizka.

Sebelumnya kami di arahkan ke kamar di lantai dua, namun Rizka meminta untuk kamar yang menghadap langsung ke danau sesuai permintaan di aplikasi. Si bos pun akhirnya menawarkan kamar sesuai permintaan, tentu saja kami setuju. Dengan harga Rp157.000 kamarnya ukuran luas, ada tempat tidur tambahan (ekstra bed), kamar mandi dalam, dan ada teras untuk bersantai.

Karena saking laparnya, aku langsung makan yang sudah kami beli sebelum tiba di penginapan seharga Rp14.000. Udara di sana sebenarnya cukup dingin, tapi karena masih keringatan, udara yang menyengat itu mengimbangi suhu tubuh. Aku begitu lahap makan di teras.

Esok paginya, tirai jendela dibuka, mata terpana menyaksikan Danau Toba dari kamar. Bagi kami ini keren. Kami buru-buru keluar mendekati danau. Sempat santai dan berjalan-jalan di tepi danau sembari mengabadikan momen. Dari sini kami baru sadar, atap penginapan kami berbentuk rumah adat orang Batak. Ini berarti pemilik hotel tetap membudayakan Batak pada bangunan itu.

Nah, untuk mengeksplor surga tanah Batak ini, kami menyewa motor dengan harga Rp100.000 yang sudah terisi minyak hampir penuh. Batas waktunya mulai pukul 11.00 dikembalikan sampai pukul 20.00. Cukup murah dengan durasi selama itu, apalagi motor maticnya bagus dan sehat.

Tanpa babibu kami langsung tancap gas. Seru banget jalan-jalan di Pulau Samosir mengendarai motor, pemandangan terlihat jelas dan tentunya indah tiada tara. Salut karena jalannya bagus, apa mungkin karena setelah kunjungan orang nomor satu di negeri ini? Semoga saja tidak. Atau mungkin karena Danau Toba merupakan kawasan wisata super prioritas?

Huta Siallagan

Perumahan adat Batak di Huta Siallagan
Perumahan adat Batak di Huta Siallagan | Foto asmarainjogja.id, Asmara Dewo

Pertama yang kami kunjungi adalah Huta Siallagan, yakni perkampungan rumah adat Batak (Rumah Bolon). Meskipun saat ini sudah dipugar, namun eksotis Rumah Bolon itu tetap terlihat jelas, bertambambah indah dengan ukiran-ukiran khas Batak.

Papan pengumuman pada rumah itu tertulis: “Rumah Gorga/Rumah Bolon adalah rumah panggung tradisional Suku Batak. Selain untuk tempat tinggal, Rumah Bolon/Rumah Gorga juga dapat digunakan untuk upacara adat. Dahulu, satu Rumah Bolon yang berukuran besar dapat dihuni dua sampai enam kepala keluarga. Pada umumnya, area Rumah Bolon atau Rumah Gorga dibagi menjadi dua bagian, yaitu Jabu Parsakitan dan Jabu Bolon. Jabu Parsakitan adalah tempat penyimpanan barang dan lumbung padi, lalu Jabu Bolon adalah tempat tinggal keluarga besar. Rumah Bolon dan Rumah Gorga juga dihiasi oleh ukiran-ukiran dan gambar yang menjadi simbol dari pandangan kosmologis dan falsafah Suku Batak.”

Saat kami berkunjung, Tepat di rumah G. Siallagan/C br. Sihombing sedang melakukan acara martamiang (berdoa). Rumah Bolon itu penuh dipadati keturunan Siallagan dan kerabatnya. Sebelah kiri rumah itu terdapat pohon yang cukup rindang, tepat di bawahnya terdapat kursi batu yang dahulunya digunakan untuk persidangan menghukum warganya yang bersalah.

Di sebelah rumah itu juga terdapat rumah yang memiliki tempat pemasungan. Nah, itulah pemasungan bagi warga yang bersalah setelah di sidang oleh raja dan pejabatnya.

Tiket masuk ke Huta Siallagan Rp10.000. Di sana juga tersedia berbagai souvenir dan baju sebagai buah tangan wisatawan.

Patung Kayu Sigale-Gale

Para pengunjung menari tor-tor bersama Si Gale-Gale
Para pengunjung menari tor-tor bersama Si Gale-Gale | Foto asmarainjogja.id, Asmara Dewo

Setelah dari sana kami melanjutkan eksplor berikutnya ke Tomok, tentu saja ke Sigale-Gale. Jaraknya cukup jauh, sekitar 13 Kilometer dari Huta Siallagan. Bayangkan kalau kita tidak sewa kendaraan tentu sulit, karena di sana tidak ada angkutan umum. Hanya becak motor dan ojek yang ada, itu pun dengan harga yang  menurut kami cukup tinggi.

Sigale-gale adalah patung kayu yang bisa menari karena “dikendalikan” oleh orang dari belakang menggunakan tali. Patung kayu ini berusia ratusan tahun, dan dari sejarahnya merupakan sebagai obat pelipur lara raja yang kehilangan putra mahkota saat pertempuran.

Para wisatawan yang berkunjung ke sana bisa menari tor-tor yang dipandu oleh petugas. Biaya menari per rombongan Rp100.000, dan kalau menyewa ulos dan topi hanya Rp5.000. Pertunjukan ini sangat menarik dan merupakan daya pikat wisatawan yang setiap kali berkunjung, terlebih lagi wisatawan Batak itu sendiri.

Tak jauh dari sana, ada pemakaman Raja Sidabutar. Situs ini sengaja tidak kami kunjungi karena jika dikunjungi tidak ada lagi rasa penasaran situs wisata di Tomok, dan hal inilah yang akan membuat kami kembali lagi berkunjung. Mungkin beberapa tahun lagi kaki kami akan menginjakkan lagi di tanah Samosir untuk mengunjungi makam raja ini.

Museum Batak

Museum Batak berbentuk rumah Bolon
Museum Batak berbentuk rumah Bolon | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo

Museum Batak ini berbentuk Rumah Bolon yang berisikan peninggalan raja Batak. Kita bisa menyaksikan senjata, patung kayu, seperti Sibaso, berangkas penyimpanan perhiasan bernama Huting-Huting, alat dapur, seperti Rumbi, sapa bolon, dan lain sebagainya. Hamparan terpal berwarna merah menyambut kami, di sisi kanan-kiri bergantungan peninggalan yang bertuliskan bahasa Batak Kuno. Di sana juga terdapat lukisan yang menceritakan kehidupan orang Batak pada zaman itu.

Pengunjung juga bisa menggenakan ulos untuk berfoto dengan membayar Rp10.000, selain itu di sana juga menjual souvenir-souvenir khas Batak untuk cindera mata.

Menyantap Durian

Setelah dari Museum Batak, rencananya kami ingin ke air terjun. Nah, di perjalanan kami melihat durian yang dijajakan di depan rumah warga. Buahnya besar-besar, berwarna kuning, dari tampilan luar tidak ada busuknya. Selera banget hanya dengan melihatnya saja. Memang kami setiap melihat durian di daerah-daerah lain selalu mencicipi, tak terkecuali durian Samosir ini.

Kami terkejut dengan harganya, ukuran besar harganya Rp30.000, dan setelah kami tawar jadi Rp25.000.

“Enak kali duriannya, nggak akan nyesal kalian beli,” ujar penjual durian kepada kami, “rasanya manis-manis pahit.”

Tidak sabar, kami pun langsung menyantapnya. Wow… ternyata benar, rasanya enak banget, legit, manis dan ada pahitnya. Tak cukup satu buah, kami menambah satu lagi dengan ukuran yang sama. Rasanya tak kalah enaknya.

“Borong ajalah semua,” bujuk pedagang durian.

“Waduh, kami naik angkutan umum, Namboru. Kalau bawa kendaraan pribadi boleh juga kami borong ini,” kataku menolak halus.

“Enak sekali duriannya,” puji Rizka yang tiada henti mulutnya merasakan kelezatan durian Samosir.

Setelah puas, dan total membayar dua durian seharga Rp45.000 kami pun melanjutkan eksplor selanjutnya ke Pangururan.

Pantai Pasir Putih dan Danau di Atas Danau

Pangururan ini merupakan Kota Kabupaten Samosir, dan juga sebagai kecamatan. Di sana terkenal dengan Pantai Pasir Putih. Memangnya ada pantai di Samosir? Eittt… tunggu dulu ini bukan pantai seperti di Yogyakarta, atau Pantai di Bali yang merupakan bagian dari Samudera Hindia. Pantai ini sebenarnya tepian Danau Toba yang kebetulan berpasir putih dan landai.

Pantai Pasir Putih ini ramai pengunjungnya, cocok untuk wisata keluarga. Banyak permainan anak-anak, juga speed boat, dan permainan air lainnya. Tentu saja menyantap kuliner di sana, kita bisa tinggal pilih kafe yang berjejer di tepian pantai.

Kami cukup lama duduk bersantai di sana sembari makan, dan mengatur tempat wisata apalagi yang akan dikunjungi. Bang Mo rekomendasikan ke wisata Air Panas. Karena kami juga akan ke Sidebuk-Debuk di kaki Gunung Sibayak. Maka kami putuskan lain waktu saja mandi air panas yang berada di kaki Pusuk Buhit itu. Mengingat tidak perlu semua objek wisata dikunjungi, agar ada alasan kembali ke Pulau Samosir.

Selanjutnya kami bergegas “membelah” Pulau Samosir ini. Bang Mo juga bilang untuk mengelilingi Pulau Samosir hanya butuh tiga jam. Tapi kami pikir ini sudah sore, tidak sempat jika harus mengelilingi pulau ini. Maka kami memotong jalan dari Pangururan ke Tuktuk. Kami melewati danau di atas danau, yakni Danau Aek Natonang, yang berada di Desa Tanjungan, Kec. Simanindo. Kab. Samosir.

Jalannya cukup bagus, menuju ke sana rutenya terus menanjak, memang harus kendaraan yang bagus agar tidak terkendala. Pemandangan dari atas melihat Danau Toba sungguh menakjubkan. Sayangnya kami sudah menjelang maghrib. Meskipun tidak begitu ramai rumah warga, tapi hampir di setiap rumah ada di tepi jalan. Jadi kami tidak perlu khawatir di perjalanan menjelang malam hari.

Motor terus kami pacu agar tidak larut malam sampai di penginapan, terlebih lagi saat berada di tengah hutan. Ciut juga nyali. Kami memang agak ngebut kalau jalan sepi, untuk lebih waspada saja. Tak terasa akhirnya kami sampai di Tuktuk sekitar pukul 20.00 WIB.

Penulis: Asmara Dewo, seorang petualang yang mendokumentasikan perjalanannya.


Artikel ini telah tayang di www.asmarainjogja.id dengan judul Cerita Seru Honeymoon Boru Nasution Pertama Kali ke Danau Toba

Baca juga:

Serunya Berwisata Alam Kebun Teh Sikatok Berlatar Gunung Sindoro

@asmarainjogja Sebuah perjalanan kami yang tak terlupakan saat berlayar ke Pulau Samosir. Sungguh Danau Toba itu begitu menakjubkan, bestie 😃 #RamadanKembaliKuat #ramadan #tiktoktraveling #tiktoktravel #foryoupage #FYP #asmarainjogja #danautoba #pulausamosir #tobalake #Medan #infowisata #Parapat ♬ Cooking Time - Lux-Inspira

Posting Komentar untuk "Seru Honeymoon ala Backpaker Boru Nasution di Danau Toba"