Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menerapkan Hukum pada Pelaku Tindak Pidana (Skizofrenia)





Ilustrasi pelaku kriminal
Ilustrasi | Foto Unsplash, Sammy Willyams

Klickberita.com-Siapa saja orang yang melakukan tindak pidana tentu mendapatkan ganjaran, mulai dari sanksi administrasi, sampai hukuman dipenjara. Namun ada beberapa alasan seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya, misalnya orang yang sakit jiwanya. Orang yang akalnya terganggu ini tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, meskipun perbuatannya jelas-jelas melawan hukum, seperti menipu, mencuri, menganiaya, bahkan sampai membunuh.

Tampaknya seperti tidak adil, terlebih lagi bagi si korban dan keluarganya, adanya ketidakpuasan jika orang yang telah berbuat tindak pidana malah dibebaskan. Tak heran beberapa kalangan tetap ngotot, meskipun orang yang jiwanya terganggu harus tetap dihukum. Boleh jadi ini soal dendam, atau dari kalangan penegak hukum hanya sebatas menyelesaikan tugas tanpa menimbang sisi kemanusiaan.

Ayat 1: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Ayat 2:  Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana menurut Prof. Muljatno, S.H., dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Terbitan Rineka Cipta, Tahun 2008, Hal. 168-169, Orang yang tanpa disangka-sangka lalu menyerang orang lain, dan memukuli hingga babak belur. Di sini orang gila tidak diajukan ke muka hakim pidana, tetapi dikirim ke rumah sakit jiwa.

Orang gila jiwanya sakit, tidak normal, sehingga apa yang dipikirkan , apa yang diinsafi ketika menyerang dan memukuli, tidak mungkin disamakan dengan kita (Pen: manusia normal). Orang yang demikian pun fungsi bathinnya tidak normal pula. Sesungguhnya orang gila tidak dapat dipersalahakan, karena berbuat demikian, sebab mereka kita anggap, tidak dapat berbuat lain dari apa yang telah dilakukan.

Selanjutnya Hal. 171, Prof. Muljatno, S.H. menjelaskan dari Simons, “Kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.

Adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal di samping melakukan perbuatan pidana:

1. Adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu, dan

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.

Masih pada Hal. 175, kesalahan adalah penilaian dari keadaan psikologis itu, dinamakan normatief schuldbegrip (paham kesalahan yang normatif). Begitu pula waktu menyelidiki batin orang yang melakukan perbuatan. Bukan bagaimana sesungguhnya keadaan batin orang itu menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik (hakim) menilai keadaan batinnya, menilik fakta-fakta yang ada.

Buku yang sama, Hal. 181, Prof. Muljatno, S.H mengutip van. Hattum, hakim harus memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa tersebut sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya memang jiwanya tidak normal, maka, menurut Pasal 44 KUHAP pidana tidak dapat dijatuhkan. Jika hasil pemeriksaan masih meragukan bagi hakim, itu berarti bahwa adanya kemampuan bertanggungjawab tidak terbukti, sehingga kesalahan tidak ada, dan pidana tidak dapat dijatuhkan. Berdasarkan asas: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 

Beberapa kasus terdakwa yang didiagnosis berpenyakit jiwa dilepaskan dari segala tuntutannya, misalnya pada perkara No.2353/Pid.B/2018/PN Mdn. Dalam vonis hakim terdakwa memang dinyatakan bersalah karena menghilangkan nyawa orang lain (Pasal 338 KUHP), akan tetapi tidak dapat dipidana. Dan terdakwa dibebaskan untuk dirawat ke rumah sakit karena mengidap penyakit skizofrenia paranoid.

Mengutip penjelasan Dr. dr. Nurmiati Amir, SpKJ dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga Tahun 2018, Hal. 219 yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak mampu berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien dapat mempunyai waham (suatu kepercayaan palsu yang menetap yang tak sesuai fakta) dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya waktu, tetapi pasien membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktu bertahun-tahun di rumah sakit jiwa.

Pertanyaannya adalah meskipun dibebaskan oleh majelis hakim, namun pada saat tahapan penyidikan oleh Polisi dan penyerahan berkas ke Jaksa, apakah si tersangka atau terdakwa tadi tetap ditahan atau menjadi tahanan luar?

Nah, ini yang meski ditindak secara serius oleh para penegak hukum. Sebagaimana Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan: Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari: a. dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan, b. psikologi atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan/atau, c. pekerja sosial mengenai kondisi psikosial.

Selain itu penyidik juga berwenang untuk menghentikan suatu perkara jika tersangkanya mengalami gangguan jiwa (skizofrenia), berdasarkan Pasal 120 KUHAP:

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut peengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatan yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Dan jika memang ahli jiwa itu menerangkan si tersangka memang mengalami sakit jiwa, seperti skizofrenia. Maka penyidik bisa menghentikan kasus tersebut sebagaimana wewenangnya dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau perstiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

Hal itu pernah dilakukan pada kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibunya sendiri di Cakung, Jakarta Timur. “Sesuai UU proses hukumnya nggak dilanjutkan. Tim dokter yang memeriksa menyatakan kalau saat membunuh anaknya, dia sudah mengalami gangguan kejiwaan,” kata Kanit Reskrim Polsek Cakung AKP Tom Sirait, sebagaimana laporan Tribunnews.com pada 28 Maret 2019. 

Apabila tahap penyidikan tersangka masih tetap ditahan, kasus tetap berlanjut, dilimpahkan ke Kejaksaan. Maka Jaksa juga bisa membebaskan dengan meminta ke hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan: Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.

Nah, jika kasus tetap digelar dan terdakwa penyandang disabilitas (mengalami skizofrenia) tetap dipenjara, maka ini sudah masuk pada pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), mengingat begitu banyak undang-undang yang melindunginya.

Misalnya saja Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang tertuang dalam Pasal 6 Huruf d Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas: Bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan pengucilan.

Pasal 86 No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa: Setiap orang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap OMDK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Maka bisa disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana yang mengidap sakit skizofrenia namun tetap dipenjara, maka penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim telah melanggar hak asasi manusia.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat Magang/Paralegal PBHI Yogyakarta

Artikel ini telah tayang di www.asmarainjogja.id dengan judul Bagaimana Penegak Hukum Melanggar HAM terhadap Pelaku Tindak Pidana (Skizofrenia)?

Baca juga:

Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan

Posting Komentar untuk "Menerapkan Hukum pada Pelaku Tindak Pidana (Skizofrenia)"