Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesona Curug Lawe Jadi Rekomendasi yang Suka Bertualang

Semerbak aroma bunga sejak tadi mengikuti kami. Seakan-akan merasa dibuntuti. Berkali-kali aku bilang ke Rizka, “Pakai parfum apa, sih? Kok wangi banget?”

“Nggak ada pakai pakai parfum. Kelupaan tadi,” sahut Rizka.

Wewangian ini memang cukup asing di hidungku. “Seperti aroma bunga apa, ya,” Aku berusaha menebak-nebak, “kenanga, mawar, atau apa, ya?”

Sempat juga nyali turun. Karena kami memang tersesat ke bukit-bukit, tanpa seorang pun melintas. Biasanya kalau di ladang itu ada petani, mungkin lagi cari rumput, menyiangi gulma, atau sedang memanen. Nah, ini tidak ada sama sekali. Beda kalau jalan-jalan ke Gunungkidul atau Kulonprogo, meskipun tersesat di ladang, ada saja jumpa warga, jadi tidak terlalu takut.

“Atau karena covid-19, ya, warga jadi jarang keluar,” kataku.

“Mungkin juga,” balas Rizka, “tapi aman, kan?” suara Rizka berbeda.

Aku tahu maksud kata “aman” yang Rizka bilang. Karena aku sempat berhalusinasi sepulang dari Bromo karena saking capek dan ngantuk berat.

Kataku seperti mengigau, “Jahitan hijab udah diambil?”

“Bang-Bang… kenapa?” Rizka memukul pundakku berkali-kali, karena motor sempat oleng.

Sementara langit semakin gelap, kanan-kiri jalan adalah jurang terjal. Mungkin karena itu pula Rizka khawatir. Sementara kami harus tiba sampai di Malang secepatya. Tidak mau kemalaman lagi. Akhirnya aku bisa bertahan sampai ke pos distribusi dan beristirahat cukup lama di sana.

Sebenarnya kami sudah mengikuti google maps ke Curug Lawe. Tapi tidak tahu pasti kenapa jalan yang kami lalui mengarah ke hutan-hutan. Setelah melewati perbukitan sepi itu kami menjumpai jalan beraspal, di sana perumahan warga ramai. Uhhh… bisa bernapas lega. Suara Rizka kembali normal.

“Eh, berhenti dulu kita. Tanya ke warga sebentar,” motor kubalikkan menuju rumah salah satu warga.

“Permisi, Pak, mau tanya, Curug Lawe jalannya dari mana, ya, Pak?” tanyaku..

Sebelum bapak itu yang menjawab, istrinya menyahut, “Betul jalannya dari sini. Terus saja ikuti jalan itu, nanti di persimpangan belok kanan,”

“Oh, masih jauh lagi nggak, Bu?” tanya Rizka.

“Lumayan jauh,” sahut si ibu.

“Kalau jalannya bagaimana, Bu?” aku tanya lagi.

Diam sejenak saling berpandangan dengan suaminya, “Ya, begitu jalannya.”

Saya mengerti maksudnya. Setelah itu kami berpamitan, roda kembali menggesing. Lihat di google maps 45 menit lagi sampai tujuan.

Setelah melalui perdusunan, kali ini kami memasuki area kebun durian yang begitu luas. Tak hanya buah berkulit duri itu saja, tapi juga ada perkebunan cengkeh. Jujur saja aku baru pertama kali melihat perkebunan durian dan cengkeh yang begitu luas. Letaknya berada di perbukitan yang cukup gersang. Agak gersang mungkin karena musimnya.

Karena berada di area perbukitan, panorama di sekitar membuat kami takjub. Ternyata perkebunan cengkeh itu eksotis juga dilihat, apalagi musim kering seperti sekarang. Andai perkebunan ini di Yogyakarta, munkin jadi salah satu objek wisata.

Tersesat atau tidak, karena pemandangannya eksotis kami semakin menikmati perjalanan. Sebenarnya semakin tersesat kita di jalan, banyak sekali pengetahuan baru yang didapatkan. Aku pribadi tidak begitu terkejut, si Rizka saja yang penakut. Paranoid berlebihan kalau traveling, dan itu tidak terjadi sekali saja.

Matic kami menembus jalan persimpangan jalan. Sepertinya ini tanda-tanda mau sampai. Seorang mbah dengan kayu dipunggungnya berjalan tenang, meskipun agak terbungkuk-bungkuk. Rambutnya sudah memutih, keriput wajahnya terlihat jelas. Kami berhenti, lalu bertanya ke mbah.

Pesona Curug Lawe | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo
Pesona Curug Lawe | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo
“Permisi, Mbah, mau tanya. Kalau mau ke Curug Lawe dari mana, ya?”

“Ohhh… kalau ke Curug Lawe terus saja ikuti jalan ini,” ujar Mbah dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.

“Jauh lagi, Mbah?”

“Dekat, kok.” kata Mbah.

“Terimakasih banyak, Mbah.”

Kami kembali melanjutkan petualangan ke Curug Lawu. Lagi-lagi pemandangan di sekitar menuju lokasi membuat kami takjub. Kali ini hanya perkebunan cengkeh saja terhampar luas. Perjuangan kami pun menuai hasil, area Curug Lawe sudah di depan mata.

Akhirnya sampai juga, wajah Rizka berubah, terlihat senang. Motor kami parkirkan tanpa harus berlama-lama lagi. Saat ini pengunjung tidak begitu ramai, terlihat dari kendaraan yang tersusun rapi di sana. Mungkin banyak yang belum tahu Curug Lawe telah buka kembali sejak ditutup beberapa bulan lalu karena pandemi Covid-19.

Kami berusaha agak cepat di jalan tadi karena khawatir wisata air terjun ini tutup. Lusa kalau ke sini lagi lebih baik pagi-pagi sekali dari Yogyakarta, jadi tidak kesiangan. Kami disambut ramah petugas parkir, setelah turun dari motor, suhu badan kami diperiksa. Suhu badan saya 36,2 derajat selsius. Artinya saya sehat dan boleh memasuki area Curug Lawe. Begitu juga dengan Rizka yang sempat merapikan kerudungnya sebelum dicek suhu tubuhnya.

“Mas, tutupnya pukul berapa, ya?” tanya Rizka ke petugas parkir.

“Pukul 15.00, Mas. Jadi kalau lebih dari itu tidak boleh masuk lagi ke curug,” ujar mas tersebut.

Kami mengangguk bersamaan.

“Terus batas keluar dari Curug?”

“Nah, batas keluarnya sampai pukul 16.00. Pengunjung harus pulang dari Curug.”

Baiklah, mantap. Kami sudah tidak sabar lagi melangkahkan kaki memasuki rimbanya Gunung Ungaran.

“Dari sini berapa lama, Mas?”

“Sekitar 45 menit, Mbak,” ujar mas itu lagi.

Jauh juga ternyata menuju ke dari area parkir.

“Titip motor, ya, Mas,” pesanku ke mas parkir.

Kami bergegas siap-siap menuju Curug Lawe. Kami lihat jam menunjukkan pukul 14.00 WIb. Sebelum membeli tiket, tersedia keran air dan handsoap di wastafel. Kami pun mencuci dan mematuhi protokol yang telah diterapkan petugas di sini. Dari banner yang terpampang jelas di sana, pengunjung diwajibkan mencuci tangan, memakai masker, tidak berkerumun, dan jaga jarak.

Rizka memesan tiket, per orangnya sepuluh ribu, sedangkan parkir motor tiga ribu rupiah.

Kami melanjutkan perjalanan dengan semangat baru lagi. Setapak demi setapak jalan kami lalui, udara segar pegunungan terasa sejuk. Sebelum memasuki gerbang curug di seberang jalan ada warung. Pengunjung tampak makan-minum di sana.

“Mampir, Mas?” ujar pemilik warung.

“Terimakasih, Bu. Kami ke Curug dulu, Bu, takut kesorean,” balasku seramah mungkin. Rizka ikut melontarkan senyum.

Burung bercicit-cicit seperti menyambut kami, begitu juga suara jangkrik tak mau kalah. Pepohonan menjulang tinggi, batangnya besar-besar, dua kali pelukan saya sepertinya belum cukup. Akar pohon menjulur panjang ke bawah. Mirip tali tarzan. Sedangkan daunnya begitu rindang. Di atas sana terdapat sangkar begitu banyak yang terbuat dari rumput kering. Tidak tahu pasti itu sangkar apa, yang jelas mereka adalah para penghuni lereng Gunung Ungaran.

Menelusuri jalan ini kami berjalan di atas selokan. Eh, bukan selokan gorong-gorong seperti  di kota, ya? Ini jauh berbeda. Jadi aliran air pegunungan Ungaran dibuat dari semen bentuknya seperi selokan di kota. Nah, airnya bersih, mengalir deras, dan dingin.

“Terasa nggak, sih, harum yang tadi ada juga di sini?”

“Ini harum bunga kopi, lho,” Rizka menyahut sembari terus berjalan. Memang tadi dia sempat jawab begitu. Tapi aku belum percaya.

Nah, akhirnya kami menemukan pohon kopi yang berbunga lebat. Sejak tadi aku penasaran sekali apa yang dibilang Rizka. Bunga berawarna putih itu pun aku petik dan langsung menciumi aromanya.

“Oh, iya, wanginya sama.”

“Betul, kan, Rizka bilang?”

Aku hanya menyengir kuda.

Aroma bunga kopi masih menyengat sejauh kaki kami melangkah. Memang setelah kuperhatikan cukup banyak kopi yang tumbuh di sini. Bunganya sedang memekar indah dan mewangi. Saking wanginya udara di sekitar menjadi harum.

Rizka mulai terasa letih, napasnya sudah ngos-ngosan, sementara jalan semakin menyempit. Kaki kami melangkah hati-hati, karena ada beberapa jembatan yang sudah ditambal papan. Nah, di bawahnya jurang curam, cukup ekstrem. Rizka sampai tertatih-tatih berjalan ketakut.

Kami berjalan terus tanpa henti sembari menikmati rimbanya lereng Gunung Ungaran. Udara semakin dingin, jadi tidak terlalu letih setelah lama kaki melangkah sejak parkiran tadi. Sampailah kami di rest area. Di sana ada musholla, kamar mandi, tempat duduk, sepatu pohon, bahkan rumah pohon juga tersedia. Kami hanya duduk sebentar, setelah beberapa tegukan minum, kami melanjutkan petualangan.

Oh, iya, selain Curug Lawe, di sini juga ada Curug Benowo. Karena waktunya mepet, kami tidak sempat singgah. Jadi kami fokus saja menuju ke curug utama yang sudah terjadwal.

Tidak jauh dari rest area, sekitar 200 meter ada warung yang buka. Rizka senang sekali, terlihat dari raut wajahnya. Kami kembali beristirahat, menikmati hidangan apa saja yang bisa mengisi perut. Sejak memasuki belantara memang warung ini yang buka.

“Silahkan,” ucap pemilik warung, “mau pesan apa?”

Sebenarnya aku mau merasakan kopi asli di sini, tapi karena napas juga terengah-engah niat itu aku urungkan. Kami mua minuman dingin saja.

“Es teh dua, Mbak,” Rizka memesan.

Gorengan yang terhidang di piring begitu menggoda. Tanpa basa-basi aku lahap gorengan itu. Sejak tadi perut memang sudah berteriak minta diisi.

Kami mengobrol lama dengan pemilik warung bernama Yanti. Mbak Yanti berujar dia juga aktif berkomunikasi dengan petugas di luar untuk memastikan keamanan pengunjung di Curug Lawu.

“Kami saling berkomunikasi, Mas, untuk memastikan keamanan pengunjung yang datang. Jadi, berapa pengunjung yang lewat di sini saya beritahu ke petugas di luar,” ujar Mbak Yanti, “khawatir saja dengan pengunjung yang lama pulangnya. Karena itu saya mengingatkan juga kepada pengunjung agar pulang tepat waktu. Biar tidak kemalaman sampai di luar.”

Aku juga menanyakan apakah di sini boleh camping.

“Camping boleh, Mas, tapi harus lapor dulu. Mau camping atau pulang hari? Biasanya memang ramai yang camping di sini sebelum corona. Tapi sekarang karena baru buka lagi belum ada yang camping,” tutur Mbak Yanti lagi, “Anak-anak pramuka juga sering ke sini, jumlahnya sampai lima puluhan.”

“Di mana biasanya untuk camping, Mbak?”

“Untuk camping lokasinya di persimpangan Curug Benowo, dan area dam.”

Nah, soal pendakian ke Gunung Ungaran memang jarang dari jalur sini, tapi banyak juga pendaki malah turun gunung melalui jalur Curug Lawe.

“Biasanya mereka turun dari sini, Mas.”

“Lha, kendaraan mereka bagaimana, Mbak?”

“Oh, biasanya sudah janjian. Kalau tidak janjian pun, mereka bisa order ojek online dari sini,” Mbak Yanti menambahkan.

Ternyata bisa masuk juga ojek online. Nah, kalau banyak penumpang pakai taksi online.

Setelah mengobrol cukup lama, kami melanjutkan perjalanan.

Suara deras sungai mengalir sebagai tanda curug sudah dekat. Dari bebatuan cadas dan besar itu mengalir air yang begitu jernih.

Aliran Curug Lawe
Aliran Curug Lawe | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo
Curug yang begitu alami ini begitu terawat, sampai-sampai sangat kesulitan melihat sampah yang berserakan. Hampir di sepanjang jalan menuju curug terdapat tempat sampah. Jadi pengunjung bisa membuang sampah pada tempatnya.

Di tengah jalan kami berpapasan dengan pengunjung lain.

“Masih jauh curugnya, Mas?”

“Dekat lagi, kok, Mas. Paling sekitar 200 meter,” katanya.

Pengunjung perempuan lainnya memberi semangat ke Rizka, “Semangat, Mbak!”

Rizka tertawa kecil, “Siap, Mbak. Terimakasih.”

Baiklah, sebentar lagi sampai katanya. Menapaki jalan ini sembari bercanda tak terasa di pengujung jalan.

Curug Lawe sudah terlihat, tingginya sekitar 50 meter. Tak hanya satu sumber mata air yang berdebum hebat ke bawah, tapi masih banyak sumber mata air lainnya, hanya saja tidak begitu deras. Pada dinding curug warnanya agak hitam berkemilauan, rerumputan hijau juga menggelantung di sana. Dari bawah terlihat pohon-pohon menjulang tinggi berdaun rimbun.

Bongkahan batu raksasa menyebar di setiap sudut curug. Batu-batu kecilnya juga cukup tajam, cadas, dan licin, harus hati-hati setiap kaki melangkah. Selain itu ada batang pohon besar malang melintang yang dimakan usia, tapi tampak masih sangat keras.

Imbauan di petugas agar tidak mandi tepat di bawah curug, sebab berbahaya. Karena khawatir ada bebatuan atau batang kayu yang kapan saja bisa jatuh dari atas. Karena masih masa pandemi, pengunjung juga tidak berkerumun di lokasi.

Saat kami di sana pengunjung tidak begitu ramai, karena kami datang bukan pada waktu wekeend. Tapi secara pribadi aku memang lebih suka suasana seperti ini, tidak begitu padat dan saling berdesakan. Karena saat liburan, curug yang berada di Desa Kalisidi, Kec. Ungaran Barat, Kab. Semarang, Jawa Tengah ini begitu ramai dikunjugi dari berbagai daerah.

Setelah mengambil beberapa dokumen foto dan video, aku mandi di air alam yang asri ini. Rizka tidak mandi, mungkin takut, tapi dia sempat beralasan sulit nanti ganti pakaiannya (padahal ada rest area). Ya, memang di sini tidak ada kamar ganti, lagian memang sudah aku jelaskan, ini curug masih alami sekali. Jadi nikmati saja keindahan alamnya.

Sudah kebiasaan, kalau berkunjung ke air terjun, belum afdol rasanya kalau tidak mandi. Ada yang ganjal di hati, jika tidak bisa merasakan air dari pegunungan atau perbukitan. Jadi di Curug Lawe ini aku menyempatkan berbasah-basahan. Airnya dingin sekali, setelah beberapa menit saja, badan menggigil. Puas bermain air aku menyudahi “ritual mandi” di alam ini, lalu menghampiri Rizka dan berkemas pulang.

Pesona Curug Lawe di lereng Gunung Ungaran
Pesona Curug Lawe di lereng Gunung Ungaran | Foto Asmarainjogja.id, Asmara Dewo
Kamis, 10 September 2020 adalah hari berkesan kami bertualang ke Curug Lawe. Belajar dari setiap jejak petualangan, berkenalan dengan warga, dan menyentuh langsung alam indah di lereng Gunung Ungaran. Semua itu menyatu dalam memori kami masing-masing. Dan tentu saja ini bukan akhir petualangan ke sana, masih ada tetangga Curug Lawe, yaitu Curug Benowo. Kabarnya Curug itu lebih eksotis.

Penulis: Asmara Dewo

Instagram: @asmaradewo

Facebook: Asmara Dewo

Tonton videonya!

Artikel ini telah tayang di www.asmarainjogja.id dengan judul Petualangan Berkesan ke Curug Lawe di Lereng Gunung Ungaran



Posting Komentar untuk "Pesona Curug Lawe Jadi Rekomendasi yang Suka Bertualang "