Banteng Terjerembab di Lumpur Minangkabau
Klickberita.com-Kekalahan telak PDI-P di Sumatera Barat (Sumbar) membuat resah Megawati Soekarno Putri. Sebagai Ketua Umum PDI-P tentu saja Megawati harus punya strategi baru untuk meraup suara di akar rumput. Jika starateginya begitu saja tentu akan mengalami kekalahan berulang-ulang.
Sebagaimana diketahui Megawati sempat mengeluh warga Sumbar tidak memilih PDI-P, “Seperti saya melihat Sumatera Barat, saya pikir kenapa, ya, rakyat di Sumbar itu sepertinya belum menyukai PDI-P?”
Indonesia beragam adat dan suku, hal itu tidak perlu diragukan lagi. Dan setiap wilayah punya karakteristik masing-masing, sehingga mereka punya kriteria memilih pemimpin. Pertarungan Pilpres 2019 lalu menyaksikan kekuatan kedua kubu, antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo Sandi.
Jokowi Ma’ruf menang dengan jumlah 85.607.362 suara, atau 55,50% dari total suara yang sah. Sementar Prabowo-Sandi hanya mendapat 68.650.239 suara atau 44,50%. Dari antara wilayah pemilihan tersebut, Sumbar merupakan tempat “keramat” bagi PDI-P. Jokowi-Ma’ruf hanya mendapatkan 407.761 (14.08%), sedangkan Prabowo-Sandi: 2.488.733 (85.92%) (Katadata.co.id, 2019). Jauh sekali perbandingannya.
Hal itu diperparah karena tidak ada perwakilan anggota PDI-P ke DPR RI dari wilayah Sumbar. PDI-P “babak belur” dengan Parpol lainnya, seperti Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Untuk DPRD Sumbar periode 2019-2014, PDI-P kerap menjadi minoritas, yakni tiga anggota saja. Bahkan sejak Pemilu 1997 kader PDI-P menjadi minoritas mengisi kursi legislatif. Justru yang meningkat di DPRD Sumbar, yakni PKS selama dua periode. 10 tahun terakhir PKS menang dalam Pilkada Sumbar dan berhasil menempati posisi Gubernur (Tirto.id, 2020).
Polemik Puan Maharani dan Tidak Disukainya PDI-P di Sumbar
Melihat garis keturunan Megawati dan Puan Maharani jelas mereka punya darah keturunan Minangkabau. Ini tidak bisa dipungkiri.
Puan Maharani dari keturunan ayahnya, Taufik Kiemas, Kakek Puan berasal dari Sumatera Selatan bernama Tjik Agoes Kiemas dan nenek bernama Hamzatoen Rosjda dengan ayah berasal dari Pulau Pisang Krui, Lampung bernama Joesaki, dan ibu dari Batipuh Tanah Datar, Sumatera Barat, bernama Taksiah. Sedangkan dari neneknya, Fatmawati, adalah puteri dari pasangan Hasan Din dari bengkulu dengan Siti Khadijah dari keturunan Kerajaan Indrapura yang berpusat di Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Gesuri.id, 2020).
Ketua DPR RI Puan Maharani yang sempat mengatakan “Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi mendukung negara Pancasila” itu menuai konflik. Akibatnya sekelompok pemuda dan mahasiswa melaporkan cucu Soekarno itu ke Bareskrim Polri. Belakangan laporan itu ditolak karena tidak memenuhi unsur. Melihat silsilah keluarga Puan tidak mungkin juga dia bermaksud menghina Suku Bangsa Minangkabau, yang mana suku itu juga mengalir di darahnya. Terlalu berlebihan memang jika perkataan Puan soal Pancasila itu dianggap menghina.
Meski begitu, ucapan Puan tidak berhenti sampai pada pelaporan saja, di media sosial masih ribut. Isu ini mengalir terus sampai sekarang. Seolah-olah pernyataan Ketua DPP PDI-P itu menganggap warga Sumbar tidak Pancasilais. Padahal tidak begitu juga. Sebagai Ketua DPR RI, ya, sah saja meragukan hal itu, tapi tidak elok. Mengingat Pilkada sebentar lagi. Selain itu pernyataannya bisa dipelintir dan dibawa kemana-mana yang mengakibatkan citra PDI-P semakin buruk di Sumbar.
Menyelami sentimentil antara warga Sumbar dengan PDI-P cukup menarik. Tampaknya Megawati dan Puan Maharani kebingungan karena partainya tak pernah menang di sana. Meskinya para petinggi partai berlambang banteng itu bisa menaikkan figur yang sesuai dengan warga Minang. Mengingat Suku Bangsa Minang memegang erat adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, artinya adat bersendi syariat, dan syariat bersendi kitab Allah SWT.
Hal yang demikian itu dipahami partai berbasis religius, seperti PKS. Tak heran dua periode kader PKS menjadi Gubernur di Sumbar. Pun begitu dengan Gerindra dan PAN, mereka mampu mengikat emosional warga Sumbar dengan tidak berstatmen yang aneh-aneh. Hal kecil seperti ini tampaknya tidak dihiraukan oleh PDI-P. Komunikasi politik seharusnya dirancang secara matang sebelum dilontarkan.
Bukan hal tabu lagi, jika ada pihak lain yang memanfaatkan momentum seperti itu untuk kepentingan politiknya. Alhasil PDI-P semakin jauh di hati masyarakat Sumbar. Pada Pemilu tahun lalu, Ketua DPD PDI-P Sumbar, Alex Indra Luman mengungkapkan penyebab PDI-P kehilangan kursi di Sumbar salah satunya Hoax. Sampai sekarang Hoax memang senjata paling tangguh untuk “membunuh karakter” lawan. Selain itu juga penggiringan opini di akar rumput untuk mendukung dan menjatuhkan.
Menyalin Tagar.id (2020), Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Public Institut (IPI) Karyono Wibowoika mengatakan pengaruh dari jejak rekam sejarah Soekarno di Sumbar, “Ditarik lebih jauh, disebabkan juga oleh faktor sejarah hubungan Soekarno dengan sejumlah tokoh Sumbar, terutama dengan tokoh yang saat itu terlibat dalam PRRI/Permesta. Sosok Soekarno dipandang sebagai pihak yang mengerahkan militer untuk menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat yang membuat sosok Soekarno kurang diterima di Bumi Minangkabau.”
Hal itu diperkuat dengan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warma Adam mengatakan bahwa warga Minangkabau mengalami trauma usai pemberontakan PRRI. Muncul sentimen yang berimbas kepada hak demokrasi warga Sumbar. Bahkan menurut Asvi, sejumlah orang lokal saja sengaja memberikan nama Jawa agar merasa aman saat itu.
“Setelah PRRI itu orang-orang Sumbar tidak pernah diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan strategis. Jadi mereka semacam dianggap ancaman oleh pemerintah pusat,” kata Asvi . Sebaliknya suara Gerindra kuat di Sumbar karena Prabowo Subianto merupakan anak Sumitro Djojohadikusumo yang notabenenya tokoh PRRI (Riaupos.com, 2020).
Posisi Sumitro adalah Menteri PRRI yang saat itu berada di luar negeri dan jauh dari desingan peluru. Dia juga tidak ditangkap. Setelah PRRI ditumpas, Sumitro tetap di luar negeri sampai Soeharto menjadi Presiden RI, ia bisa pulang dengan aman. Kemudian diangkat menjadi Menteri Perdagangan tahun 1968 (Tirto.id, 2017).
Hal itu pernah disampaikan oleh Pengamat Politik Universitas Andalas (Unand) Padang, Edi Indrizal. Dia mengatakan kekalahan Jokowi-Ma’ruf Sumbar disebabkan mulai dari ideologi, sosiologi, kultural, hingga psikologis. “Semua faktor saling terkait sehingga membentuk perilaku kolektif masyarakat memilih,” katanya (Tempo.co, 2019).
Strategi Banteng Keluar dari Lumpur Minangkabau
Mau tidak mau, PDI-P harus bisa memahami budaya warga Minangkabau. Sebagaimana sudah disinggung tadi, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Jangan pernah menyinggung agama Islam, karena itu sangat sakral bagi mereka. Bahkan budaya saja mereka begitu kuat, tak heran sistem Matrilineal masih mengakar kuat di sana. Agama dan adat mendarah daging di setiap warga Minang, dan itu akan terus dijaga mereka.
Soal ekonomi, Sumbar juga cukup baik. Menjual program pembangunan dan kemajuan ekonomi tidak begitu menarik. Toh, sejak dulu warga Minangkabau sudah berdaulat dari segi ekonomi. Kalaupun ingin hidup lebih baik, mereka biasanya merantau. Budaya merantau sampai saat ini masih dipegang teguh. Tak heran Rumah Makan Padang membanjiri di setiap sudut wilayah Indonesia. Bahkan berdiri di luar negeri.
Karena begitu kokohnya benteng penjaga perekomian, perusahaan sekelas Indomaret dan Alfamart tidak bisa dibangun di sana. Hal itu semata-mata dilakukan agar perekonomian tetap dikuasai warga mereka sendiri. Tampaknya memang tidak adil, tapi bagi warga Minangkabau adil dan didukung sepenuhnya. Seharusnya rezim ini bisa belajar dari ekonomi warga Minangkabau yang menghalang perusahaan besar masuk, karena merugikan ekonomi warga kecil.
Posting Komentar untuk "Banteng Terjerembab di Lumpur Minangkabau"