Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kartini Sedih Melihat Tragisnya Pendidikan Kita

Jika Kartini tidak menuliskan apa yang dialaminya, mimpi-mimpinya, dan perjuangannya, maka generasi sekarang mungkin tidak mengenal perempuan Jawa yang satu ini. Dalam artian kita kesulitan meraba sejarah masa-masa Kartini. Masa di mana, akses pendidikan hanya untuk anak-anak Belanda dan pribumi bangsawan yang bisa sekolah. Sedangkan anak-anak rakyat jelata hanya mimpi di siang bolong untuk merasakan nikmatnya sekolah.

Kartini | Foto sourch Merahputih.com
Kartini yakin untuk memajukan bangsa meskilah pendidikan yang diutamakan. Sebagaimana yang tercatat dalam suratnya, “Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi harus sama-sama dimajukan” Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Mencicil peradaban memang menjadi tugas umat manusia yang berpikir, karena merupakan keberlangsungan umat manusia itu sendiri.

Bangsa ini punya tugas pokok besar untuk menyelesaikan pendidikan. Dalam laporan Tirto, pada tahun 2017/2018 terdapat 187.828 anak Indonesia yang putus sekolah, dari angka itu mayoritas dari keluarga termiskin dan tinggal di pedesaan.

Kemudian pada catatan IDN Times, pada tahun 2016 masih ada 4,6 juta anak usia 7-18 tidak sekolah. Berdasarkan data dari Unicef, faktor ekonomi adalah alasan utama putus sekolah. Selain itu anak disabilitas menjadi faktor anak tidak sekolah, jumlahnya mencapai 6.008.661.

Maka pemerintah selaku eksekutor negara wajib hukumnya memberikan hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Selain pesan Kartini, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat pada bagian ketiga berbunyi: “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jadi pendidikan menjadi salah satu tujuan negeri ini dibangun.

Tapi pemerintah kita sendiri masih sibuk dengan internalnya, mengurus anggotanya saja tidak beres. Mau bagaimana pula mengurus penduduk berkisar 260 juta jiwa? Istilah kata urus diri saja nggak benar, kok, malah urus orang lain. 

Mengutip dari CNN Indonesia, pada Janurai 2020, Indonesia menduduki negara korupsi keempat se Asean, Sedangkan di dunia rangking 85 dari 180 negara. Skornya 40, naik dua persen, sebelumnya pada skor 38 pada tahun 2018. Data itu dipaparkan oleh Organisasi Transparency Internasional, sebuah organisasi non pemerintah berbasis di Jerman.

Elit kita memang tak punya kecerdasan budi. Mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan-persolan vital yang dialami rakyat. Kita jadi pesimis, padahal Kartini berkeyakinan bahwa “Bila golongan atas sudah berpendidikan, maka pendidikan seluruh bangsa hanya soal waktu saja” Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Mengingat para pejabat itu berpendidikan tinggi, minimal tamatan SMA, tapi kenapa kehidupan rakyat tetap sulit. Berarti mereka tidak becus kerjanya.

Pendidikan kita juga belum merata secara nasional, ada ketimpangan yang tinggi sekali antara pendidikan di Jawa dan di pulau-pulau Indonesia bagian Timur, begitu juga di daerah terpencil lainnya. Tak heran terhadap kawan-kawan dari Timur cukup kesulitan saat beradaptasi belajar di Pulau Jawa.

Ketimpangan ini banyak faktornya, mulai dari kekurangan tenaga pendidik, sampai sarana dan pra sarana pendidikan. Kurangya perhatian pemerintah kita terhadap pendidikan di sana manambah persoalan. Minimnya kecakapan putra-putri di daerah berakibat pembodohan yang sangat merugikan mereka.

Kita tidak asing lagi ada penjualan perempuan dari daerah Timur. Sudah menjadi kasus biasa tanah dan lahan mereka dirampas oleh perusahaan dengan dalih membuka lapangan pekerjaan. Dan pengerukan sumber daya alam, seperti Freeport di Papua. Warga di sana hanya dapat remah-remahnya saja.

Sebagian warga yang merasa terjadinya pembodohan, pengisapan, pemiskinan dan penindasan pun akhirnya mengorganisir diri untuk melakukan pemberontakan. Angkat senjata. Terjadi perang, nyawa-nyawa melayang di medan tempur, baik dari kaum yang melawan, maupun dari TNI. Sesama anak bangsa saling membunuh karena kepentingan kelompok tertentu. Warga sipil yang tidak tahu menahu mendapat imbasnya, tak jarang mereka jadi korban peperangan.

“Ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi”, The Dusty Sneakers, Catatan Perjalanan Tur Kartini. Pengamalan Pancasila butir kelima Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya berlaku saat jargon kampanye Pilpres dan Pileg. Selebihnya warga ditinggalkan. Kesal, sedih, kecewa. Namun ada juga sebagian warga yang masih percaya pada janji-janji politikus. Karena mereka sudah bingung, entah kepada siapa lagi harus percaya.

Jadi sebaiknya pendidikan kita seperti apa?

Pendidikan kita semestinya mengembalikan siswa dan mahasiswa menjadi seorang manusia yang utuh. Pendidikan yang humanis. Sebagaimana Kartini berpesan, “Tugas manusia adalah menjadi manusia” The Dusty Sneakers, Catatan Perjalanan Tur Kartini. Sekarang lihat saja pendidikan kita, siswa maupun mahasiswa sudah seperti robot yang dipersiapkan untuk kepentingan pasar. Anak bangsa kita  kehilangan jati dirinya. Semua itu karena terkontaminasi pendidikan sistem kapitalisme.

Tak kalah penting adalah memberikan hak anak-anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal itu juga sudah diamanahkan pada Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Andai saja diterapkan kita tidak melihat anak-anak gelandangan di lampu merah, hidup di jalanan, menjadi pengemis, pelacur cilik, dan terpaksa bekerja karena putus sekolah. Pemerintah seolah-olah menutup mata atas fenomena sosial ini.

Boleh jadi Kartini kembali menangis dan sedih melihat tragisnya pendidikan kita. Karena ia sangat perduli dengan dunia pendidikan anak-anak pribumi. Tak heran dia dan kedua adiknya mengajarkan pendidikan bagi anak-anak proletar yang tak pernah dianggap ada pada masanya.

Selain itu, hentikan gaya pendidikan yang masih menganut budaya feodalistik. Terlebih lagi militeristik. Buka maka kita bersama, ini zaman demokrasi, setiap siswa dan mahasiswa punya hak yang sama saat proses belajar. Pendidik mungkin lebih dahulu belajar, tapi bukan berarti terhindar dari kekeliruan mengajar. Maka kritik dan otokritik meski hadir di ruang-ruang kelas.

Keadilan untuk pendidikan di seluruh daerah harus segera diterapkan. Kita tidak ingin lagi mendengar guru honorer mengeluh karena gajinya cuma Rp. 300.000 per tiga bulan. Seikhlas-ikhlasnya seorang guru mengajar, kalau terbentur oleh kebutuhan pokok, bisa menjerit juga. Ini haruslah dimaklumi. Dan kita tidak bisa maklum terhadap pejabat pemerintah, karena mereka kita yang menggajinya dengan sangat tinggi.

Akhir kata untuk memperingati Hari Kartini pada 21 April 2020 ini, kita tidak hanya sebatas membuat acara yang sama sekali tidak mencerminkan semangat perjuangan Kartini. Tapi mengisinya dengan menggali buah pikiran dan melanjutkan segala perjuangannya. Selamat Hari Kartini! Setidak-tidaknya kita sendiri yang membangun pendidikan, meskipun hanya berbasis komunitas. [Klickberita.com/Asmara Dewo]

Baca juga:
Dugaan Korupsi Dana Desa kabupaten Pulau Taliabu Mencuat, Pemuda Taliabu Bergerak!
Perampasan Ruang Hidup oleh PT. Adidaya Tangguh, Potret Bobroknya Sistem Kapitalisme

Gratis beriklan di www.asmarainjogja.id

Posting Komentar untuk "Kartini Sedih Melihat Tragisnya Pendidikan Kita"