Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Predator Kampus

Klickberita.com-Ada kekhawatiran ketika anak manusia yang masih remaja berduyun-duyun menjadi mahasiswa baru di sebuah kampus. Mereka yang diharapkan menjadi generasi emas, barisan agen perubahan, ternyata di kemudian hari menjadi manusia bergigi ompong. Hal ini tentunya menjadi keresahan pribadi bagi penulis, oleh karena itu pula ada keinginan besar membantu mereka untuk mencari jalannya, sesuai impian polosnya, yakni menjadi manusia yang baik dan berguna bagi banyak orang.

Sepotong impian yang tak muluk-muluk tentunya, terkadang jika diselami lebih dalam lagi menjadi orang yang baik tentu tidaklah mudah. Terlebih lagi berguna bagi banyak orang. Kita paham sekali untuk mengabdikan diri terhadap masyarakat luas, tidak meski menjadi pejabat daerah, atau menjadi pemimpin negara. Cukup menjadi seorang warga negara yang bermimpikan dan bertindak nyata pada perubahan sosial masyarakat. 

Campus Predator
Ilustrasi predator kampus | Istimewa
Bukan pesimis, tapi kita bisa lihat pada pemimpin-pemimpin di negeri ini, sudahkah mereka cukup pantas menjadi pemimpin? Yang mana kata-katanya diamini bawahannya dan menjadi tindakan yang langsung berdampak pada masyarakat luas. Lihat saja kehidupan yang sulit, kebutuhan pokok naik, sementara gaji mereka tak mampu mengimbangi kehidupannya sendiri. Akibatnya adalah menjadikan semua ini tabungan kebencian dari masyarakat terhadap pemerintah.

Nah, mahasiswa-mahasiswa baru tadi sadar betul keadaan bangsanya. Idealisnya untuk perubahan membara berkobar-kobar di dada. Kita apreasi semangat muda mereka. Tapi siapa yang berani jamin kobaran api semangat mereka terus menyala? Perhatikanlah dunia pendidikan dalam proses belajar zaman sekarang, birokrat kampus memang sengaja membentuk pola pikir mahasiswa itu agar menjadi manusia cupu yang tidak banyak berguna pada masyarakat.

Salah satu kegiatan mahasiswa baru di kampusnya adalah mengikuti orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Kegiatan ospek itu menurut penulis tidak membantu mahasiswa untuk menjadi pejuang masyarakat di kemudian hari, karena materi-materi yang disampaikan pembicara hanya persoalan belajar, organisasi intra kampus yang melempam, iming-iming menjadi manusia sukses, dan buruknya lagi panitia ospek ala kolonial penjajahan.

Bahkan di kampus yang bergaya seperti itu tak dikenalkan dengan Sumpah Mahasiswa, padahal kita sebagai mahasiswa Indonesia, sumpah suci itu menjadi pegangan hidup. Tak hanya sebagai mahasiswa saja, tapi sampai ia keluar dari kampus dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Pun begitu dengan lagu Darah Juang, kegiatan ospek tampak alergi dengan lagu sakral perjuangan mahasiswa, panitia yang demikian itu memang tampaknya generasi berbudaya turunan kolonial dan bumi putra penjilat.



Secara tidak langsung, mahasiswa baru tadi memang dididik menjadi budak-budak. Budak siapa? Budak siapa saja! Mereka tak dikenalkan bahwa mahasiswa adalah subjek, tapi objek. Akibatnya adalah ia hanya mendengar, menuruti, dan mengerjakan apa yang diperintah. Mereka tak dikenalkan bagaiman cara menjadi mahasiswa yang kritis bersemangat perubahan, agar kelak menjadi seorang pelopor.

Kacaunya lagi adalah si objek tadi jadi rebutan organisasi intra maupu ekstra yang berkiblat pada birokrat kampus dan rezim pemerintahan. Berbagai strategi dilakukan agar mahasiswa-mahasiswa tadi terjaring dan digiring menjadi kelompok mereka. Pastinya dengan iming-iming menjadi orang-orang hebat, orang-orang sukses, dan segala macamnya yang berkenaan dengan kehebatan ataupun kekuasaan.

Mahasiswa baru bagaikan sepotong daging segar yang dilempar di sungai amazon. Di sana ribuan piranha dengan giginya yang tajam siap memangsa. Bisa dibayangkan dalam beberapa detik potongan daging segar itu akan ludes dilahap gerombolan predator. Mengerikan, tapi memang seperti itulah analogi dunia kampus kita. Seolah-olah senior penyayang dan perhatian, padahal senior bermental kolonial tadi adalah predator kampus pemangsa mahasiswa baru.

Belum lagi mahasiswa baru dijadikan ajang mencari pacar. Hal ini benar-benar menjijikkan. Lihat saja senior-senior yang jomblo bertahun-tahun, hadirnya mahasiswa baru mengubah statusnya, jadi ada pacar. Moga-moga tidak sampai berperut buncit. Bukan hal yang tabu lagi gombalan senior meluluhlantakkan hati si mahasiswi lugu. Sekali lagi perhatikan! Kasus pembuangan orok dari mahasiswi cukup besar, tak perduli di Kota Pendidikan Yogyakarta itu sendiri.

Data Ind Police Watch (IPW) mengungkapkan pada tahun 2017 pembuangan bayi di Indonesia sebanyak 179 bayi yang dibuang di jalanan, 79 meninggal, 10 masih belum berbentuk janin, dan 89 berhasil diselamatkan.

Seharusnya mahasiswa baru sudah dikenalkan bahwasanya pendidikan itu sebagai alat pembebasan. Sebagaimana Paulo Freire memimpikan dan berjuang di dunia pendidikan pada masa itu. Bukannya malah menjadikan mahasiswa baru sebagai budak yang kemudian bertransisi menjadi kolonial lagi. Berbahaya jika budaya budak dan kolonial tetap subur di dunia pendidikan Indonesia, karena ini akan berdampak besar pada bangsa dan negara. kita tahu generasi muda adalah pembawa tongkat estafet kepemimpinan.

Memang setiap kampus itu menginginkan mahasiswa-mahasiswa baru agar terlibat di organisasi kampus. Mungkin harapannya adalah agar si mahasiwa tadi menajamkan soft skill-nya. Tapi adakah kampus yang sengaja agar generasi muda tadi menjadi mahasiswa kuda? Ya, mahasiswa kuda, yang artinya kuliah, diskusi, aksi. Tapi malah melahirkan mahasiswa kura-kura, kuliah-rapat, kuliah-rapat. Begitu terus sampai bertahun-tahun.



Perubahan suatu bangsa tidak cukup hanya dirapatkan saja, tapi didemontrasikan. Runtuhnya rezim otoriter Soeharto di tahun 1998 adalah buah dari akar konsolidasi antar mahasiswa. Mereka tidak di kampus-kampus saja, tapi turun ke jalan menabrak gedung DPR, bahkan memanjatnya. Inilah tindakan nyata dari teori sebab akibat ala mahasiswa sejati.

Sisa rezim Soeharto memang tampaknya masih bertunas di dunia perkuliahan, yang mana zaman sekarang mahasiswa-mahasiswa terlahir dengan mental penakut. Takut IP rendah, takut di-DO, takut dimusuhi di lingkungan kampus, bahkan sampai takut dimarahi pacar. Bagaimana mungkin bisa mengubah negeri yang kacau balau sedemikian rupa ini, jika keberanian saja tidak dimiliki? Padahal keberanian adalah awal dari kemenangan, selanjutnya adalah perjuangan itu sendiri.

Lalu Mahasiswa Baru Harus Bagaimana?

Yes, inilah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Mau tidak mau, suka tidak suka mahasiswa baru sebaiknya bergabung di organisasi yang berjuang untuk rakyat. Bukan bergabung di organiasi yang menghalangi perjuangan untuk rakyat. Atau juga organisasi-organisasi kaki tangan dari birokrat kampus.

Kemudian mahasiswa baru harus memulai kemerdekaannya berpikir. Mereka bersikap atas kesadarannya, bukan bersikap atas bujukan, paksaan, ataupun tekanan dari manapun. Di sini mahasiswa harus menjadi subjek, bukan objek lagi, apalagi menjadi sepotong daging di sungai amazon. Mahasiswa sepatutnya menjelma menjadi sungai yang mewadahi. Menjinakkan predator kampus, dan sebagai pelindung dari beragam predator di dunia pendidikan. Dan selanjutnya memuarakan hasil dari kebaikan itu ke masyarakat.  

Tri Darma Perguruan Tinggi digigit kuat-kuat, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Teori dari proses belajar-mengajar baik di dalam kelas, maupun di ruang kelas mengkritisi persoalan pendidikan yang buruk dan persoalan sosial masyarakat. Setelah dianalisis dari penelitiannya secara langsung di tengah masyarakat, maka mahasiswa memperjuangkan hak-hak masyarakat yang sampai saat ini masih dikebiri oleh rezim.

Cukup banyak persoalan kesehatan, kesejahteraan, keadilan, pendidikan, kehidupan layak, dan segala macam persoalan rakyat lainnya yang harus kita cicil bersama-sama. Mahasiswa dengan semangat muda dan intelektualnya sebenarnya cukup mampu dan bertaring menggetarkan pemimpin zalim. Hanya saja kesadaran mahasiswa saat ini masih minim, akibatnya kezaliman terus mengangkangi hak-hak masyarakat.

Yang tak kalah pentingnya lagi adalah paham trias tradition yang dibahas oleh Andrian Achmad, yaitu diskusi, menulis, dan membaca. Ketiga hal vital tersebut merupakan senjata dasar bagi mahasiswa dalam perjuangannya. Kita juga tidak ingin bermodalkan keberanian saja, tapi otaknya kosong. Tentulah isi kepala mahasiswa sudah dibekali dengan kebutuhan porsinya masing-masing. Hal ini selain berguna bagi dirinya sendiri, namun juga pada lingkungan sosialnya.

Laporan data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang-orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima sampai sembilan buku. Melihat data tersebut tentunya menjadi kekhawatiran kita bersama menancapkan budaya diskusi dan menulis. Karena akan menjadi pembahasan yang ngawur jika minimnya wawasan dan pengetahuan yang bisa didapatkan dari membaca. [Asmara Dewo]

Posting Komentar untuk "Predator Kampus"