Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perampasan Ruang Hidup oleh PT. Adidaya Tangguh, Potret Bobroknya Sistem Kapitalisme




Klickberita.comAkhir-akhir ini perampasan tanah terus merajai negeri ini,  ibarat  parasit yang akan terus menyebar dan memberi penyakit tentunya sampai mengakibatkan kematian. Analogi yang pas bagi negeri ini, yang makin hari semakin menjadi-jadi.




Sebuah negeri yang terlalu mengagunggkan investasi atas nama peningkatan ekonomi, inilah cikal bakal berbagai investasi masuk lewat pintu negara dan kekuasaan.

Aksi masyarakat Taliabu dalam kasus tambang, 23/2/2-17 | Foto Doc. Faisal Sahlan


Berbagai jenis investasi diluncurkan dan bahkan para investor asing terus berbondong-bondong masuk ke Indonesia demi mencapai keuntungan dengan cara menginvestasikan apa yang mereka punya. Dari investor di bidang pertambangan hingga industri dan lainnya.



Salah satunya adalah perusahaan tambang, begitu banyak tersebar di berbagai daerah  Indonesia, mulai tambang emas, timah, biji besi, uranium,  dan lain-lain.




Kabupaten Pulau Taliabu adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Pulau Taliabu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sula yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012. Ibukota nya Bobong. Luas wilayahnya 15.078,05 km² dengan jumlah penduduk 56.135 jiwa. (Peta Kota)




Ialah salah satu daerah yang menjadi sasaran investasi, di kabupaten pulau Taliabu ada sejumlah perusahaan tambang yaitu PT. Adidaya Tangguh, yang merupakan perusahaan kurang lebih telah beroperasi di kabupaten pulau Taliabu terhitung sekitar 11 tahun. Perusahaan tersebut beroperasi dalam bidang explorasi biji besi.




PT. Adidaya Tangguh merupakan anak perusahaan dari SALIM GROUP yang berpusat di Jakarta. PT. Adidaya Tangguh masuk di Kabupaten Pulau Taliabu terhitung dari tahun 2007, yang saat itu kabupaten Pulau Taliabu masih dalam keadan belum otonom.




Sehingga bernaung di Kabupaten Kepulauan Sula, yang waktu itu di pimpin oleh Bupati Ahmad Hidayat Mus. Inilah awal masuk PT.Adidaya Tangguh di Pulau Taliabu, waktu itu izin perusahaan masih di pegang oleh bupati.




Ahmad Hidayat Mus adalah bupati kepulauan sula sejak tahun 2005 hingga 2015 dikarenakan ia menjabat kurang lebih dua periode lamannya. Saat menjabat menjadi bupati Kepulauan Sula, bupati yang sering di sapa AHM itu yang memberikan ijin PT. Adidaya Pangguh masuk di Pulau Taliabu yaitu sejak tahun 2007.




Pada tahun 2007, PT. Adidaya tangguh sendiri belum punya izin secara resmi, namun telah melakukan survei yang bertepatan di Desa Todoli, Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu. Awal masuknya adalah melalui salah satu perusahaan kayu yang biasa disebut TLT.



Setelah izin perusahaan kayu tersebut telah habis dan keluar dari Desa Todoli, masyarakat mulai kebinggungan ternyata masih ada perusahaan yang beroperasi di atas Desa Todoli. Saat diselidiki oleh beberapa masyarakat Desa Todoli waktu itu memang telah ada perusahaan yang beroperasi di atas gunung Desa Todoli dan Desa Tolong Kecamatan Lede.




Di sana terdapat salah satu perusahaan tambang yang telah beroperasi yang menjadi cikal bakal PT, Adidaya Tangguh di pulau taliabu.


Sebelumnya, memang pernah disampaikan kepada masyarkat bahwa di Desa Todoli ada perusahaan tambang yang akan masuk, yang disampaikan oleh almarhum Kepala Desa Todoli Nilet Tamimi dan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus. Namun saat itu banyak masyarakat yang tidak setuju dengan masuknya perusahaan di  desa Todoli Kecamatan Lede.




Sebab masyarakat di sana adalah mayoritas masyarkat tani, sehingga dikhawatirkan dapat memberikan dampak buruk bagi tanaman masyarakat. Tapi penolakan itu ibarat nyanyian yang tidak perlu didengarkan oleh penguasa waktu itu, dan akhirnya perusahaanpun terus berlanjut dengan explorasinya.


Berjalan hingga tahun 2009 perkebunan masyarakat di Desa Todoli dan Desa Tolong yang bertepatan di area sungai Fangu dan  sungai Samada mulai terkena dampak air larian yang mengakibatkan rusaknya tanaman warga. Tanaman warga tersebut beragam, ada cacao, kelapa, pala, durian, lansat, dan juga tanaman produktif lainnya.




Hingga saat itu tanaman warga sudah tidak lagi menghasilkan, karna tergenang oleh lumpur dari air larian yang merambat ke perkebunan warga yang berada di Sungai Fangu, juga  Sungai Samada.


Tahun 2012 terjadi air larian di perkebunan warga Desa Todoli ,Kecamtan Lede, khususnya di Air Pala, Air Tiung dan Air Parang. Yang juga membuat masyarakat gagal panen.




Juga beberapa lahan masyarakat yang digusur secara paksa oleh perusahaan PT. Adidaya Tangguh pada tahun 2009, yaitu perkebunan salah satu masyarakat Desa Todoli atas nama Laumara (50-an) dan juga beberapa perkebunan warga Desa Tolong.


Sehingga masyarkat mengadakan perlawanan hingga menghasilkan penangkapan beberapa warga oleh aparat kepolisian Polsek Bobong. Walaupun akhirnya dibebaskan. Namun telah ditahan selama beberapa hari, padahal mereka hanya menuntut hak mereka sebagai warga negara untuk melindungi kebun mereka yang telah dirampas paksa.


PT. Adidaya tangguh sendiri dari awal telah masuk ke Kabupaten Pulau Taliabu tanpa persetujuan dari masyarakat, sebab sosialisasi tidak jelas pada masyarakat, hingga masyarakat menolak. Hanya saja perusahaan tetap berlanjut tanpa sosialisasi yang jelas.


Dari tahun 2007 telah masuk di kabupaten pulau taliabu sampai tahun 2010 baru keluar izinnya. Anehnya sejak tahun 2012 baru keluar AMDAL dari PT. Adidaya Tangguh itu sendiri yang sejatinya telah cacat prosedural. Seharusnya AMDAL disosialisasikan dulu kepada masyarakat, setelah itu barulah bisa beroperasi.


Yang terlihat malah sebaliknya izin dulu baru AMDAL. Sampai saat ini AMDAL itupun tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tahu sama sekali terkait isi dari AMDAL tersebut.

Keberadaan PT. Adidaya Tangguh di Taliabu dari awal memang sudah tidak jelas dan sampai hari ini malah membuat keresahan di tengah tengah masyarakat. Bagaimana tidak tanaman produktif milik masyarakat sudah tidak menghasilkan lagi. Dan ini tentunya membunuh ekonomi masyarakat yang notabenenya adalah masyarkat tani.


Belum lagi PT. Adidaya Tangguh sendiri enggan membayar ganti rugi lahan masyarakat yang telah terkena dampak air larian akibat operasi perusahaan. Pemerintah juga terkesan mendiamkan dan juga membiarkan, sebab masyarakat sudah sering kali mengadu kepada pemerintah setempat.




Tapi terkesan masyarakat tidak diberi kejelasan, apalagi alasan pihak PT. Adidaya  Tangguh sendiri yang selalu beralasan warga harus berhubungan dengan bupati, padahal pemerintah hanya sebatas memediasi bukan mengintervensi.


Penggusuran paksa pun terus terjadi hingga tahun 2016, yang menyasar perkebunan cengkeh masyarakat yang digusur tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Pihak perusahaan selalu beralasan ini tanah milik negara, dan ketika masyarakat melawan, maka dikatakan “kalian harus berhubungan dengan bupati, ini perintah bupati”.


Tentunya cukup aneh, padahal yang punya lahan adalah masyarakat bukan pemerintah. Juga kata tanah milik negera yang ambigu, memangnya negera itu apa, sih?  Bukankah negera itu untuk rakyat? Sangat menggelikan. Apalagi kita ketahui bersama bahwa izin perusahaan telah diserahkan kepada provinsi, tepatnya di tangan gubernur. Lalu apa urusannya dengan bupati. Inilah yang menjadi kecurigaan warga, bukankah Bupati hanya bisa mediasi, bukan malah mengatur segalanya.


Pada tahun 2016  juga terjadi perlawanan besar-besaran untuk meminta perusahaan PT. Adidaya Tangguh angkat kaki dari Taliabu, sebab keberadaannya sangat merugikan masyarakat. Baik secara ekonomi maupun ekosistem. Misalnya tercemarnya air Fangu sehingga tidak bisa lagi di konsumsi masyarakat.


Namun perlawanan oleh masyarakat Taliabu yang mencintai tanah dan menjaga ruang hidup mereka malah berujung kriminalisasi oleh aparat Kepolisian Resort Sula, AKBP-nya Deden Supriatna. Tindakan kekerasan pun juga terjadi kepada masyarakat yang menuntut haknya.




Pasalnya hingga saat ini lahan masyarakat yang terkena dampak maupun penggusuran paksa belum terselesaikan ganti ruginya. Dan masyarakat terkesan putus asa dengan ketidak pastian hidup mereka di tanah sendiri.


Sementara pemerintah pun mendiami, baik Bupati Pulau Taliabu Aliong Mus, maupun Gubernur Maluku Utara H.Abdul Gani Kasuba, padahal kepada siapa lagi rakyat berharap? Mungkinkah Bapak Presiden Joko Widodo masih peduli dengan masyarakat tani yang tertindas?


Padahal itu adalah ruang hidup masyarakat tani, namun telah dirampas denga keji atas nama infrastruktur dan insvestasi yang meminggirkan warga. Sejatinya tugas negara adalah memakmurkan rakyatnya, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, juga untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


Namun 72 tahun sudah Republik ini dibentuk, tanpa ada sedikipun amanat rakyat yang dicapai secara signifikan oleh penyelenggara Negara, yakni Pemerintah.


Potret di atas menunjukan ketidak jelasan investasi asing atas nama kesejahteraan. lantas siapakah yang disejahterakan? Tentunya hanya segelintir orang, yaitu pengusaha dan penguasa. Padahal sumber daya alam seharusnya dikelola oleh negera dan di berikan pada rakyat demi kesejahteraan.




Namun itu hanya ibarat slogan ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 33 (3).”



Faktanya semua di serahkan kepada pihak asing dan aseng, yang sesungguhnya telah merampas hak rakyat.



Tentu persoalan semacam ini ada ribuan di negeri Indonesia yang katanya telah merdeka, padahal masih terjajah secara ekonomi, politik, juga budaya.


Dalam Islam sumber daya alam adalah menjadi kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat. Tentunya akan menyejahterakan. Sedangkan dalam sistem kapitalisme semua bisa dikuasai oleh segelintir orang lewat konspirasi pengusaha dan penguasa.


Padahal Rosul terlah Bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, api, air, juga padang rumput. (HR. Ibnu majah)


Api di ibaratkan adalah minyak, air adalah sungai, dan sumber air lainy, sedangkan padang rumput adalah hutan dan tambang.




Semoga pemimpin negeri ini lekas sadar, dan mengelolah negeri yang subur dengan kecerdasan sehingga menghasilkan kemakmuran. []

Penulis: Faisal Sahlan, mahasiswa hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, dan aktif di komunitas menulis Bintang Inspirasi.


1 komentar untuk "Perampasan Ruang Hidup oleh PT. Adidaya Tangguh, Potret Bobroknya Sistem Kapitalisme"