Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Laut Bekah, Keindahan Wisata yang Tersembunyi di Gunungkidul

Klickberita.com – Di Gunungkidul terkenal dengan pantai yang sangat eksotis nan indah. Namun ternyata, di pesisir Samudera Hindia ini ada juga wisata Laut Bekah yang cukup menawan. Sayangnya Laut Bekah ini tidak begitu populer, bahkan bisa dibilang tidak banyak yang tahu.

Karena Laut Bekah, dan Bukan Pantai Bekah, maka sama sekali tak ada pasir pantai yang menjorok di sana. Jadi tidak bisa bermain-main air, apalagi berjalan di pasir putih seperti di pantai-pantai indah di Gunungkidul.

Tidak ubahnya seperti Pantai Kesirat, Laut Bekah ini dipenuhi dengan tebing-tebing curam lagi tinggi yang mencapai 90 mdpl. Cukup tinggi. Disebut pula, di sekitar Laut Bekah, ada palung yang terdalam di dunia di sana. Palung yang dalam itu surganya para hewan laut, seperti ikan, kepiting, lobster, dan hewan laut lainnya.

Laut Bekah yang tersembunyi di Gunungkidul | Foto Klickberita
Lokasi Laut Bekah ini berada di Dusun Temon, Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Menuju ke Pantai ini juga bisa dari Imogiri. Namun kami sendiri dari Parangtritis.

Hari Minggu lalu kami sempat berkunjung ke Laut Bekah, setelah menyantap kuliner seafood dari Pantai Depok di Desa Parangtritis. Rute menuju ke sana, kami dari Pantai Depok yang mengambil arah ke timur. Jalannya beraspal sangat mulus, dan tidak begitu banyak pengunjung. Hanya saja jalanan menanjak dan berliku.

Sekitar 17 km dari Pantai Parangtritis, kami pun menjumpai plang bertulis Laut Bekah. Sebenarnya kunjungan ke Laut Bekah tanpa disengaja, karena kami memang mencari objek baru yang akan diliput. Nah, kami temukanlah Laut Bekah ini. Karena penasaran dengan Laut Bekah, kami pun mencari informasi dari internet dulu. Setelah mendapatkan informasi, motor kami pun segera menuju lokasi.

Menuju ke Laut Bekah harus ekstra sabar, dari jalan raya mungkin sekitar 6 atau 7 km. Dan yang paling menguji kesabaran adalah jalannya, ya ampun parahnyaaa. Rusak betul. Ada sekitar 2 km jalanan yang betul-betul parah. Jalan itu tidak beraspal, dan dibuat dari kerikil-kerikil batu laut di jalan yang naik turun. Rasanya pinggang mau copot.

Jalan menuju Laut Bekah | Foto Klickberita
Walau begitu, warga di sana cukup ramai berlalu-lalang. Seperti pada umumnya warga Gunungkidul yang berladang, mencari rumput, mencari kayu bakar, memancing ikan, dan ada juga truck yang masuk mengangkut kayu. Apa karena truck ini juga yang merusak jalan? Mengingat, kalau motor saja yang masuk ke jalan ini, tidak mungkin separah ini jalannya.

Karena tidak tahu jalannya, kami pun bertanya dengan salah satu warga di sana, ketepatan gadis muda yang kami tanyai itu akan menjemput ibunya dari kebun. Jadilah kami mengekori motornya dari belakang. Lamaaa sekali sampainya, karena jalannya itu tadi. Harus sabar, guys!

Ia berhenti di tepi jalan setelah berpapasan dengan ibunya, “Kalau ke Laut Bekah terus aja, Mas, ikuti aja jalan ini,” kata gadis itu kepada kami, Minggu (16/10/2016).

“Oh, iya, terimakasih, Dek,” jawab saya. Motor matic yang semakin menderita ini harus menuntaskan perjalanannya, terus berjalan meskipun seperti siput di atas kerikil.

Samudera Hindia sudah kelihatan, Laut Bekah mulai tampak. Benar saja, suguhan keindahan laut di depan kami membisukan umpatan yang sejak tadi keluar. Tanaman warga di sana juga terlihat subur, dipadu dengan alam hijau di atas tanah yang gembur. Gembur? Sebagian saja, yang lainnya cukup tandus.

Tiba di Laut Bekah, hanya ada dua motor di sana. Satu milik pengunjung, dan satu lagi milik warga sekitar yang berburu lobster. Dan sepertinya memang tidak ada kehidupan di sini. Sepi, hening, yang ada terdengar hanya desauan angin laut yang mengibas-ibas kepala.

Biasanya angin laut atau angin pantai hanya mengibas rambut saja, kan? Tapi di sini tidak, guys! Kepala yang menyatu di badan pun ikut terhuyung-huyung diterpa angin. Dahsyat betul angin di Laut Bekah ini.

Tebing di Laut Bekah yang eksotis | Foto Klickberita
Untung saja berat badan si kawan cukup baik, kalau tidak bisa dibawa angin melayang. Dan untungnya juga saya sendiri mulai agak gemuk sejak beberapa bulan lalu. Sedikit oleng saja dihantam angin laut di sini. Ini serius lho, bukan bohong! Kalau tidak percaya, silahkan ke sini, deh!

Nah, kalau teman-teman yang datang ke sini agak kurusan jangan main-main, atau berdiri-diri di atas tembok yang ada di sana. Bisa-bisa terbawa angin nanti. Cuma ingatin saja lho.

Oh ya, tidak ada penjual atau warung yang buka di sini. Ingat nonton film vampire di kota mati ala Hollywood jadinya, semua rumah tertutup baik siang, maupun malam. Yang bergentayangan hanya vampirnya, penduduknya hanya mendekam di rumah menutup pintu. Tiba-tiba saja berpikiran begitu, ya habisnya tidak ada penghuninya.

Terlepas dari suasana horornya di Laut Bekah ini, keindahan lautnya sunggguh menggugah rasa dan memendam keindahan di dada. Ombak laut juga cukup kencang, menghempas tebing-tebing yang menjulang tinggi.

Sunset di Laut Bekah | Foto Klickberita
Saat kami di sana, arah matarahi terbenam tepat di hadapan laut. Kalau tidak berawan saja mungkin keindahan sunset bisa kami tangkap dengan binar mata kami yang menyala-nyala. Sayangnya sunset tidak menampakkan keindahannya waktu itu, membuat kami penasaran bagaimanan keindahan sang surya saat kembali ke peraduannya di sini? Apa kami harus ke sini lagi? Beri saran dong! Tapi kayaknya tidak deh, jalannya itu lho, buat jera. Lain cerita kalau sudah diperbaiki ya, kan?

“Mas kok sepi banget di sini, ya?” kata saya kepada pengunjung yang bertepatan bersantai menikmati keindahan laut itu.

“Laut Bekah memang kayak gini, Mas,” jawabnya, ujar dia kemudian, “saya juga ke sini nggak sengaja. Mas dari mana?”

“Oh, pantesan. Kalau saya dari Jogja, Mas,” jawab saya.

Dan ternyata pengunjung ini dari Yogyakarta juga, bagus deh ada teman pulang nanti. Selain Laut Bekah, sekitar jarak 100 meter dari sini ada Laut Pecis. Masih satu kawasan.

“Mas, saya ke Laut Pecis dulu,” saya berpamitan pada mereka.
Kalau di Laut Bekah hanya ada dua orang penghuninya, yaitu hanya pengunjung, nah di Laut Pecis itu bagaimana, ya? Apa ramai seperti pasar malam? Motor saya putarkan, dan langsung menuju Laut Pecis.

Akses dari Laut Bekah menuju ke Laut Pecis cukup bagus. Di sana terlihat juga tanaman milik warga. Ada pendopo yang cukup besar di Laut Pecis, cocok sekali untuk beristarahat santai sambil makan-makan. Dan di sini, kami bertemu dengan seorang nelayan yang sedang asyik menunggu kailnya.


Mancing di Laut Pecis, di sekitar Laut Bekah juga | Foto Klickberita
“Dapat banyak ikannya, Mas?” tanya saya dengan nada keakraban.

“Belum dapat, Mas,” tuturnya begitu tenang.

Katanya di sini surganya pemancing, kok malah tidak dapat ikan barang seekor pun. Huh… jadi aneh. Belum rezeki kali ya si Mas ini.

Kemudian kami mengobrol panjang lebar, selebar Laut Selatan ini. Biasanya dia mancing sama mertuanya, dan kali ini mertuanya tidak ikut. Wishhh… mertua dan menantu kompak. Begitu seharusnya, jangan numpang doang di PMI (Pondok Mertua Indah).

Saat saya tanya ada seorang nelayan yang melemparkan tali ke laut tanpa gagang pancing, jawab dia, “Itu namanya redet, Mas. Redet itu jala untuk menangkap lobster.”

Cukup panjang talinya dari atas tebing ke laut, sekitar 7 meter. Oh, banyak cara untuk menangkap hewan laut di sini. Seperti pribahasa, banyak jalan menuju roma, banyak cara juga menangkap lobster.

Rizka Wahyuni berpose di antara tebing-tebing Laut Pecis | Foto Klickberita
Pemandangan di sini juga sangat indah, kawan. Dan anginnya tidak begitu kencang seperti di Laut Bekah tadi. Mungkin karena terhalang oleh tebing-tebing di sini, jadi angin laut tidak langsung ke Laut Pecis. Sama juga seperti di Laut Bekah, di tepi laut dipagari tembok yang tidak tinggi, hanya sebagai pembatas dan tempat duduk pengunjung.

Tidak lama kemudian, pengunjung yang di Laut Bekah tadi datang, “Nyusul juga saya, Mas,” katanya sambil menyengir.

“Ya, biar bareng sekaligus pulangnya,” timpal saya langsung.

Laut Pecis yang tenang dan damai membius para pengunjung | Foto Klickberita
Ada kamar mandi di sini, hanya saja toiletnya dikunci. Saat saya buka krannya, ternyata menyala. Air mengalir dari keran cukup deras dan sangat bersih juga sejuk. Terlihat juga tempat pembakaran di sekitar, apakah itu tempat pembakaran ikan atau pembakaran kemenyan, saya tidak tahu pasti.

Hari mulai gelap, mas yang mancing tadi sudah undur diri duluan. Dan sekitar 30 menit kemudian kami pun meninggalkan laut indah yang tersembunyi di Gunungkidul ini. [Asmara Dewo]


Info Penting: Klickberita.com di-update setiap Sabtu pagi. Silahkan tunggu postingan terbaru kami di Sabtu depan.

Posting Komentar untuk "Laut Bekah, Keindahan Wisata yang Tersembunyi di Gunungkidul "