Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siapkah Aparat Menghukum Tanpa Memenjarakan? Ujian Implementasi Kebijakan Progresif KUHP Baru


Oleh: Brian March Wijaya Siregar

Nim: 247005004 | Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Pendahuluan

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menandai berakhirnya era Wetboek van Strafrecht kolonial yang telah berlaku selama lebih dari tujuh dekade, sekaligus dimulainya babak baru hukum pidana yang berlandaskan nilai-nilai nasional, keadilan, dan prinsip-prinsip modern. KUHP baru membawa lompatan filosofis yang luar biasa bagi sistem peradilan Indonesia: sebuah pergeseran fundamental dari dominasi retributif (pembalasan) menuju pendekatan yang lebih holistik, yakni keadilan restoratif, korektif, dan rehabilitatif. 

Lompatan ini didorong oleh realitas pahit sistem pidana lama. Inti dari perubahan mendasar ini adalah kebijakan radikal untuk meminimalisir penggunaan pidana penjara, terutama untuk kasus-kasus ringan, dan menggantinya dengan sanksi yang lebih konstruktif dan berbasis komunitas. Kebijakan ini merupakan jawaban strategis atas masalah akut negara: lapas yang kelebihan kapasitas (overkapasitas) hingga ratusan persen, kondisi yang ironisnya justru mengubah lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah kejahatan (residivism) alih-alih tempat pembinaan. 

Namun, pertanyaan krusial dan mendesak yang kini mengemuka adalah: Seberapa siapkah seluruh rantai pelaksana di lapangan—mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga petugas pemasyarakatan—untuk secara efektif menerjemahkan visi ideal yang tertuang dalam undang-undang ini menjadi praktik nyata yang mengubah wajah keadilan di Indonesia?

Pembahasan

Implementasi revolusi sanksi dalam KUHP baru menghadirkan serangkaian ujian praktis dan budaya yang kompleks bagi aparat penegak hukum.

1. Dari Isolasi ke Integrasi: Revolusi dalam Pemidanaan

KUHP baru secara eksplisit merumuskan kembali tujuan pemidanaan (Pasal 54), yang kini tidak lagi berpusat pada penjatuhan derita dan pembalasan, melainkan berfokus pada merehabilitasi pelaku dan memulihkan keseimbangan sosial. Untuk mewujudkan tujuan luhur ini, KUHP memperkenalkan dua jenis pidana pokok baru yang benar-benar mengubah cara negara mengelola dan menjatuhkan hukuman:

· Pidana Kerja Sosial: Menghukum Sambil Memberdayakan. Pidana Kerja Sosial secara strategis bertujuan mengganti kurungan singkat yang terbukti tidak efektif dan memiliki biaya operasional tinggi, dengan kewajiban bagi pelaku untuk melakukan pekerjaan yang bernilai dan bermanfaat bagi kepentingan umum. Ini adalah bentuk hukuman yang bersifat konstruktif, produktif, dan meminimalkan stigma. 

Ujian Pertama: Aparat di daerah harus memiliki mekanisme yang efektif dan terstruktur untuk memetakan secara cermat jenis-jenis tindak pidana yang benar-benar layak untuk kerja sosial. Selain itu, mereka wajib memastikan bahwa jenis pekerjaan yang diberikan relevan dengan kemampuan pelaku dan, yang paling penting, diawasi secara ketat dan konsisten. Kegagalan dalam pengawasan akan merusak wibawa hukum dan membuat pidana berbasis komunitas ini dianggap remeh oleh terpidana maupun masyarakat umum.

· Pidana Pengawasan: Jalan Bertahap Menuju Reintegrasi. Sanksi ini dirancang untuk memberikan kesempatan transisional bagi terpidana untuk menjalani sisa masa pidananya di lingkungan masyarakat, namun tetap berada di bawah pengawasan ketat. Kebijakan ini sangat vital untuk menjaga dan mempertahankan ikatan sosial terpidana dengan keluarga dan lingkungan kerja mereka, yang merupakan faktor kunci keberhasilan reintegrasi. 

Ujian Kedua: Kebijakan ini menuntut ketersediaan infrastruktur teknologi pengawasan modern, seperti gelang electronic monitoring, yang memerlukan investasi besar. Selain itu, diperlukan penambahan dan peningkatan kualitas serta kuantitas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang sangat memadai di Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan secara profesional dan personal.

2. Keadilan Restoratif: Tantangan Budaya Hukum di Meja Negosiasi

Sejalan dengan reformasi sanksi institusional, KUHP baru memperkuat kerangka kebijakan Keadilan Restoratif dan Diversi sebagai solusi utama untuk penanganan tindak pidana ringan. Konsep ini menuntut penyidik (Polisi) dan penuntut umum (Jaksa) untuk bertindak jauh melampaui tugas konvensional mereka. Mereka kini harus berfungsi sebagai mediator yang memfasilitasi dialog konstruktif antara korban dan pelaku demi tercapainya kesepakatan pemulihan kerugian. 

Perubahan Mindset: Hal ini merupakan tantangan kultural yang besar, karena bertentangan dengan budaya hukum yang sudah mengakar lama, di mana aparat terbiasa bekerja berdasarkan target penyelesaian berkas (process-oriented). Dibutuhkan komitmen budaya hukum yang kuat untuk meninggalkan mentalitas process-oriented dan memprioritaskan penyelesaian damai serta pemulihan korban (victim-oriented). Tanpa pelatihan yang intensif, berkelanjutan, dan perubahan pola pikir yang mendalam, kebijakan restoratif ini berisiko sulit dilepaskan dari sebatas formalitas administratif semata.

3. Menyelaraskan Hukum Lokal: Ujian Hukum yang Hidup

Kebijakan progresif lain yang berorientasi pada dekolonisasi adalah pengakuan terhadap Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) sebagaimana diatur dalam Pasal 2. Pengakuan ini adalah upaya formal negara untuk menghargai pluralisme hukum adat yang kaya di Indonesia. Ujian Keseimbangan: Pengakuan ini harus diimbangi secara hati-hati dalam implementasi. 

Negara wajib menjamin bahwa penerapan Living Law (yang disahkan melalui Peraturan Daerah) tidak boleh bertentangan atau melanggar hak asasi manusia universal (HAM) dan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui secara internasional. Menemukan keseimbangan yang adil antara menghargai kearifan lokal dengan menjamin kepastian hukum serta perlindungan HAM adalah ujian yudisial dan legislatif yang sangat kompleks dan memerlukan kehati-hatian maksimal.

Contoh Kasus

A. Pidana Kerja Sosial:

Budi (20 tahun) kedapatan melakukan pencurian ringan karena terdesak kebutuhan ekonomi keluarga. Berdasarkan KUHP lama, ia terancam divonis penjara singkat 6-12 bulan, yang akan membuat ia kehilangan pekerjaan dan bergaul dengan residivis. Dalam kerangka KUHP baru, hakim dapat menjatuhkan Pidana Kerja Sosial selama 100 jam, menjadi tenaga kebersihan di fasilitas publik atau membantu pengarsipan di kantor kelurahan. 

Budi tetap dapat bekerja pada siang hari dan menjalani hukuman di sore hari, sehingga ia tidak kehilangan sumber penghasilan, tetap merasakan konsekuensi hukum, dan berkontribusi secara positif kepada masyarakat.

B. Keadilan Restoratif:

Dua tetangga, Sita dan Riko, terlibat dalam kecelakaan motor ringan yang hanya mengakibatkan kerusakan materiil pada motor Sita. Dalam mekanisme Keadilan Restoratif di bawah KUHP baru, Kepolisian (Penyidik) wajib memfasilitasi pertemuan mediasi. Jika Riko setuju untuk mengganti rugi penuh biaya perbaikan motor Sita, dan Sita mencabut laporan dan menyepakati perdamaian, perkara dapat diselesaikan di luar pengadilan (diversi). 

Solusi ini menghemat waktu dan biaya litigasi negara, serta yang terpenting, menjaga hubungan baik dan harmoni sosial kedua belah pihak.

Penutup

KUHP baru telah memberikan cetak biru hukum pidana yang ideal, modern, dan sangat manusiawi. Namun, revolusi sanksi yang ambisius ini akan sia-sia jika para aparat pelaksana di lapangan tidak siap, tidak berani, dan tidak berkomitmen untuk mengubah kebiasaan lama yang berorientasi penjara. Keberhasilan kebijakan "menghukum tanpa memenjarakan" bukan hanya soal keindahan pasal-pasal yang tertulis, tetapi soal investasi yang serius dan berkelanjutan pada Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas, infrastruktur teknologi pengawasan modern, dan komitmen politik yang tidak goyah. 

Indonesia kini berdiri di persimpangan jalan penting: apakah KUHP baru akan menjadi solusi efektif terhadap krisis lapas dan tingginya residivisme, atau hanya akan menjadi teks indah yang dikalahkan oleh kegagalan implementasi di lapangan akibat resistensi budaya hukum? Waktu, dan yang lebih penting, kesiapan serta keberanian para aparat penegak hukum, akan membuktikan masa depan keadilan korektif di Indonesia.

Posting Komentar untuk "Siapkah Aparat Menghukum Tanpa Memenjarakan? Ujian Implementasi Kebijakan Progresif KUHP Baru "