Kebijakan Hukum Pidana dalam Pembaharuan Kuhp Nasional: Menuju Hukum yang Berkeadilan dan Berkepribadian Indonesia
Oleh: Dian Yustikartika Basri Siregar
Nim: 247005038 | Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
1. Pendahuluan
Pembaharuan hukum pidana merupakan agenda strategis dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Selama lebih dari satu abad, sistem hukum pidana Indonesia masih menggunakan Wetboek van Strafrecht (WvS) peninggalan kolonial Belanda yang secara filosofis, sosiologis, dan yuridis tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan perkembangan masyarakat Indonesia. Kondisi ini mendorong lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Lahirnya KUHP baru tidak dapat dilepaskan dari kebijakan hukum pidana (penal policy) yang dianut oleh negara. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan menanggulangi kejahatan secara rasional, terencana, dan berorientasi pada perlindungan masyarakat serta kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pembaharuan KUHP harus dipahami sebagai manifestasi politik hukum pidana nasional yang berupaya membangun sistem hukum pidana yang berdaulat, berkeadilan, dan berkepribadian Indonesia.
2. Pembahasan
a. Kebijakan Hukum Pidana sebagai Dasar Pembaharuan KUHP
Kebijakan hukum pidana merupakan upaya rasional dari negara dalam menentukan perbuatan apa yang dikategorikan sebagai tindak pidana serta sanksi apa yang layak dikenakan terhadap pelakunya. Menurut Sudarto, kebijakan hukum pidana adalah usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi masyarakat pada suatu waktu tertentu. Kebijakan ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang hidup dalam masyarakat.
Dalam konteks pembaharuan KUHP, kebijakan hukum pidana diwujudkan melalui tahap formulasi hukum pidana, yaitu perumusan norma-norma pidana yang mencerminkan tujuan nasional. KUHP baru tidak lagi semata-mata berorientasi pada pembalasan (retributive justice), melainkan menitikberatkan pada upaya perlindungan masyarakat, pembinaan pelaku, serta pemulihan keseimbangan sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Barda Nawawi Arief yang menekankan bahwa hukum pidana harus diposisikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial, bukan tujuan itu sendiri.
b. Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional
Salah satu pembaharuan fundamental dalam KUHP baru adalah perumusan tujuan pemidanaan yang secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang. Tujuan pemidanaan dalam KUHP nasional mencakup upaya pencegahan terjadinya tindak pidana, pembinaan terhadap terpidana, penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, serta pemulihan keseimbangan dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Paradigma ini menandai pergeseran penting dari pendekatan pemidanaan yang bersifat represif menuju pendekatan yang lebih humanis dan korektif. Pidana penjara tidak lagi dipandang sebagai instrumen utama, melainkan sebagai ultimum remedium. KUHP baru memperkenalkan alternatif pemidanaan seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan pidana denda yang lebih proporsional. Kebijakan ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis, baik bagi pelaku maupun masyarakat.
c. Pengakuan terhadap Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Pembaharuan hukum pidana dalam KUHP baru juga tercermin dalam pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Pengaturan ini memberikan ruang bagi nilai-nilai hukum adat untuk dijadikan dasar pertanggungjawaban pidana sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta prinsip hak asasi manusia.
Kebijakan ini mencerminkan upaya dekolonisasi hukum pidana dan penguatan identitas hukum nasional. Dengan mengakomodasi living law, KUHP baru berusaha menjembatani hukum negara dengan realitas sosial yang pluralistik. Namun demikian, penerapan ketentuan ini tetap harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun praktik diskriminatif.
d. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan Hukum Pidana
Dari perspektif hak asasi manusia, KUHP baru menunjukkan perkembangan yang signifikan. Prinsip legalitas tetap menjadi fondasi utama, disertai dengan pengaturan yang lebih sistematis mengenai kesalahan, pertanggungjawaban pidana, serta alasan pemaaf dan pembenar. Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa pemidanaan hanya dapat dijatuhkan kepada mereka yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kebijakan hukum pidana dalam KUHP nasional juga berupaya menyeimbangkan antara perlindungan hak individu dan kepentingan umum. Negara tetap memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, namun kewenangan tersebut harus dijalankan secara proporsional dan bertanggung jawab. Dengan demikian, KUHP baru diharapkan dapat menjadi instrumen perlindungan hukum yang adil bagi seluruh warga negara.
3. Kesimpulan
Pembaharuan hukum pidana melalui KUHP nasional merupakan tonggak penting dalam perjalanan sistem hukum Indonesia. Dari sudut pandang kebijakan hukum pidana, KUHP baru mencerminkan upaya negara untuk membangun hukum pidana yang tidak hanya menjamin kepastian hukum, tetapi juga mewujudkan keadilan substantif dan kemanfaatan sosial.
Keberhasilan implementasi KUHP baru sangat bergantung pada pemahaman dan komitmen aparat penegak hukum, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mengawal penerapannya. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana tidak boleh berhenti pada tataran normatif, melainkan harus terus dievaluasi secara kritis agar sejalan dengan tujuan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
.jpg)
Posting Komentar untuk "Kebijakan Hukum Pidana dalam Pembaharuan Kuhp Nasional: Menuju Hukum yang Berkeadilan dan Berkepribadian Indonesia"