Kebijakan Kriminalisasi Delik Penghinaan Dalam KUHP Baru: Menguji Keseimbangan Antara Perlindungan Martabat Negara dan Jaminan Kebebasan Berpendapat
Oleh: Torang Fadly Panjaitan, NIM. 247005026 - Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Pendahuluan
Perkembangan hukum pidana di Indonesia mengalami dinamika signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS) warisan kolonial Belanda. Salah satu aspek yang menimbulkan perdebatan luas dalam KUHP Baru adalah kebijakan kriminalisasi delik penghinaan, khususnya yang berkaitan dengan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, lembaga negara, pemerintah, serta simbol-simbol negara.
Delik penghinaan memiliki karakteristik yang sensitif karena berada pada titik pertemuan antara kepentingan negara dalam menjaga martabat, wibawa, dan stabilitas pemerintahan, dengan hak konstitusional warga negara atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam negara demokratis, kebebasan menyampaikan kritik, pendapat, dan ekspresi merupakan elemen esensial bagi kontrol publik terhadap kekuasaan. Namun kebebasan tersebut bukanlah hak yang bersifat absolut dan dapat dibatasi sepanjang memenuhi prinsip legalitas, proporsionalitas, dan kebutuhan yang sah (legitimate aim).
Kebijakan kriminalisasi delik penghinaan dalam KUHP Baru menjadi kontroversial karena dinilai berpotensi menghidupkan kembali pasal-pasal “karet” yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Meskipun pembentuk undang-undang berupaya merumuskan ulang delik tersebut dengan pendekatan yang lebih restriktif, termasuk menjadikannya sebagai delik aduan, kekhawatiran akan penyalahgunaan kewenangan dan efek pembungkaman (chilling effect) terhadap kebebasan berpendapat tetap mengemuka.
Berdasarkan latar belakang diatas, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan kriminalisasi delik penghinaan dalam KUHP Baru dengan menitikberatkan pada upaya menilai keseimbangan antara perlindungan martabat negara dan jaminan kebebasan berpendapat dalam kerangka negara hukum demokratis.
Pembahasan
A. Konsep dan Karakteristik Delik Penghinaan dalam Hukum Pidana
Secara doktrinal, delik penghinaan (smaad atau belediging) merupakan tindak pidana yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang atau suatu institusi melalui pernyataan, tulisan, atau perbuatan yang bersifat merendahkan. Dalam hukum pidana klasik, perlindungan terhadap kehormatan dipandang sebagai bagian dari kepentingan hukum individual maupun kolektif.
Dalam konteks negara, delik penghinaan terhadap penguasa atau simbol negara sering kali dikategorikan sebagai kejahatan terhadap martabat negara (crimes against state dignity). Namun, dalam negara demokratis modern konsep ini mengalami pergeseran.
Negara tidak lagi diposisikan sebagai entitas yang kebal dari kritik melainkan sebagai subjek yang harus terbuka terhadap pengawasan publik. Maka kriminalisasi penghinaan terhadap negara harus dibedakan secara tegas antara kritik yang sah (legitimate criticism) dan serangan yang benar-benar bersifat merendahkan martabat secara tidak berdasar dan berniat jahat.
B. Kebijakan Kriminalisasi Delik Penghinaan dalam KUHP Baru
KUHP Baru tetap mempertahankan pengaturan mengenai delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah, serta lembaga negara, namun dengan formulasi yang berbeda dari KUHP lama. Beberapa perubahan mendasar yang dapat dicatat antara lain :
1) Delik Aduan Absolut
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP Baru dikualifikasikan sebagai delik aduan yang hanya dapat diproses apabila terdapat pengaduan langsung dari pihak yang dihina. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah kriminalisasi berlebihan dan penggunaan pasal tersebut sebagai alat politik.
2) Pengecualian terhadap Kritik dan Kepentingan Umum
KUHP Baru secara eksplisit menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak dapat dipidana. Formulasi ini merupakan upaya legislator untuk membedakan antara penghinaan dan kritik.
3) Perumusan Unsur Kesengajaan
Delik penghinaan mensyaratkan adanya unsur kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau martabat sehingga tidak semua pernyataan yang bernada negatif dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
C. Kebebasan Berpendapat sebagai Hak Konstitusional
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi serta gagasan termasuk kritik terhadap pemerintah dan pejabat publik.
Dalam konteks demokrasi, pejabat publik seharusnya memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kritik dibandingkan warga negara biasa. Kriminalisasi penghinaan yang terlalu luas berpotensi menciptakan efek jera yang berlebihan, sehingga masyarakat enggan menyampaikan pendapat kritis terhadap kebijakan publik. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi deliberatif yang menempatkan partisipasi publik sebagai pilar utama.
D. Menguji Keseimbangan antara Perlindungan Martabat Negara dan Kebebasan Berpendapat
Keseimbangan antara perlindungan martabat negara dan kebebasan berpendapat dapat diuji melalui prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia, yaitu:
1) Prinsip Legalitas, yaitu rumusan delik harus jelas, tegas, dan tidak multitafsir agar tidak membuka ruang kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
2) Prinsip Tujuan yang Sah (Legitimate Aim), Pembatasan kebebasan berpendapat harus bertujuan untuk melindungi kepentingan yang sah seperti ketertiban umum atau hak dan reputasi orang lain bukan untuk membungkam kritik.
3) Prinsip Proporsionalitas, Sanksi pidana harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam banyak kasus mekanisme hukum perdata atau hak jawab seharusnya lebih diutamakan dibandingkan pemidanaan.
E. Tantangan Implementasi dan Potensi Dampak
Tantangan terbesar dari kebijakan kriminalisasi delik penghinaan adalah potensi penyalahgunaan pasal oleh pihak-pihak tertentu untuk melindungi kepentingan politik atau kekuasaan. Selain itu budaya hukum yang masih cenderung represif dapat memperbesar risiko terjadinya kriminalisasi terhadap ekspresi kritis masyarakat khususnya di ruang digital.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan publik peran aktif lembaga peradilan serta pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum agar kebijakan kriminalisasi delik penghinaan tidak menyimpang dari semangat perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi konstitusional.
Kesimpulan
Kebijakan kriminalisasi delik penghinaan dalam KUHP Baru mencerminkan upaya legislator untuk melindungi martabat pejabat dan lembaga negara sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. Namun, ketentuan pidana tersebut tetap memicu kontroversi karena berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi ialah hak konstitusional yang menjadi pilar demokrasi.
Rancangan menghidupkan kembali penghinaan pidana terhadap pejabat publik kembali setelah pembatalan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, sekaligus menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia yang menilai ketentuan itu multitafsir dan bisa digunakan untuk membungkam kritik politik.
KUHP Baru menyediakan beberapa mekanisme seperti delik aduan dan pengecualian bagi kritik yang konstruktif, namun batasannya masih rawan interpretasi subyektif. Implikasi hukum ini memunculkan tantangan dalam praktik penegakan hukum menjaga perlindungan martabat negara sekaligus tidak membatasi ruang demokrasi untuk kritik dan ekspresi.
Maka kejelasan norma interpretasi yang konstitusional, serta praktik penegakan hukum yang berpihak kepada hak asasi manusia menjadi sangat penting agar kebijakan kriminalisasi delik penghinaan dapat menciptakan keseimbangan yang adil antara perlindungan martabat negara dan jaminan kebebasan berpendapat.
.jpg)
Posting Komentar untuk "Kebijakan Kriminalisasi Delik Penghinaan Dalam KUHP Baru: Menguji Keseimbangan Antara Perlindungan Martabat Negara dan Jaminan Kebebasan Berpendapat"