Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Reorientasi Kebijakan Hukum Pidana melalui Pembentukan KUHP Baru




Oleh: Frans Sembiring

Nim: 247005007 | Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Pendahuluan

Hukum pidana merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem hukum nasional yang berfungsi untuk menjaga ketertiban, melindungi kepentingan masyarakat, serta mewujudkan keadilan. Namun, efektivitas hukum pidana sangat bergantung pada kesesuaian norma-normanya dengan nilai-nilai sosial, politik, dan budaya masyarakat yang diaturnya. 

Dalam konteks Indonesia, keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda selama lebih dari satu abad menimbulkan berbagai persoalan mendasar, baik dari segi filosofis, sosiologis, maupun yuridis. KUHP lama disusun dalam konteks kolonial dengan orientasi perlindungan kekuasaan negara, sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan nilai Pancasila dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang merdeka.

Pembentukan KUHP baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menandai babak baru dalam sejarah hukum pidana Indonesia. KUHP baru tidak hanya dimaksudkan sebagai pengganti hukum pidana kolonial, tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan reorientasi kebijakan hukum pidana nasional. Reorientasi tersebut mencakup perubahan paradigma, tujuan, serta pendekatan dalam penggunaan hukum pidana sebagai alat pengendalian sosial.

Reorientasi kebijakan hukum pidana menjadi penting mengingat perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia, serta tuntutan untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih adil dan humanis. Oleh karena itu, pembentukan KUHP baru perlu dipahami sebagai bagian dari upaya strategis negara dalam menata ulang kebijakan hukum pidana agar selaras dengan politik hukum nasional dan tujuan pembangunan hukum. 

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis reorientasi kebijakan hukum pidana melalui pembentukan KUHP baru serta implikasinya terhadap sistem hukum pidana Indonesia.

Pembahasan

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana pada dasarnya merupakan pilihan negara mengenai bagaimana hukum pidana digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan, dan pemeliharaan ketertiban sosial. Dalam perspektif ini, hukum pidana bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana yang harus digunakan secara rasional, proporsional, dan bertanggung jawab.

Reorientasi kebijakan hukum pidana melalui pembentukan KUHP baru menunjukkan adanya kesadaran negara untuk menata kembali peran hukum pidana dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Salah satu aspek penting dari reorientasi kebijakan hukum pidana dalam KUHP baru adalah pergeseran paradigma dari pendekatan represif dan retributif menuju pendekatan yang lebih humanis dan korektif. KUHP lama cenderung menempatkan pidana penjara sebagai sanksi utama dengan tujuan pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.

Pendekatan ini tidak hanya menimbulkan berbagai permasalahan praktis, seperti kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, tetapi juga kurang efektif dalam mencegah residivisme dan memulihkan kerugian korban. KUHP baru berupaya mengoreksi paradigma tersebut dengan menempatkan pemidanaan sebagai sarana untuk rehabilitasi pelaku dan pemulihan keseimbangan sosial.

Reorientasi kebijakan hukum pidana juga tercermin dalam penguatan prinsip ultimum remedium, yaitu menjadikan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam penyelesaian masalah sosial. Negara tidak lagi secara berlebihan mengkriminalisasi setiap perbuatan yang dianggap menyimpang, melainkan melakukan seleksi yang lebih ketat terhadap perbuatan yang benar-benar layak dipidana.

Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah overkriminalisasi yang dapat berdampak negatif terhadap kebebasan individu dan efektivitas sistem peradilan pidana. Dengan demikian, KUHP baru mencerminkan kebijakan hukum pidana yang lebih rasional dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang masyarakat.

Selain itu, reorientasi kebijakan hukum pidana dalam KUHP baru juga terlihat dari pengakuan terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), termasuk hukum adat. Pengakuan ini menunjukkan bahwa hukum pidana nasional tidak lagi bersifat semata-mata positivistik, tetapi juga responsif terhadap pluralitas hukum dan realitas sosial di Indonesia.

Namun, pengakuan terhadap hukum adat tetap dibatasi oleh prinsip Pancasila dan hak asasi manusia, sehingga tidak menimbulkan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam konteks ini, reorientasi kebijakan hukum pidana berupaya menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan substantif.

Reformulasi sistem pemidanaan merupakan bagian integral dari reorientasi kebijakan hukum pidana melalui pembentukan KUHP baru. KUHP baru tidak lagi menempatkan pidana penjara sebagai satu-satunya instrumen utama, melainkan memperkenalkan berbagai alternatif pemidanaan seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan pidana denda yang lebih proporsional.

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemidanaan serta mengurangi dampak negatif pidana penjara terhadap pelaku dan masyarakat. Selain itu, KUHP baru menekankan pentingnya individualisasi pidana, yaitu penjatuhan pidana yang mempertimbangkan kondisi pribadi pelaku, tingkat kesalahan, serta dampak perbuatan terhadap korban.

Reorientasi kebijakan hukum pidana juga diwujudkan melalui penguatan prinsip keadilan restoratif. Pendekatan keadilan restoratif menempatkan korban, pelaku, dan masyarakat sebagai subjek utama dalam penyelesaian perkara pidana. Fokus utama bukan lagi pada penghukuman semata, melainkan pada pemulihan kerugian korban dan perbaikan hubungan sosial yang terganggu.

Kebijakan ini sejalan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi dasar politik hukum nasional. Dengan pendekatan restoratif, hukum pidana diharapkan dapat berkontribusi pada penyelesaian konflik secara lebih berkelanjutan.

Meskipun demikian, reorientasi kebijakan hukum pidana melalui pembentukan KUHP baru tidak terlepas dari berbagai tantangan implementasi. Perubahan paradigma memerlukan kesiapan aparat penegak hukum, baik dari segi pemahaman konseptual maupun keterampilan praktis.

Selain itu, diperlukan sosialisasi yang luas kepada masyarakat agar norma-norma baru dalam KUHP dapat dipahami dan diterima secara tepat. Tanpa dukungan sumber daya manusia yang memadai dan komitmen politik yang kuat, reorientasi kebijakan hukum pidana berpotensi tidak berjalan secara optimal dalam praktik.

Penutup

Reorientasi kebijakan hukum pidana melalui pembentukan KUHP baru merupakan langkah strategis dalam pembangunan hukum nasional. Pembaharuan ini tidak hanya bertujuan untuk menggantikan hukum pidana kolonial, tetapi juga untuk menata ulang paradigma, tujuan, dan pendekatan hukum pidana agar selaras dengan nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berkembang.

Melalui KUHP baru, kebijakan hukum pidana diarahkan pada pendekatan yang lebih humanis, rasional, dan berkeadilan, dengan menekankan prinsip ultimum remedium, alternatif pemidanaan, dan keadilan restoratif.

Keberhasilan reorientasi kebijakan hukum pidana sangat bergantung pada konsistensi implementasi, kesiapan aparat penegak hukum, serta partisipasi aktif masyarakat. Dengan demikian, KUHP baru diharapkan mampu menjadi fondasi kokoh bagi sistem hukum pidana nasional yang modern, responsif, dan berkeadaban.


Posting Komentar untuk "Reorientasi Kebijakan Hukum Pidana melalui Pembentukan KUHP Baru "