Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa" (Bagian 2)






Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa | Klickberita.com/Asmara Dewo
Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa | Klickberita.com/Asmara Dewo

Klickberita.com-Selanjutnya Pasal yang bermasalah bisa kita lihat sebagai berikut:

4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

Dalam pasal di atas terdapat ancaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers. Hal ini berpotensi menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik. Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi  demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi.  

KUHP menjadi ancaman  karena tetap dipertahankannya pasal haatzaai artikelen. Mengutip Sidharta dalam artikel "Lagi-Lagi tentang Haatzaai", Haatzaai artikelen sebenarnya adalah pasal-pasal hukum pidana warisan era Hindia Belanda terkait dengan ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan yang ditujukan terhadap kepentingan Belanda dan/atau kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk komposisi penduduk Hindia Belanda ketika itu.

Dalam buku yang ditulis oleh  Kees van Dijk, berjudul “The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918” terbitan KITLV Press, Leiden (2007), ditegaskan bahwa haatzaai artikelen sejak semula merupakan aturan yang kontroversial. Kees van Dijk mengambil contoh pada masa-masa perang berkecamuk di Eropa di awal abad ke-20, perasaan anti-Jerman sangat kuat melanda kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, sehingga surat-surat kabar di kota-kota seperti Batavia dan Surabaya terpengaruh dan terseret memuat percikan perasaan-perasaan ini. 

Ilustrasi insan Pers | Klickberita.com/Asmara Dewo
Ilustrasi insan Pers | Klickberita.com/Asmara Dewo

Tatkala pasal-pasal haatzaai ini hendak diujicobakan untuk dipakai guna menghentikan penyebarluasan ungkapan perasaan-perasaan seperti ini, pengadilan tidak sepenuhnya dapat menyetujui. 

Pada bulan Januari 1915, Pengadilan Tinggi Hindia Belanda pernah membatalkan putusan Pengadilan Batavia satu tahun sebelumnya yang menghukum editor koran “Het Niews van den Dag” bernama G. van Loon, selama delapan hari penjara karena tulisannya dianggap dapat menimbulkan kebencian di kalangan sesama penduduk Eropa di Hindia Belanda, khususnya orang-orang Belgia, Jerman, Austria, dan Inggris. 

Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa sasaran norma dalam pasal-pasal tadi lebih dibatasi pada ungkapan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda, yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera demi menjaga stabilitas sosial di antara penduduk. Jadi, tidak berlaku bagi sesama golongan penduduk Eropa.

Pasal-pasal haatzaai sendiri tersebar cukup luas di dalam KUHP yang lama, seperti dalam Pasal 134, 136, 137, 154, 155, 156, 157, 160, 161, 207, dan 208. Salah satu pasal yang akhir-akhir ini banyak disorot adalah Pasal 155 KUHP yang memiliki kemiripan dengan Pasal 263 dan pasal 264 dalam  KUHP yang baru. 

Dengan hadirnya Pasal 263 dan 264 dalam KUHP ini membuktikan bahwa pasal haatzaai masih tetap eksis sebagai bagian dari hukum pidana positif di Indonesia. Jadi, pasal-pasal haatzaai ini menimbulkan kontroversi sesungguhnya karena ketentuan tersebut telah mengalami penyempitan makna. Pasal-pasal ini dimaknai sekarang lebih sebagai ketentuan tentang ujaran permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah yang sah. 

Jika dicermati, semangat untuk mempersempit makna pasal-pasal haatzaai di dalam hukum positif sejatinya berangkat dari keyakinan bahwa pemerintah sebagai representasi terdekat dari negara, berfungsi untuk menjalankan tertib sosial (social order).  

Agar pemerintah dapat menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya, maka pertama-tama diperlukan stabilitas pemerintahan yang kuat. Ujaran atau ungkapan rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah selalu dipandang sebagai upaya menghalangi pemerintah dalam menjalankan fungsi tertib sosial tadi.

Tidak hanya mengenai Haatzaai artikelen, melainkan juga penetapan sejumlah pasal dengan menggunakan delik formal. Misalnya menyangkut ketentuan penyebaran kabar bohong dan berita tidak pasti; dengan pasal tersebut seorang wartawan  bisa dihukum hanya karena dugaan “menyebarkan kabar yang diketahui akan menimbulkan keonaran”. 

KUHP akan berdampak semakin dipenjarakannya wartawan yang kritis. Pasal-pasal dalam KUHP tidak hanya mengancam Pers tetapi juga kepada masyarakat yang sedang berunjuk rasa, pembicara diskusi, penceramah, ilmuwan, dan seniman.

6. Pasal 279-281 yang mengatur tentang Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan

Ilustrasi protes ke Pengadilan | Klickberita.com/Asmara Dewo
Ilustrasi protes ke Pengadilan | Klickberita.com/Asmara Dewo

Pasal ini bisa mengkriminalisasi rakyat ketika menggelar unjuk rasa di depan pengadilan sehingga dianggap membuat kegaduhan dan merintangi proses peradilan. Atau mengkriminalisasi orang ketika orang tersebut mempublikasikan di media publik atas adanya persidangan tanpa ijin dari Hakim. 

Bagaimana kalau persidangan itu bersifat terbuka dan terbuka untuk umum? Dan yang menyatakan adalah hakim itu sendiri. Apakah kita harus selalu ijin kepada hakim setiap kali ketika mendokumentasikan sidang terbuka untuk dipublikasi di medsos? Padahal kita tidak punya nomor handphone-nya hakim. Dan Hakim juga belum tentu memberikan nomor hp nya karena suatu sebab. Hellooow…

Padahal kita ketahui, bahwa peradilan adalah sebuah proses hukum di mana dalam praktiknya banyak mafia peradilan berkeliaran merekayasa agar hukum itu jauh dari keadilan dan kebenaran.  Sehingga penyaluran aspirasi perlu dilakukan di depan pengadilan ketika terjadi suatu kasus yang disidangkan. 

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia. Dasar hukumnya adalah : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sebagaimana mengutip LBH Pengayoman dalam artikel "Hak Kebebasan Berpendapat di Indonesia sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", Schauer berpendapat,“…when a free speech is accepted, there is a principle according to which speech is less subject to regulation (within a political theory) than other forms of conduct having the same or equivalent effects. Under a free speech principle, any govermental action to achieve a goal, whether that goal be positive or negative, must provide stronger justification when the attainment of that goal…” 

(…ketika kebebasan berpendapat diterima, ada prinsip yang menyatakan bahwa pendapat kurang tunduk pada regulasi (dalam teori politik) daripada bentuk perilaku lain yang memiliki efek yang sama atau setara. Berdasarkan prinsip kebebasan berbicara, setiap tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan, apakah tujuan itu positif atau negatif, harus memberikan justifikasi yang lebih kuat ketika pencapaian tujuan itu …)

Ruang publik yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat menjadi penting, sebab dengan pendapat yang disampaikan di ruang publik bisa memenuhi dua aspek ontologis (berkaitan dengan keadaan). Aspek ontologis pertama yang bisa dipenuhi berkenaan dengan ekspresi kemanusiaan (express themselves) dan keunikan identitas (unique identity). 

Pemenuhan dua aspek ontologis ini sangat penting, mengacu pada pendapat Arendt yang mengatakan, “Grounding speech as a distinctive characteristic of human beings that express themselves publicly might provide a non-consequentialist aspect to the theory of personal development. In an Arendtian sense, one might attribute to speech an existential signifiance: only by way of speech do human being express their unique identity among others in the public realm.”

(Sebagai ciri khas manusia yang mengekspresikan diri secara terbuka dapat memberikan aspek non-konsekuensialis pada teori pengembangan pribadi. Pengertian Arendtian, orang mungkin mengaitkan ucapan dengan makna eksistensial: hanya dengan cara bicara, manusia mengekspresikan identitas unik mereka di antara yang lain di ranah publik.)

Baca juga:

UMP DIY 2023 Cuma Naik 7,65 Persen, Yogyakarta Istimewa Upah Murahnya

Pengadvokasian Semakin Masif Kasus Dugaan Salah Tangkap Pelaku Kliti

7. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan

Ilustrasi pemberangsuan buku | Klickberita.com/Asmara Dewo
Ilustrasi pemberangsuan buku | Klickberita.com/Asmara Dewo

Pasal ini bisa mempidanakan penerbitan atau percetakan yang dianggap menurut sifatnya dapat dipidana. Menurut sifatnya dapat dipidana itu multi tafsir dan tidak jelas. Dalam KUHP tidak dijelaskan.  

Buku-buku yang dianggap melanggar pasal-pasal di dalam KUHP seperti Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, bisa terjerat pemidanaan dengan ancaman hukuman dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Atau buku / tulisan lainnya yang menurut sifatnya dapat dipidana, maka akan terjerat juga.

Kesewenang-wenangan rezim dengan regulasi barunya mencerminkan peradaban monolitik. Peradaban Monolitik selamanya tak akan menghasilkan khazanah berpikir yang progresif. Terlebih ketika perbedaan mazhab pemikiran dilawan dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. 

KUHP mengandung mazhab pemikiran represif dan reaksioner, ketika kemudian ada pelarangan mazhab ideologi tertentu yang dianggap sebagai ideologi yang terlarang. Banyak kejadian hanya karena beda cara pandang buku yang berjulukan jendela dunia harus dibredel dan diberangus, penerbitnya diserang, forum diskusinya dibubarkan.

Mengutip Achmad Fauzi dalam artikel "Pembredelan Buku", Sejarah kelam dunia perbukuan mencatat, “Lekra Tak Membakar Buku” karya Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan diharamkan beredar. Buku itu membuat alergi penguasa karena sampulnya bergambar palu dan arit. Penulisnya telah mencabut sampul gambar dan menggantinya dengan yang lain, namun rezim tetap tidak kompromi. 

Buku yang dianggap kontroversial yang mengalami nasib sama adalah “Membongkar Gurita Cikeas; Di Balik Skandal Bank Century” yang ditulis George Junus Aditjondro. Buku hasil riset yang mengungkap dugaan keterlibatan SBY dan keluarganya dalam skandal Century ini ditarik dari toko buku. 

Buku “Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat” karangan Sendius Wonda juga disita oleh aparat. Ini adalah bukti bahwa pembungkaman berpikir masih terjadi. 

Pembunuhan intelektual terhadap pengarang buku yang dianggap kontroversial oleh rezim seperti pemberangusan penerbit berhaluan kiri seolah menjadi drama peperangan paling menakutkan dalam dunia keilmuan. 

Peristiwa itu bukan saja mencederai rasa kemanusiaan karena telah memakan korban yang berdarah-darah seperti yang menimpa salah satu penerbit di Yogyakarta. Kesakralan buku menjadi terusik karena dikotori oleh tindakan para pengecut yang kalah dalam perang pemikiran dan gagal menemukan cara elegan untuk mengakui kekalahannya. 

Pertempuran ide dan pemahaman yang melahirkan banyak buku menjadi ciri kematangan masyarakat ilmiah. Sebaliknya, penyerangan dan penghakiman terhadap realitas tafsir yang majemuk menjadi pertanda kemandulan akal dan karakter zaman kegelapan. 

Setiap untaian kata dalam buku dapat mengubah peradaban dunia, sehingga sangat disayangkan apabila buku justru dijadikan piranti jebakan yang mematikan. Amarah dalam sebuah gerakan yang menjadikan penerbit buku dan penulisnya sebagai obyek sasaran kekerasan sangat kontra produktif dengan keagungan buku sebagai sari pati pergolakan berpikir.

Efek Rumah Kaca dalam salah satu lagunya yang berjudul “Jangan Bakar Buku” menandakan bahwa setiap manusia membutuhkan pendapat dan pemikiran baru sebagai fantasi dan memicu anestesi. Maka dari itu betapa indahnya menghargai pendapat orang lain, memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat dalam bentuk apapun. 

Kita boleh saja berpendapat lain, namun yang terpenting adalah menghargai pendapat itu dengan tidak melarang pendapat/pemikiran masing-masing orang. Dan betapa memalukan dan memilukan, orang takut dan melarang hanya karena sebuah tulisan ,bait kata-kata sebagai sebuah pendapat/pemikiran.

Terakhir, sebagai penutup, saya akan kembali lagi dengan pertanyaan teman saya di atas, yang menurut saya mengapa dia menanyakan seperti itu adalah cerminan dari banyaknya produk hukum yang diciptakan oleh penguasa justru malah menindas dan menyengsarakan rakyat. 

Semakin saya tidak mempercayai hukum, semakin saya ingin belajar mendalami hukum itu sendiri. Saya ingat dahulu ketika saya berencana untuk kuliah, sebenarnya saya sudah mendaftar di salah satu perguruan swasta di Yogyakarta mengambil jurusan ekonomi. 

Waktu itu saya masih di Jakarta dan aktif di serikat buruh. Lalu teman saya yang sama-sama pengurus serikat buruh tetapi dia sudah menjadi advokat menyarankan saya untuk mengambil jurusan hukum. 

Agar saya menjadi pengacara yang progresif, yang bisa membela kaum yang lemah dan tertindas seperti buruh. Kemudian pada akhirnya saya mengubah keputusan untuk mengambil jurusan ilmu hukum.

Berbicara pembelaan, secara naluri alamiah manusia mempunyai kekuatan pembelaan terhadap dirinya, jika merasa tertindas dan tertekan. Pembelaan bisa dilakukan oleh siapa pun, dengan cara apapun, kapan dan di mana pun. Hanya dengan bersandar kepada kebenaran dan keadilan, kita meletakkan dasar perjuangan dan iman/kepercayaan kita terhadapnya. 

Dan itu bersumber dari kenyataan obyektif dan hati nurani. Memadukan antara pemikiran dan perasaan. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Menyatukan kekuatan-kekuatan para pencari dan pejuang keadilan agar bisa memenangkan pertarungan adalah cerminan dan keindahan dari hukum rimba itu sendiri.

Baca artikel sebelumnya:

KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa"

Restu Baskara, Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta
Restu Baskara, Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta

Baca juga tulisan Restu Baskara lainnya:

Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian I)

Posting Komentar untuk "KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa" (Bagian 2)"