Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tindakan dan Atribut Pembodohan saat Ospek

Klickberita.com – Bagaimana mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi mengawalinya dengan pembodohan? Untuk melahirkan generasi emas, sebuah generasi yang relijius, cerdas, berwawasan global, kritis, humanis, dan berbudaya, seharusnya kampus menghilangkan tindakan dan atribut pembodohan saat ospek.


Ini adalah cara terbaik mengawalinya. Bahkan kampus-kampus terbaik di dunia tidak mengenal ospek pembodohan yang kerap masih terjadi di negeri ini. Lalu mengapa pendidikan kita masih menganut budaya ospek yang cenderung membodohi mahasiswa baru, padahal pendidikan kita sendiri jauh tertinggal oleh negara lain?


Panitia juga berhak tegas, marah, dan memberikan sanksi, namun ingat pula cara elegan adalah hal terbaik untuk mengekusinya, bukan membabi buta marah-marah tidak jelas, seperti orang kesurupan.

Orasi kritikan sosial di depan teman-teman mahasiswa baru (peserta ospek) | Doc. Panitia Ospek UWMY 2017


Herannya, dosen dekan, rektor/wakil rektor, mahasiswa, dan khususnya panitia ospek, seide membuat dan membiarkan ‘permainan’ pembodohan untuk mahasiswa baru. Yang mana mahasiswa untuk mengikuti kegiatan ospek harus memakai atribut dan tindakan bodoh yang tidak layak. Misalnya peserta ospek membawa empeng, lalu mengemutnya, seperti bayi. Alasan panitia agar peserta ospek tidak berisik ketika panitia memberikan intruksi atau mengisi materi.


Selain itu hal yang tak kalah penting adalah kekerasan verbal, meskipun saat ini kekerasan fisik, ataupun hukuman semi militer sudah tidak berlaku lagi, tapi kekerasan verbal, seperti membentak masih diterapkan. Kita juga sama-sama tahu generasi muda saat ini semakin bebal, susah diatur, tidak sopan, dan lain sebagainya. Hanya saja apakah kekerasan verbal menjadi solusinya, karena hukuman fisik tidak diperbolehkan lagi? Jelas tidak! Sebab banyak cara memanusiakan manusia.


Berikutnya adalah seperti toga, cocard dari kertas kartun dan tas dari karung tepung, sebaiknya tidak diterapkan lagi di tahun-tahun berikutnya. Selain atribut pembodohan juga menghabiskan uang peserta saja. Kenapa tidak diganti dengan bed nama, dan memakai topi putih agar peserta tidak kepanasan saat mengikuti acara di lapangan. Sedangkan tas untuk mengisi perlengkapan ospek, seperti buku, pulpen, makanan, minuman, dan lain sebagainya.
loading...



Sungguh, banyak sekali cara untuk mencerdaskan mahasiswa baru. Tapi kenapa para senior begitu semangat sekali membodohi juniornya? Apakah ini balas dendam atau bagaimana? Andai saja peraturan ospek dari mendikbud soal kekerasa fisik tidak dikeluarkan, boleh jadi akan banyak sekali korban kekerasn fisik yang dialami mahasiswa baru saat ospek.


Masih teringat jelas beberapa bulan lalu seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta memakan korban saat mengikuti Diksar Mapalanya. Kita bisa bayangkan, jelas sekali segala kegiatan di kampus sudah tidak dibenarkan memakai kekerasan fisik, tapi kenapa masih diterapkan, apakah kita ingin melahirkan generasi pembunuh?


Sedangkan di Universitas Widya Mataram Yogyakarta masih menerapkan empeng dan atribut seperti di atas tadi. Universitas berbasis budaya tersebut, sedikit pun tidak melakukan kekerasan fisik bagi pesertanya. Bahkan bisa dibilang cukup lembut. Hanya saja sebagai catatan atribut-atribut tidak penting dan empeng wajib diberanguskan untuk ospek tahun 2018.


Jika peserta-peserta itu tetap nakal bin bebal, silahkan dipulangkan saja. Dicoret namanya, lalu suruh tahun depan ikuti ospek lagi. Beginilah hukuman yang memanusiakan manusia. Kita harus bisa membuat sadar mahasiswa itu sendiri tanpa kekerasan apapun. Karena segala kegiatan ospek yang baik adalah demi kebaikan dan prestasinya di kemudian hari. Tugas panitia itulah yang diemban dipundaknya agar bagaimana melahirkan generasi muda melalui kegiatan ospek di kampus.

Peserta ospek Widya Mataram 2017 di  Pendopo Agung nDalemkebumen | Foto doc. Panitia Ospek UWMY 2017


Dengan tegas saya sampaikan di depan panitia, moderator, pengisi materi, dan mahasiswa baru bahwa: “Kalau teman-teman saat ini menilai ada hal yang tidak baik, seperti empeng dan atribut lainnya (topi berbentuk toga) silahkan dicatat dan ingat, tahun depan kalau jadi panitia ospek jangan lakukan lagi ke peserta ospek berikutnya. Teman-teman jangan takut, harus berani! Toh, semua ini adalah regenerasi, yang saat ini menjadi panitia akan berakhir. Teman-temanlah yang menganggantikannya.”


Lalu bagaimana untuk seremonial pembukaan simbolis upacara ospek jika tidak ada toga yang dibuat dari kartun itu? Gampang! Toganya bisa tetap dibuat dengan satu warna, yaitu hitam, dan itu dipakai saat upacara pembukaan ospek saja. Setelah itu dan hari berikutnya sampai berakhir bisa memakai topi putih.


Selanjutnya saya juga sampaikan: “Kelebihan panitia saat ini harus diambil untuk ospek tahun depan, sedangkan yang buruknya disisihkan (dibuang).”


Yang pertama harapan saya sebenarnya adalah sebaiknya setiap perguruan tinggi di tanah air ini berfokus untuk melahirkan generasi muda yang pemberani. Karena segala pencapaian ataupun kesuksesan manusia itu sendiri harus berani, berani berpikir, berani berpendapat, berani berbicara, dan berani bertindak sesuai prinsip-prinsip kemuliaan.


Dan kedua, peserta ospek sudah ditanamkan budaya menulis. Kita juga menyadari kegiatan menulis sangat miris di negeri ini. Jangankan menulis, budaya membaca saja sangat memprihatinkan. Jika ada 1.000 penduduk Indonesia, hanya ada 1 orang yang gemar membaca. Kabar baiknya adalah jika budaya menulis dibumikan disetiap kampus-kampus Indonesia, maka budaya membaca pun ikut membumi.


Jangan harap menjadi menjadi pemimpin besar, jika membaca saja malas, dan menulis tidak mahir. Bukankah kita tahu pemimpin-pemimpin hebat didunia dan negeri kita sendiri, dua kebiasaannya sehari-hari adalah membaca juga menulis. Seorang pemimpin juga harus pandai berbicara, berpidato, orasi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan komunikasi. Bangsa kita pernah memiliki pemimpin hebat yang diakui dan disegani dunia karena pidatonya yang begitu mantap, yakni Presiden RI pertama, Soekarno.
Hijab


Dan yang ketiga adalah mencetak mahasiswa yang religius. Soal agama adalah hal yang terpenting dari segala apapun. Dasar negara kita sendiri, di urutan pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu artinya setiapa warga negara Indonesia harus pula mengutamakan nilai-nilai keagamaan dalam segala aktivitasnya.


Sederhananya menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan ospek ialah mengatur waktu agar peserta Muslim bisa menjalankan ibadahnya pada tepat waktu. Bukan maslah terus melanjutkan aktivitas, sehingga peserta sendiri yang harus mengingatkan karena waktu sholat hampir habis. Begitu juga dengan penganut agama peserta lainnya, harus menghormati dan menghargai, tanpa ada sedikit pun yang bertentangan dengan keimanan mereka.



Hidup mahasiswa, hidup rakyat, jayalah Widya Mataram Yogyakarta! [Asmara Dewo] 

Baca juga

Posting Komentar untuk "Tindakan dan Atribut Pembodohan saat Ospek "