Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bisakah Dengan Budaya Literasi Bangsa Kita Maju?

Kemarin, Twitter Divisihumaspolri jadi perbincangan netizen, sebab cuitannya sempat mengancam yang isinya begini: Suka menulis? Awas! Tulisan opini bisa berujung jeruji. Meskipun postingan tersebut sudah dihapus (ditarik kembali), namun cukup banyak yang turut menyesalkan himbauan Polri tersebut. Salah satunya Ustadz Felix Siauw. 

Penulis buku Sudah Putusin Aja itu mengkritik dengan sangat baik dan santun, saya sempat mengingat beberapa kalimatnya, katanya dalam tulisan yang di posting di akun media sosialnya, “Dimana-mana bangsa yang  berkembang itu diawali dengan membaca, sesuai perintah Al-Quran, dan tanda bangsa maju ditandai dengan menulis”. 

Ilustrasi membaca | Foto Shutterstock
Apa yang diucapkan Ustadz Felix Siauw bukan tanpa sebab atau bualan belaka. Bangsa Eropa dan Amerika mempunyai budaya membaca yang sangat tinggi. Begitu juga bangsa Jepang dan China, dua negara asia tersebut merupakan negara yang paling maju dibandingkan negara-negara lainnya. Lalu bagaimana dengan bangsa kita sendiri, Indonesia? Sangat menyedihkan kalau bicara soal budaya membaca. 

Dari laporan BPS (Badan Pusat Statistik) 2006 menunjukkan  masyarakat Indonesia lebih memilih menonton televisi sebesar 85,9 persen, daripada mendengar radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Data ini diperkuat lagi hasil penelitian yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 2012, indeks pembaca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 persen. 

Berarti dari 1.000 penduduk Indonesia masih 1 orang yang minat membaca. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, hanya 250 ribu penduduk saja yang gemar membaca.

Bangsa Indonesia lebih suka menonton televisi daripada membaca, padahal dengan membacalah ketajaman otak manusia terasah setiap waktu. Dan menimpulkan pula pola pikir yang kritis dan skeptis. Tidak seperti menonton, yang cenderung hanya menerima saja. 

Kata Koordinator USAID Prioritas Jateng-DIY Nurkolis, masyarakat kita menghabiskan waktu menonton televisi sehari sampai 300 menit. Sementara negara maju rata-rata menonton televisi hanya 30 menit dalam sehari. Itu artinya negara maju tidak memprioritaskan menonton televisi dalam kehidupannya sehari-hari. Namun membaca, entah itu membaca buku, koran untuk mencari informasi, dan bahan bacaan lainnya. 

Soal kemampuan membaca siswa Indonesia juga sangat memprihatinkan, dari 76 negara yang disurvei oleh penelitian internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015. Indonesia berada di urutan ke-69, hasil tersebut lebih rendah dari Vietnam, yang berada di urutan ke-12. Masih dari survey yang sama, tingkat literasi (budaya membaca dan menulis) Indonesia berada di urutan ke-64 dari 65 negara yang disurvei. 

Semua data-data di atas menunjukkan suramnya bangsa kita di dunia literasi, yaitu membaca dan menulis. Tapi kabar baiknya di tahun 2016 masyarakat Indonesia mulai melek blogging. Blogger Indonesia kini mencapai 3,5 persen dari 88,1 juta pengguna internet. Meskipun terbilang kecil, setidaknya hadirnya dan terus tumbuhnya blogger bisa memicu masyarakat Indonesia untuk membaca dan menulis lagi.

Namun salah satu bibit hoax juga tak bisa dipungkiri dari para blogger itu sendiri. Di sinilah tantangan bagi blogger, lebih mengutamakan penghasilan atau kemanfaatan apa yang ditulisnya untuk masyarakat Indonesia. Sebab, bangsa kita sudah sangat resah dari berita dan artikel hoax yang menyesatkan dan membodohi. Inilah yang meski kita perangi bersama-sama, dengan menjadi pembaca yang kritis, dan menjadi penulis yang menginspirasi. 

Jadi kalau negara kita ingin maju seperti negara lainnya, kita mulai dahulu dari budaya membaca. Seperti yang diucapkan Ustadz Felix Siauw, lalu pelan-pelan kita mulai menulis. Menulislah sebatas pengetahuan kita dahulu, lambat laun dengan budaya membaca tadi, akan membuka cakrawala pengetahuan dan wawasan untuk menggarap tulisan-tulisan yang lebih baik lagi. 

Nah, soal larangan menulis yang disampaikan Divisihumaspolri melalui Twitternya adalah hanya untuk memerangi hoax. Bukan serta merta melarang yang suka menulis. Jadi tidak perlu lagi dikhawatirkan soal itu. Intinya, jika kita sama-sama perduli terhadap bangsa ini, marilah kita membangun budaya membaca dan menulis. Omong kosong kalau kita ingin menjadi bangsa yang maju, tapi kita sendiri bukan dari pembaca dan si penulis. 

Terutama bagi yang Muslim, sudah diterangkan dalam Al-Quran, Iqro (bacalah)! Bacalah apa saja yang bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman di dunia ini, dan tentu saja jangan mengabaikan pula membaca Al-Quran itu sendiri, karena itulah induk kitab dari segala kitab. 

Nah, banjirnya hoax yang merajalela ini juga bisa kita bendung, kalau kita bukan pembaca bodoh lagi, yaitu menelan bulat-bulan berita dan informasi. Secara tak langsung kita akan memiliki sifat kritis, yang mengecek kembali benarkah berita atau artikel tersebut? 

Jadi sejak saat ini kita harus sepakat, jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang maju, kita sendiri harus mulai hobi menulis. Sepakat, ya? Nanti kita buktikan, 10 tahun atau 15 tahun kemudian, jika kita 1 diantara jutaan penulis Indonesia lainnya, kita akan melihat betapa berkembang dan majunya bangsa kita tercinta, Indonesia Raya. [Asmara Dewo]

Jika ingin belajar menulis, bisa kunjungi www.asmarainjogja.id, di sana menyuguhkan cara belajar menjadi penulis dengan mudah. 

Info: Klick Berita di-update setiap Sabtu pagi. Bagi yang meng-copypaste artikel kami wajib mencantumkan www.klickberita.com. 

1 komentar untuk "Bisakah Dengan Budaya Literasi Bangsa Kita Maju?"

  1. Tahun 2015, PISA melakukan tes dan survey dengan melibatkan 540.000 siswa di 70 negara (bukan 75 negara). Sementara berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi (bukan peringkat 69). Untuk lebih valid datanya dapat cek situs OECD: https://www.oecd.org/pisa/

    Terimakasih.

    BalasHapus