Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penulis: Pejabat atau Pemimpin Negara adalah Pembantu

71 tahun yang lalu bangsa ini baru merdeka. Setelah beratus-ratus tahun dijajah silih berganti dengan penjajah yang berbeda-beda. Mulai dari Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, dan Jepang.

Hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya ke seantero dunia. Soekarno yang saat itu menjadi presiden pertama bagi negeri ini, yang kemudian sempat mendaulat dirinya menjadi presiden seumur hidup di bawah rezimnya Demokrasi Terpimpin.

Bukan tanpa alasan Bung Karno menyatakan dirinya harus menjadi presiden sepanjang hidup. Salah satu alasannya adalah bangsa ini belum begitu cerdas, yang dikhawatirkan akan berdampak dari segala aspek kehidupan rakyat.

Presiden RI Pertama Soekarno | Foto via Demastikap

Ada benarnya juga, sebab pada zaman itu pendidikan memang belum merata, hanya keturunan bangsawan atau yang kaya raya sajalah anak-anaknya bisa mengecap pendidikan. Namun, bagaimana dengan zaman sekarang? Masihkah pendidikan belum merata? Kalau pribadi menulis menilai, tugas negara ini untuk mewujudkan pendidikan yang merata belum sesuai impian bangsa yang sesungguhnya.

Di antaranya adalah daerah-daerah terpencil, dan di daerah-daerah perbatasan dengan negara luar. Tak hanya pendidikan, kesenjangan sosial, sarana dan prasarana juga sangat timpang jika kita mau membeda-bedakan daerah satu dengan daerah lain.

Negara Indonesia terus berjalan tahun demi tahun, hingga saat ini di tahun 2016. Lalu kita akan bertanya-tanya di dalam hati? Apakah bangsa ini sudah benar-benar menjadi bangsa yang cerdas? Cerdas dalam segala sendi kehidupan, cerdas dalam berpolitik, bersosial, beragama, sampai cerdas mengais rejekinya dalam kehidupan sehari-hari.

Selayaknya menjadi seorang warga itu harus cerdas. Tapi kita juga tak bisa memungkiri kenyataan yang ada, selagi pendidikan belum terpenuhi bagi setiap anak-anak yang tumbuh dan lahir di Indonesia, maka bisa dipastikan mereka adalah anak-anak yang belum beruntung mendapatkan kecerdasan dari negaranya.

Sebagai seorang yakyat biasa yang tidak mempunyai pengaruh besar pada negeri ini, kira-kira tindakan apa yang bisa dilakukan guna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?  

Dari pikiran sederhana penulis adalah dengan cara menulis. Ya, salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa ini lebih baik lagi adalah dengan menulis, dengan mengajarkan mereka, dengan memberikan pemahaman apa saja dari tulisan.

Apalagi sekarang sudah zaman internet, selagi masih ada jaringan seluler di sebuah daerah, kemungkinan besar sudah bisa mengakses internet. Dan inilah kesempatan kita yang hobi menulis untuk saling berbagi apa saja yang bermanfaat bagi mereka yang kurangnya informasi, pengetahuan, dan wawasan.

Salah satu kewajiban bagi seorang penulis selain untuk kepentingan dirinya sendiri adalah menulis untuk kepentingan publik. Sebagai penulis kita tidak boleh hanya menulis tentang urusan diri kita saja, kita harus melirik kehidupan rakyat yang sesungguhnya. Bukankah banyak sekali permasalahan-permasalahan yang mendera rakyat Indonesia?

Terkadang pemerintah di atas tidak peka atas kejadian-kejadian rakyat kecil yang posisinya di bawah. Pemerintah lebih senang kalau berurusan dengan puja-puji, atau yang tidak membuat kepala mereka pusing. Sebab kenapa? Ya, tentu saja mengurusi rakyat, warga, itu memang membuat kepala jadi pusing tujuh keliling. Namun, itu memang kewajiban dari pemerintah untuk mengayomi, melindungi, menyejahterakan, dan memberikan pelayanan sesuai Undang-undang yang berlaku.  

Jadi kalau ada pejabat atau pemimpin yang tidak mau repot dengan urusan warganya, sudah saatnya ia dipulangkan ke rumahnya. Segera cabut mandatnya sebagi pejabat atau pemimpin. Tipe-tipe orang seperti itu memang tidak layak duduk di pemerintahan. Yang namanya pejabat atau pemimpin negara itu sesungguhnya pembantu, pesuruh, tukang melayani bagi warganya atau rakyatnya.

Silahkan tanyakan hal ini pada mereka yang notabenenya pejabat atau pemimpin di negeri ini? Jika mereka menyangkal pernyataan ini, boleh dicopot jabatannya sekarang juga atas nama Rakyat Indonesia.

Boleh juga tanyakan langsung ke Joko Widodo atau Basuki Tjahja Purnama (Ahok), mereka ini pembantu atau tidak? Pelayan bagi warganya tidak? Pesuruh rakyatnya tidak? Kalau mereka tidak mengakui ini, Ahok boleh tidak dipilih lagi jadi Gubernur DKI Jakarta, atau Joko Widodo sudah tidak pantas menjadi Presiden Indonesia.

Kembali lagi ke topik menulis...
Penulis secara tak langsung bisa membela kepentingan rakyat melalui tulisan-tulisannya. Mengenai apa saja. Dengan tulisan itu pula, seorang penulis bisa memberikan kritik dan sarannya kepada pemerintah agar pemerintahan Indonesia lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Kritikan-kritan dari seorang kolumnis ataupun penulis sudah sepatutnya diberi tanggapan yang positif bagi yang dikritik. Bukan malah sebaliknya, langsung dituduh provokasi, penyebar kebencian, dan segala macam lainnya. Terutama bagi seorang penulis yang sama sekali tidak ada kepentingannya di dunia politik. Tipe penulis seperti itu semata-mata demi kepentingan bangsa, demi rakyat Indonesia, bukan yang lain.

Lain halnya jika penulis itu memang seorang politikus, mungkin isinya ada muatan politiknya. Nah, kalau penulis yang notabenenya rakyat jelata yang butuh kasih sayang bagaimana, coba?

Capek-capek mikirin politik, perut kenyang saja alhamdulillah, kok mau ribut-ribut pakai kepala panas bela si anu, jelekin si itu. Ya, tidak mungkinlah. Pembaca bisa perhatikan penulis yang kalau setiap kali menyinggung politik, pemerintahan, kenegaraan, si penulis tersebut terindikasi kepentingan tidak dalam tulisannya? Jika tidak, itu berarti ia semata-mata menulis untuk kepentingan publik.

Bangsa ini terkadang harus dibuka matanya lebar-lebar dari tulisan yang sedikit tajam dan to the point. Kita lihat saja, sekarang ini di media-media jarang sekali tulisan yang tajam dan bisa menohok oknum yang dituju. Mungkin karena takut... atau memang tidak dimuat oleh pihak redaksi.

Jujur saja, penulis sendiri kalau membaca sebuah artikel jika tidak memicu adrenalin. Yah... itu tidak berkesan, apalagi menghapal nama penulisnya. Meskipun penulis itu namanya sudah tersohor. Saat ini bukan waktunya bicara penulis tersohor atau tidaknya, ya percuma saja jika penulis yang sudah ternama namun tidak bersuara jika ada permasalahan rakyat Indonesia. Untuk apa juga punya nama besar, tapi bermental kecil ya, kan?

Rakyat yang haus akan pemahaman dari segala macam persoalan butuh sentuhan dari penulis yang cerdas, berani, dan tidak ada tujuan kepentingan di dalamnya.[Klickberita.com/Asmara Dewo]


Posting Komentar untuk "Penulis: Pejabat atau Pemimpin Negara adalah Pembantu"