KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa"
Klickberita.com-Pada suatu malam di bulan November 2022, ada seorang aktivis bertanya, “Restu, kamu kan orang hukum, kamu percaya nggak sama hukum?” Lalu saya terdiam sejenak dan menjawab, “Nggak! Aku percaya sama hukum rimba,”jawab saya sambil cengengesan.
![]() |
Ilustrasi "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa" |
Hukum, adalah suatu kata di mana itu bisa dimaknai oleh banyak pikiran dan oleh banyak orang. Mungkin orang yang bertanya seperti di atas sepertinya juga tidak mempercayai hukum. Dalam konteks hukum itu diciptakan untuk mengatur yang lemah agar tidak mengganggu yang kuat, menjaga status quo,menciptakan stabilitas ekonomi politik, maka siapa yang kuat, dia yang menang.
Hukum merupakan produk politik, karena dalam ranah sistem ketatanegaraan Indonesia memakai Trias Politica, dimana kelahiran hukum diciptakan oleh politik, orang-orang yang berpolitik yang kemudian disebut”wakil rakyat” itu, atau dalam tataran parlementariat.
Paling tidak ada tiga teori atau konsep dasar negara hukum, yaitu persamaan di hadapan hukum, tidak ada kekuasaan di atas hukum, dan hukum adalah kekuasaan tertinggi (supreme).
Konsep “persamaan di hadapan hukum” (equality before the law) bermula dari Inggris (Dicey). Konsep “tidak ada kekuasaan di atas hukum” atau “semua kekuasaan di bawah hukum” (subject to the law) merupakan dasar dari “de recktsstaat” yang bermula dari Jerman.
Konsep “hukum adalah kekuasaan yang tertinggi” (the supremacy of law) bermula dari Amerika Serikat. Tiga konsep dasar tersebut secara hakiki ditujukan pada penguasa, yaitu sebagai cara membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Dalam perkembangannya, pengertian pembatasan kekuasaan, tidak hanya terbatas pada kekuasaan sewenang-wenang (arbitrary).
Pembatasan kekuasaan juga mencakup Iarangan melampaui wewenang (detournement de pouvoir), kewajiban menaati prinsip-prinsip keadilan (prosedural fairnees) dalam menetapkan keputusan.
Meskipun secara umum, persamaan di hadapan hukum berlaku pada semua (setiap orang), tetapi penguasalah (pemerintah) yang paling berkesempatan meniadakan persamaan atas dasar status dalam susunan kekuasaan, status sosial, keyakinan, etnis, kekayaan dan lain-lain.
Hanya penguasa atau mereka yang memperoleh bagian dari kekuasaan yang dapat menyatakan atau menempatkan diri di atas hukum (above to the law) seperti ungkapan l’etat se moi.
Hanya penguasa atau bagian dari kekuasaan sebagai yang berdaulat menjadi sumber dan yang memberikan hukum, karena itu hukum ada di bawah kehendaknya. Bukan sebaliknya berada di bawah kehendak hukum.
Berdasarkan paham negara hukum, pembatasan kekuasaan yang dikemukakan di atas, dilakukan melalui (menggunakan) hukum sebagai instrumen yang lazim disebut asas Iegalitas (legality principle, Iegaliteitsb eginsel) .
Benarkah kalau segala sesuatu telah diatur oleh hukum akan terjamin tidak ada tindakan sewenang-wenang atau melampaui wewenang, dan akan menjamin persamaan? Sama sekali tidak.
Hukum dapat juga dipergunakan sebagai semata-mata alat kekuasaan, alat bertindak sewenang-wenang, atau melampaui wewenang, atau alat meniadakan persamaan. Kenyataan ini ditentukan oleh sekurang-kurangnya tiga hal.
Pertama; cara menentukan substansi hukum. Hukum yang semata-mata dibuat untuk melindungi atau menjamin kepentingan penguasa atau kaum yang menempel dengan kekuasaan, akan berbeda dengan hukum yang dibuat atas dasar kepentingan rakyat banyak.
Hukum dan kekuasaan politik adalah suatu alat untuk kapitalis untuk berkuasa di bidang ekonomi dan untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana ekploitasi.
Menurutnya hukum bukan saja berlaku sebagai fungsi politik tetapi juga sebagai fungsi ekonomi. Hukum dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang mana kemenangan dalam hukum oleh kaum borjuis dan sementara kaum proletar yang kalah, maka dari itu hukum akan memicu perpecahan antar kelas antara kaum borjuis dengan kaum proletar, kaum dominan dengan kaum mayoritas, kaum kaya dengan kaum miskin.
Tidak hanya itu, kaum borjuis akan menggunakan hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya untuk terus menguasai pemerintahan dan perekonomian. Dalam hal praktik penegakan hukum, sering kali kita melihat orang-orang kaya selalu mudah dan menang dalam proses hukum, sedangkan orang miskin tidak bisa membela dirinya dalam proses hukum atau sering kita sebut dengan istilah "tajam ke bawah dan tumpul ke atas".
Bahkan jika kita mau mengkaji lebih dalam yang mana pada orang-orang yang berkuasa untuk membuat hukum, orang-orang yang duduk di dalam parlementariat (legislator) dalam pembuatan produk hukum di Indonesia sering kali kurang sesuai dengan keadaan dan keberpihakannya kepada masyarakat, serta kepentingan masyarakat.
Bahkan ada istilah "pasal-pasal pesanan" yaitu pasal yang sudah diatur sesuai pesanan golongan tertentu yang memiliki kepentingan dalam suatu hal untuk melancarkan kepentingannya lewat peraturan yang akan disahkan, baik itu berkaitan dengan politik, ekonomi atau sebagainya.
Peraturan/hukum yang dikeluarkan adalah mencerminkan kelas mana yang berkuasa, begitu juga sebaliknya, dari kelas mana yang berkuasa maka akan memengaruhi peraturan/hukum yang berlaku.
Baca juga:
UMP DIY 2023 Cuma Naik 7,65 Persen, Yogyakarta Istimewa Upah Murahnya
Pengadvokasian Semakin Masif Kasus Dugaan Salah Tangkap Pelaku Klitih
KUHP (Kita Undang-Undang Hukum Pidana)
![]() |
Ilustrasi kitab undang-undang hukum pidana | Klickberita.com/Asmara Dewo |
KUHP yang telah disahkan menjadi UU yang mengatur pidana, semangat awalnya adalah memperbarui hukum warisan kolonial pada jaman penjajahan Belanda. Semangat untuk memperbarui hukum tersebut diharapkan agar hukum pidana tidak berbau penjajahan dan penindasan, sesuai dengan demokrasi rakyat dan melindungi HAM.
Namun, semangat ini bertolak belakang dengan isi di dalam KUHP sendiri yang malah memberangus demokrasi dan HAM. Isi pasalnya ada yang melanggengkan dan mengamankan kekuasaan.
Semangatnya masih semangat kolonial, bahkan menjadi bentuk kolonialisme baru (neokolonialisme). Dan ini menjadi ironi atas lahirnya KUHP baru tersebut.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terbaru mencerminkan ajaran Marx. KUHP tidak lain adalah peraturan yang dikeluarkan oleh kelas yang berkuasa untuk menjaga kenyamanan dan status quo kelas penguasa tersebut. Kelas yang berkuasa di Indonesia adalah kelas yang berpunya, punya modal (kapitalis/borjuis), atau istilah yang populer sekarang adalah oligarki.
Maka dari itu KUHP pun isinya adalah pasal-pasal yang mengakomodir kepentingan kelas tersebut. Mari kita cek pasal yang bermasalah.
1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Pasal ini jelas memberangus demokrasi, bertentangan dengan HAM, dan melanggar konstitusi di Indonesia yaitu UUD 1945.
Pasal di atas menurut saya bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi,” Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Ketika Gus Dur menjadi presiden, pernah mewacanakan untuk menghapus TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 aturan yang berisi pelarangan Marxisme-Leninisme/komunisme karena itu bertentangan dengan UUD 45. Hak setiap orang untuk kebebasan berpikir, karena pemikiran itu tidak bisa dibelenggu, dirampas bahkan diberangus.
Manusia sejatinya bebas saja berpikir, mempunyai pemikiran seperti apa ,karena itu adalah hak asasi manusia. Pemikiran Marxisme-Leninisme/komunisme dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Bukankah pemikiran yang seperti itu menurut saya yang ahistoris. Pancasila itu salah satu yang menjadi sumber pemikirannya/ideologi adalah dari Marxisme-Leninisme. Terwujud dalam 2 sila dalam Pancasila, yaitu sila kedua dan sila kelima. Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
![]() |
Ilustrasi komunisme, Marxisme, dan Leninisme | Klickberita.com/Asmara Dewo |
Lalu mengapa Marxisme-Leninisme/komunisme dilarang? Karena sebagian orang Indonesia terutama yang mengesahkan pasal ini tidak belajar filsafat dan ideologi. Ada yang menganggap Marxisme-Leninisme/komunisme itu tidak percaya Tuhan (ateisme), anti agama, benarkah demikian?
Mari kita lihat akar dari filsafatnya. Marxisme-Leninisme/komunisme berakar dari filsafat Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis atau biasa disingkat Materialisme Dialektika Historis (MDH), sedangkan ateisme berakar dari filsafat Materialisme Mekanik yang awalnya dipopulerkan Feuerbach.
MDH dijadikan pemikiran dan pisau analisis untuk menganalisis keadaan sosial, sedangkan ateisme adalah keyakinan mengenai tidak adanya Tuhan. Jadi tidak ada sangkut pautnya antara Marxisme-Leninisme/komunisme dengan Ateisme.
Saya juga tidak sepakat dengan ayat 6 yang berbunyi, “ Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.”
Ini menandakan bahwa yang boleh mempunyai mengkaji, berdiskusi, mempunyai kebebasan berpikir dan mengajarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme adalah orang-orang yang dianggap mempunyai intelektualitas, bergelar akademisi, dalam ranah lembaga pendidikan, di ruang akademik formal, untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Sedangkan tukang becak, buruh di pabrik, petani di sawah, nelayan, dan masyarakat lainnya di ruang apapun tidak punya kebebasan berpikir dan berpendapat. Diskriminasi atas pengekangan dan pembatasan kebebasan berpikir ini adalah fatal demi demokrasi rakyat.
2. Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
![]() |
Jokowi dan XI Jinping | Foto Wikimedia Commons |
Terkait pasal di atas saya teringat dengan undang-undang/hukum yang ada di Cina, di mana juga mirip dengan pasal di atas. Sepertinya Jokowi dan rezimnya melaksanakan betul apa yang didoktrin oleh presiden Cina, Xi Jinping ketika Jokowi setelah menjadi presiden.
Di awal pemerintahannya pada akhir tahun 2014 bertemu dan berdiskusi dengan presiden Cina mengenai resep majunya Cina sekarang. Xi Jinping mengatakan bahwa untuk menyukseskan pembangunan di Indonesia kuncinya adalah menciptakan stabilitas negara.
Negara harus mengontrol penuh ekonomi politik, social, budaya, pertahanan dan keamanan. Dan itu bersumber dari kebijakan negara atau hukum itu sendiri. Maka tidak heran, regulasi yang dibuat pada jaman rezim Jokowi ini atas nama kepentingan negara sebagai kekuasaan, semua harus dikontrol untuk atas nama STABILITAS NASIONAL/NEGARA.
Ketentuan mengenai “penghinaan presiden” sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Pertimbangan hukum (ratio decindendi) yang dimuat dalam putusan MK tersebut yakni, pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.
Pasal penghinaan presiden ini merupakan produk zaman penjajahan belanda. Pasal itu pernah dan sudah lama diatur dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht/WvS). Dalam KUHP tersebut alasannya digunakan untuk melindungi harkat martabat dan kehormatan penguasa pada saat itu yang sedang menjajah Indonesia.
Dahulu pasal ini pernah beberapa kali diterapkan terhadap pejuang kemerdekaan, misalnya Bung Karno pernah dijerat dengan pasal itu karena tindakannya membacakan pidato pembelaan “Indonesia Menggugat”.
Bung Karno dan rekannya dituduh ingin menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda dan menyebarkan propaganda. Tentu saja kejadian masa lalu tidak ingin terulang lagi pada masa kini dan yang akan datang.
Namun demikian kiranya jauh berbeda dengan keadaan Indonesia saat ini dengan demokrasi yang luas dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat.
Kebebasan individu untuk dapat mengkritik dan berpendapat merupakan sebuah prinsip dasar dan substansi utama bagi negara yang menganut paham demokratis. Sehingga, pasal penghinaan presiden dan lembaga negara (DPR, Kejaksaan, Kepolisian, dan lain-lain) baik itu delik aduan ataupun delik biasa sedikit banyaknya akan menghambat masyarakat melakukan kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah.
Negara yang demokratis adalah negara yang memandang saran dan kritik dari rakyatnya sebagai aspirasi rakyat untuk memperbaiki dan memajukan negara. Pasal ini bisa menganggap kritik masyarakat sebagai penghinaan. Dan pasal ini berpotensi untuk mengkriminalisasi rakyat yang dianggap melawan negara.
Jika kedaulatan telah dipindahalihkan menjadi kedaulatan rakyat, maka antara pemerintah (presiden) dan rakyat tidak boleh dipandang berbeda, melainkan berkedudukan yang sama.
Namun, hadirnya kembali pasal penghinaan presiden ini seakan merenggut ulang kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan pemerintah. Dibatalkannya pasal penghinaan presiden oleh MK ialah sebuah kemajuan dalam berdemokrasi dan tentu bukan hal yang buruk.
Sebab, seorang presiden dan lembaga mestinya tidak perlu khawatir dengan hinaan, justru melalui hinaan secara tidak langsung menjadi pukulan keras bagi seorang presiden untuk evaluasi kerja.
Presiden dan lembaga negara sebagai instansi tidaklah layak memiliki pasal khusus terkait penghinaan. Sebuah instansi tentu tidak memiliki rasa/emosi, sehingga presiden (sebagai instansi) tidak dapat dikatakan merasa terhina, karena ia adalah lembaga, bukan manusia.
Namun, ketika berbicara tentang presiden sebagai seorang pribadi, ketika ia dihina, diturunkan harkat dan martabatnya, dicemarkan nama baiknya, maka pasal yang berlaku adalah beberapa pasal di KUHP yang lama di antaranya Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318. Pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan yang berlaku kepada semua pihak tanpa memandang status dan jabatannya.
Ahli hukum pidana di antaranya Andi Hamzah yang pada prinsipnya menyatakan ketika pasal penghinaan presiden tidak berlaku, maka pasal pencemaran nama baik masih dapat diterapkan untuk melindungi nama pribadinya.
Kemudian dilanjut oleh Mardjono Reksodiputro dengan mengatakan bahwa tidak diperlukan delik penghinaan khusus presiden maupun wakil presiden, dan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat-pejabatnya.
Pendapat J.E Sahetapy mengatakan bahwa pasal-pasal mengenai penghinaan presiden dalam era demokrasi tidak lagi relevan dan hilang "raison d'etre-nya", jelaslah kiranya bahwa pasal penghinaan presiden tidak layak untuk diberlakukan. Baik sebagai delik aduan maupun delik biasa.
Karena permasalahannya bukanlah terkait delik apa, tetapi lebih fokus kepada untuk menghilangkan secara keseluruhan pasal penghinaan presiden.
Setelah pengesahan KUHP ini, saya pernah berdiskusi dengan teman, dia seorang antropolog lulusan UGM. Dia mengatakan bahwa mungkin pasal penghinaan ini cerminan terhadap pandangan masyarakat awam yang berpikir bahwa buat apa menghina presiden, seakan pasal ini mengamini pandangan umum masyarakat yang tidak santun kalau menghina presiden dan lembaga negara.
Lalu saya bantah, bahwa masyarakat awam walaupun dia tidak begitu mengerti hukum, ketika dia dihadapkan dengan permasalahan sosial maka hukum dialektika lah yang berjalan. Walaupun dia bukan aktivis, atau golongan intelektual, nalar untuk berpikir kritis itu sebenarnya terbenam dalam pikiran masyarakat awam sekalipun, sehingga orang itu bisa saja mengkritik, bahkan menghina presiden dan lembaga negara jika memang tidak becus dalam menjalankan kinerjanya.
Apalagi dunia hari ini adalah dunia yang tanpa batas dengan adanya teknologi informasi. Orang bisa dengan mudah mengekspresikan kekesalannya dengan mengkritik dan menghina kekuasaan lewat media sosial yang dimilikinya. Dalam konteks seperti inilah kemudian negara mengambil peran untuk membatasi tindakan masyarakat, menjaga kekuasaannya agar tetap terjaga dan stabil dengan pemidanaan orang tersebut.
Saya juga mendapatkan informasi bahwa dalam penyusunan KUHP ini, yang sebagian adalah akademisi di bidang hukum pidana, ada yang tidak sepakat dengan pasal ini. Namun pihak DPR lah yang bersikeras harus dicantumkan dalam RUU KUHP.
Hal itu mencerminkan bahwa mereka yang tidak mau diusik kekuasaannya, takut dengan usikan dan kritik dari masyarakat, kemudian membuat pasal seperti ini. Dengan dalih menghina, maka kritik bisa saja dianggap penghinaan. Definisi perbedaan menghina dengan mengkritik juga tidak jelas dalam KUHP.
Mengkritik harus memakai data, lalu bagaimana dengan orang awam yang datanya itu adalah pengalaman dia sendiri ketika dia merasakan penindasan, yang kemudian dicurahkan dalam media sosial? Dan itu bisa jadi dianggap penghinaan oleh rezim.
Lanjutkan membaca...
KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa" (Bagian 2)
![]() |
Restu Baskara, Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta |
Baca juga tulisan Restu Baskara lainnya:
Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian I)
Posting Komentar untuk " KUHP: "Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa" "