Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian I)






Ilustrasi gangster | By Klickberita.com
Ilustrasi gangster | By Klickberita.com

Klickberita.com-“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”(Pasal 28E ayat 3).

Sejarah Gangster di Jogja 

Barangkali bunyi pasal di atas itulah yang menjadi dasar dan perlindungan hukum kenapa orang, dalam hal ini pemuda usia remaja menunjukkan eksistensinya sebagai Hak Asasi Manusia dengan berkumpul dan mendirikan sebuah perkumpulan, termasuk membuat sebuah kelompok anak muda (gang). 

Bicara tentang anak muda Jogja dengan sejarah perkumpulan gangnya menarik diulas. Sejarah gangster/gengster di Jogja sudah eksis sekian puluh tahun yang lalu. Setidaknya ada dua gangster besar, yaitu Q-ZRUH dan JOXZIN yang menguasai jalanan berikut kekerasan jalanannya di kota Jogjakarta.

Q-ZRUH adalah singkatan dari Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan. Entahlah siapa yang pertama kali mendirikan.Q-ZRUH yang disingkat dengan QZR atau cah Qezer. Berdiri di awal tahun 1961 dengan tujuan melawan ketidakadilan. Berawal dari sekumpulan pemuda yang tak peduli arah dan tujuan hidup. 

Secara teritori QZR menguasai wilayah utara Jogja. Tongkrongan yang diyakini tempat awal terbentuknya QZR adalah di bioskop President (sekarang Galeria Mall) dan wilayah Terban. Pentolannya disini adalah orang berinisial DRT (alm), nama yang melegenda di Jogja. 

QZRUH sering diidentikkan dengan kaum berada, kaum berpunya, dari golongan kelas menengah ke atas atau kelompok borjuis. Walaupun tidak semuanya seperti itu tetapi mayoritas. 

Salah satu tongkrongan mereka yang elit adalah di diskotek CH (Crazy Horse). CH sekarang menjadi JJ (Jogja Jogja Rumah Musik) yang berada di Borobudur Plaza,Jalan Magelang. Jalan Solo juga sempat menjadi kekuasaan Q-ZRUH, lebih banyak yang tinggal di daerah utara. Selain itu juga karena pergaulan anak-anak SMA yang berada di Jogja Utara. 

Garis batasnya adalah rel kereta, di mana sebelah utara rel dikuasai oleh Q-ZRUH dan sebelah selatan rel dikuasai kelompok JOXZIN.

JOXZIN adalah singkatan dari Joxo Zinthing. Tetapi konon nama Joxzin berawal dari kata Pojox Benzin, yaitu tongkrongan anak-anak Kauman yang nongkrong di pojok alun-alun. Joxzin disingkat dengan JXZ, berdiri tahun 1985. Secara teritorial daerah selatan Jogja mulai Malioboro ke selatan dikuasai oleh JXZ. Sebutan yang cukup populer bagi JXZ adalah “cah 14” (yang sebenarnya berawal dari huruf JXZ yang mirip dengan angka 7X2).

Pentolan-pentolan JXZ berasal dari Kauman, Karangkajen dan Kotagede. Beberapa nama yang melegenda adalah SRGT, CA, H dan banyak yang lain. JOXZIN adalah kebalikan dari Q-ZRUH. Kebanyakan anak2 JXZ adalah kaum menengah ke bawah, walaupun banyak juga yang berada. 

Basis utama JXZ adalah para santri, mengingat daerah selatan memang terdapat banyak pesantren dan sekolah Islam seperti Muhammadiyah. Dengan latar belakang seperti itulah maka anak-anak JXZ dikenal nekat dan kadang tanpa perhitungan. Tongkrongan mereka adalah di Kotagede dan Kauman. 

Kantong massa Joxzin adalah di Kauman, Kota Gede, dan Karangkajen. 

Bentrokan atau perkelahian QZR vs JXZ sering terjadi secara frontal. Biasanya mereka memanfaatkan momentum tertentu seperti tahun baru, takbiran, dan sebagainya. Dengan berkonvoi dan tentunya menyiapkan senjata, mereka sering bertemu dan pastinya akan terjadi perang. Yang sering terjadi adalah konvoi QZR sering memasuki wilayah kekuasaan JXZ.

Jarang terjadi JXZ yang menyerang wilayah kekuasaan QZR. Cara menyerang dengan sebutan Ninja. Cara ini sangat populer di kalangan geng. Sebutan ninja adalah kata lain dari menyerang musuh secara diam-diam dan mendadak, alias secara tiba-tiba tanpa musuh tahu. Dengan kata lain mereka membacok musuhnya dari belakang. 

Berbeda dengan Klitih, istilah populer sekarang ini yang menganiaya orang di jalan dengan serampangan dan sporadis, Ninja sudah pasti sasarannya adalah musuh gengnya.

Cara paling dasar untuk menunjukkan eksistensi kedua geng tersebut adalah menulis grafitti nama geng mereka di tembok dengan cat atau spray cans (pylox). Mereka konvoi dan menulis tags gang dengan huruf besar serta nama sendiri atau inisialnya di bawahnya atau sampingnya, misalnya QZR kuda, JXZ kuntet, dan lain-lain. 

Atau ketika konvoi kebetulan menemukan tulisan geng musuhnya maka mereka mencoretnya atau diberi tanda silang dengan cans dan diganti dengan nama gengnya sendiri serta namanya. Warna pyloxnya tetap hijau untuk JXZ, dan hitam atau merah untuk QZR, sebagaimana mengutip dari Jurukunci.net. 

Karena sering terjadi keributan antar geng yang menyebabkan keresahan masyarakat, terutama QZR dan JXZ, maka di tahun 1993 seluruh gengster di Jogja dikumpulkan oleh Kodim dan Korem. 

Dalam pertemuan itu kelompok gengster itu membuat perjanjian untuk menyudahi permusuhan antar geng dan berjanji tidak akan melakukan konvoi atau melakukan hal-hal yang menimbulkan keresahan dan kerusuhan di masyarakat. Dan setelah pertemuan tersebut, maka berangsur-angsur eksistensi kedua gengster tersebut meredup hingga akhir tahun 90-an. 

Seiring dengan regenerasi orang-orangnya yang kemudian digantikan oleh orang-orang baru, kemudian sedikit demi sedikit kedua geng tersebut eksistensinya digantikan dengan geng lainnya, yaitu  dua geng sekolah yang cukup besar: HUMORIEZT (HRZ) dan NEOZARAF (NZRF).

HUMORIEZT (HRZ) lahir kawasan di Mrican Depok Sleman pada tahun 1988. Kelompok ini didirikan oleh sekompok pemuda di Mrican, kala itu dijadikan sebagai tempat mereka berkumpul serta nongkrong untuk berdiskusi tentang permasalahan-permasalahan anak muda. 

Namun dalam perkembangannya, anggota Humoriezt banyak berasal dari golongan pelajar. Usia muda para pelajar dalam fase mencari jati diri serta identitas membuat anggota kelompok ini tak jarang terlibat perkelahian maupun keributan sehingga menyeret nama Humoriezt kala itu yang diidentikkan dengan genk remaja.

NEOZARAF berawal dari geng sepeda yang bernama ZARAF (ZRF), kemudian berubah nama menjadi NEOZARAF (NZRF) sebagai underbow geng Q-ZRUH. SMA yang sebagian besar basis massa QZR adalah BOSA (Bopkri I), BODA Bopkri (II) SMA 6, SMA 9 Yogyakarta Sedangkan underbow JOXZIN adalah geng sepeda yang bernama KEPROEX (KPX), SMA yang sebagian besar basis massa JXZ adalah MUHI (Muhammadyah I Jogjakarta), MUHA, dan lain-lain. 

Kemudian di awal tahun 2000 ketika anak-anak sekolah ini sudah banyak yang memakai sepeda motor untuk sekolah, maka geng sekolah menjadi anak tongkrongan geng motor. Yang menjadi tempat tongkrongan salah satunya di Alun-Alun Kidul (Alkid). 

Sebelum Alkid berubah menjadi obyek wisata dengan mobil-mobilan (odong-odong) seperti sekarang, sebelum tahun 2006 adalah tempat nongkrong anak muda Jogja dari berbagai geng sekolah. Mereka bersama gengnya mengekspresikan jati dirinya dengan memodifikasi motornya masing-masing. 

Bersaing dalam memodifikasi motor kemudian dipamerkan di jalanan, seperti berkeliling berkali-kali di Alkid yang kemudian dilihat oleh banyak orang. Dan berpenampilan dengan berpakaian yang gaul dan trendy. 

Tempat kedua yang menjadi tempat tongkrongan geng adalah tempat dugem (dunia gemerlap) Dengan menjamurnya kafe, muncul pula fenomena clubbing yang cukup marak awal tahun 2000-an, dimana kafe selalu menjadi tempat nongkrong mereka. Waktu tahun 2000 ke atas, tempat hiburan malam mulai berjamuran di Jogja. Seperti Gudang (Hotel Saphir), Papilon di Jl. Mataram, JJ (Borobudur Plaza), Pyramid Cafe Jl. Paris, dan lain-lain. 

Dulu ada acara yang bernama Jogja Part Abis (JPA), dimana dalam satu malam serentak di berbagai tempat hiburan malam mengadakan acara. 

JPA seingat saya diadakan sampai putaran kedua. Masing-masing tempat dugem ini menawarkan kemasan acara yang unik dan menarik, dari mengemas acara khusus untuk mahasiswa atau khusus untuk pelajar, mendatangkan DJ (Disc Jockey) yang terkenal atraktif, salah satunya DJ asal Jogja yang terkenal saat itu adalah DJ Vanda. 

Pengalaman saya ketika masuk tempat seperti itu saya nggak pernah bayar. Atau menghadirkan grup-grup musik, mengadakan kontes dance, sampai pada pemilihan putri favorit kafe dan lain-lainnya. 

Di tempat hiburan malam ini pulalah sering terjadi keributan antar geng. Pernah terjadi keributan di diskotik CH atau JJ yang mengakibatkan ditembaknya seorang pemuda yang ternyata anggota WARKOP (Warung Kopi/Warung Koboi).

Tahun 2003, saat saya masih kelas 2 SMA pernah dugem di CH atau JJ, ada cerita menarik yang saya alami. Waktu itu saya dugem bersama teman perempuan saya, inisialnya Y. Si Y ini kemudian lihat pentolan salah satu geng dengan inisial G yang basisnya di Jogja Barat, yang naksir sama Y, tapi Y tidak suka sama orang tersebut. Y menceritakan perihal itu, dan saya menanggapinya dengan santai saja. 

Lalu setelah dugem, kami berdua pulang. Di depan pintu keluar saya dicegat oleh  gerombolan geng tersebut. Ada sekitar 10 orang. Pentolan geng itu bertanya, “Wong ngendi kowe? (Orang mana kamu?)” Lalu saya jawab dengan tenang (walaupun dalam hati cukup was was juga), “Aku wong Kotagede. Ngopo? (Saya orang Kotagede. Kenapa?).” 

Sambil bertatapan mata, mereka terdiam sejenak. Lalu dia berujar, “Oh nggih pun mas, monggo... (Oh, ya, sudah, Mas, silahkan)” dengan mempersilakan kami pergi. Ingat peristiwa itu sebenarnya sampai sekarang saya masih bingung dan heran. Ada apa dengan Kotagede?

Tempat ketiga yang menjadi basisnya adalah tentu saja di jalanan. Akhir tahun 2001, Tugu Jogja menjadi saksi bisu pertempuran dua geng besar, yaitu NEOZARAF dan HUMORIEZT. Berawal dari konflik kalah pertandingan voli antara STM Jetis dengan STM PIRI. 

Anak-anak STM PIRI yang tidak menerima kekalahan dengan STM Jetis menyambangi STM Jetis, kemudian melemparkan molotov ke sekolah. Anak-anak STM Jetis yang tidak terima kemudian berhamburan keluar mengejar, lalu mengontak SMA MUHI, Budya Wacana, SMA 11, dan lain-lain untuk perang dengan STM Jetis. 

Sampai di perempatan Tugu, geng STM PIRI dikepung oleh geng STM Jetis. Banyak korban yang dialami oleh anak-anak STM PIRI. Polisi membiarkan saja peristiwa itu, sampai pada akhirnya menangkap anak-anak yang terlibat perang geng tersebut. 

STM Jetis dan geng-geng sekolah yang berada di utara tergabung dalam HUMORIEZT, sementara geng-geng sekolah yang berada di selatan tergabung dalam NEOZARAF. Tugu Jogja bersimbah darah. Tawuran antar geng ini sering terjadi di jalanan atau di salah satu sekolah yang menjadi target. 

Waktu itu teknologi informasi dan komunikasi tidak seperti sekarang yang mudah mengakses info. Masih sedikit orang memakai telepon seluler dan hanya bisa SMS atau telpon. Setidaknya ini terjadi sampai 2006 ketika ada Gempa Jogja. 

Gempa Jogja menjadi momen kesadaran akan tragisnya bencana, keterpurukan ekonomi, serangan jiwa dan raga. Bersatu untuk bangkit kembali memperbaiki ekonomi karena banyak rumah dan bangunan ambruk. 

Paska Gempa Jogja kemudian eksistensi geng remaja sempat vakum. Orang  berpikir, daripada menghabiskan uang untuk memodifikasi motor, mending dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup. Eksistensi geng remaja perlahan-lahan mulai bangkit kembali 2-3 tahun setelah gempa. 

Bedanya adalah geng remaja anak sekolah ini semakin lama semakin menjamur dan berbasiskan geng satu sekolah. Saking banyaknya sekolah SMA atau SMK di Jogja maka banyak pula geng remaja yang lahir. Banyak pula tawuran antar sekolah terjadi. 

Saya pernah mengalami terjebak di tengah arena pertempuran antar geng anak sekolah. Tahun 2013 atau 2012 kalo nggak salah, saya naik motor melewati jalan selatan Mandala Krida lalu belok kiri di selatan Pengadilan Negeri Jogja. 

Tiba-tiba dari arah timur sudah ada gerombolan anak SMA melempar batu ke arah barat yang ternyata dari arah barat juga sudah ada gerombolan anak SMA yang melempar batu juga. Untung saya tidak kena lemparan batu tersebut. Lalu saya cepat menghindar dan pergi dari situ sambil mengumpat... Jancuuuk. Bajingan,kelingan jaman mbiyen (Sialan, ingat jaman dulu).

Sejak kecil saya sudah sering melihat dan mengalami peristiwa kekerasan. Dimulai sejak saya SD kelas 3 kalau nggak salah, saya dan teman-teman saya pernah dihukum oleh PASKHAS (tentara AU) membersihkan pos AU karena bermain di pinggir landasan bandara Adisucipto. Saya dibentak dan disuruh baris berbaris sama tentara itu. 

Lalu tahun 97 atau 98 ketika waktu itu rumah saya di Jl. Karanglo Kotagede (yang sekarang menjadi toko Paradise), saya melihat pot bunga di sepanjang jalan Kotagede dirusak oleh kelompok orang tak dikenal. 

Saya sekolah di SD Muhammadiyah Bodon naik sepeda sambil kesusahan melewati jalan yang dipenuhi pot bunga yang hancur berserakan sepanjang jalan. Suara yang terdengar itu adalah balasan dari kelompok politik tertentu. Aksi tawuran antar geng sekolah. 

Atau aksi kelompok ormas Islam di Kotagede yang menyerang tetangga saya karena tetangga itu adalah bandar togel. Saya melihat pedang yang diseret ke jalan dan keluar api. Rumah tetangga itu dirusak dan tetangga saya tersebut dipaser/dipanah. 

Saya sendiri pernah dibegal oleh empat remaja di Jl. Balirejo (utara SGM) tahun 2017. Mereka meminta hp (handphone) saya padahal sebelumnya saya kehilangan hp. Mereka membawa clurit dan kayu. Teman yang saya bonceng turun dan malah menantang mereka. 

Lalu untuk mengalihkan perhatian saya lari sambil misuhi mereka sambil ngegas sekencengnya dan kawanan begal itu mengejar, lalu saya masuk ke perumahan dan aman. Teman saya kena clurit di dada dan kaki. Tak tahunya, teman saya itu yang ternyata mencuri hp saya sebelumnya. 

Atau pada saat aksi ketika menolak WTO tahun 2015, saya dikeroyok sekitar 5 polisi saat aksi di Titik 0 Km, Malioboro. Waktu itu terjadi caos, saya dan polisi itu rebutan bendera organisasi. Saya dikepung 5 polisi dan dipukuli habis-habisan dan saya pun terjatuh. 

Pernah juga saat aksi GNP (Gerakan Nasional Pendidikan) pada agenda FRI (Forum Rektor Indonesia) di UNY tahun 2016 dimana Jokowi datang dalam acara tersebut, juga terjadi kekerasan oleh aparat. Saya dipukuli oleh satpam kampus dan polisi di depan Student Center (SC) UNY, mahasiswa UNY disuruh duduk dan disuruh menyaksikan saya dipukuli aparat. 

Baca lanjutannya di sini:

Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian 2)

Tentang Restu Baskara
Tentang Restu Baskara 

Baca juga:

Pengadvokasian Semakin Masif Kasus Dugaan Salah Tangkap Pelaku Klitih

Apakah Jogja Gelut Day Bisa Jadi Solusi atas Maraknya Klitih?

Posting Komentar untuk "Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian I)"