Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bertualang dengan Sepeda

Klickberita.com--Sudah sepekan saya menikmati bagaimana menyenangkannya bersepeda. Hobi bersepeda ini sebenarnya sejak sepekan itu pula. Meskipun harus diakui sejak kecil saya sudah bersepedaan sejauh 4 kilometer, bahkan terkadang juga bisa lebih. Artinya saya sudah akrab dengan sepeda, hanya saja tidak menjadi hobi atau kebiasaan ketika tumbuh menjadi remaja, dewasa, sampai saat ini. 

descent mountain bike
Ilustrasi bersepeda | Zach Dischner via Flickr
Awalnya saya terinspirasi melihat teman-teman kampus di Widya Mataram Yogyakarta yang sehari-hari mengayuh sepeda menuntut ilmu di sana. Teman itu, meskipun tidak akrab dengannya, hanya sekadar bertegur sapa saja, bagi saya mereka luar biasa.

Kawan-kawan dari Indonesia bagian timur tersebut punya semangat belajar yang tinggi, hal itu saya nilai dari rajinnya mereka masuk kuliah dengan sepeda tadi. Sering pula saya berjumpa dengan mereka saat di jalan. Saya lihat wajah mereka yang optimis dan rasa bahagia. Tampaknya pula mereka betul-betul serius menjemput mimpi dari gerbang ilmu pengetahuan.



Sekarang mereka sudah semester III, jadi mereka sudah setahun mendayung sepeda angin tersebut. Bahkan tampak pula ada anak baru yang mengikuti jejaknya, ikut bersepeda ke kampus. Jarak dari tempat tinggal mereka ke kampus sekitar 8 kilometer. Bisa dibayangkan betapa sehat dan kuatnya mereka dalam setiap hari masuk kuliah menempuh jarak yang cukup jauh itu dengan sepeda.

Di Yogyakarta sendiri, pengenadara lain seperti mobil, motor, dan lain-lain sangat menghormati yang bersepeda. Meskipun sepeda kendaraan yang mungil, tapi selalu lebih diutamakan. Bahkan hampir di setiap lampu merah di Kota Yogyakarta, ada batas garis khusus sepeda yang letaknya paling depan untuk menunggu lampu merah.

Karena itu pula, naik sepeda di Yogyakarta selain nyaman, juga aman. Hal itu juga menjadi pertimbangan bersepeda di Kota Pendidikan tersebut. Sebab jika budaya berkendaraan tidak bisa menghormati pengendara lain, apalagi sepeda, maka tidak ada rasa kenyamanan dan keamanan di sana.


Bagi yang belum terbiasa bersepeda, pasti mengatakan naik sepeda itu melelahkan. Betul, naik sepeda itu cukup melelahkan, karena mendayung sampai berkilo-kilo meter. Tapi harus diingat pula mengendarai motor juga melelahkan. Apalagi di jam-jam macet, saat pulang kerja. Oh, tampaknya kita tua di lampu merah, sedangkan yang jomblo semakin jauh jodohnya. Ya, karena waktu benar-benar tersita di saat jalan macet.

Yang menjadi perbedaannya adalah naik motor kalau sudah lelah akan membuat kita mengantuk. Sehingga bisa mengganggu konsentrasi di jalan. Nah, bersepeda kalau lelah tidak membuat kita mengantuk, kita tetap masih bisa fokus ke garis finis (tujuan). Yang harus diketahui bersama adalah salah satu penyebab kecelakaan itu karena faktor pengemudi yang mengantuk, entah itu pengemudi motor ataupun pengemudi mobil.

Kemudian lelah naik motor itu memicu emosional kita. Tak heran di lampu merah itu karena macet, banyak pengedara teriak-teriak sembari membunyikan klakson panjang. Tak jarang pula mengumpat dan memaki-maki, pengalaman saya waktu di Kota Medan begitu. Sedangkan bersepeda meskipun lelah tidak memicu emosi kita, mungkin boleh jadi karena ada rasa bahagia di saat mengayuh sepeda.

Beli Sepeda MTB (Mountai Bycicle)
Sepeda MTB atau biasa disebut sepeda gunung menjadi pilihan saya menikmati bersepeda ria. Alasannya karena saya memang suka olahraga-olahraga yang ekstrem. Dulu, waktu saya masih kuliah di STIH Graha Kirana Medan, saya kerap mendaki gunung. Gunung Sibayak, Sinabung, Buatan, menjadi tujuan saya melepaskan kerinduan bersama alam. Selain mendaki, saya juga ikut dengan komunitas pecinta alam yang rutin melakukan aktivitas climbing, refling, dan lain-lain.



Nah, karena itu pula sepeda gunung menjadi pilihan. Selain untuk menjajal terjalnya lembah-lembah, dan cadasnya jalanan di bebatuan kaki gunung atau perbukitan suatu hari nanti, tentunya bisa digunakan untuk olaharaga sehari-hari di jalan biasa. Bahkan bisa juga untuk balap-balapan. Jadi saya pikir sepeda gunung itu multi fungsi, apapun medannya ia bisa menjajalnya.

Harga sepeda gunung itu ternyata cukup mahal, harganya dari jutaan sampai puluhan juta. Tapi karena sesuai kemampuan kantong, beli sepeda gunung made in China saja, harganya tak sampai satu juta, hanya 900 Ribu. Cukup bersahabat bagi siapapun yang mau membelinya. Sudah saya survei di berbagai tempat di Yogyakarta, di Jln. Katamso, toko-toko yang termurah menjual sepeda, termasuk asesorisnya.

Pilihan lain jika ingin bersepeda gunung, tapi kantong belum mampu, tidak ada salahnya beli sepeda bekas. Di Yogyakarta cukup banyak menjual sepeda bekas yang bagus-bagus, misalnya saja di Pasar Sepeda GAPSSTA (Gabungan Pedagang Sepeda Bekas Jogjakarta). Harga sepeda di sana bervariasi, tergantung mereknya, dan pastinya untuk sepeda gunung ada yang di bawah satu juta.

Nah, sepeda yang saya pakai itu cukup bagus bisa dibilang meskipun harganya murah. Yang terpenting ialah sepeda itu sudah menemani petualangan awal bersepeda saya, dari Banyuraden ke Nanggulan, dan ke Pantai Parangtritis. Sore tadi saya mencoba mengikuti aliran Selokan Mataram dari Jln. Kabupaten sampai Ringroad Utara, Maguwoharjo. Perjalanan itu memberikan energi positif bagi saya.

Senangnya saya mengikitu aliran sungai itu, karena tergoda akan kebersihan dan keindahan Selokan Mataram di Jln. Kabupaten. Padahal tujuan awalnya saya tidak ke sana. Ternyata bersepeda mengikuti aliran air seperti itu menyenangkan. Di sana kita bisa menyaksikan, apa saja yang dilakukan warga dengan aliran air tersebut.

Memang sudah budaya warga Yogyakarta, di mana ada aliran air atau kolam maka di situ ada pemancing. Memancing salah satu hobi yang digemari oleh warga “Gudeg” ini. Jadi sepanjang jalan cukup banyak yang memancing di sana, termasuk juga anak-anak. Saat saya tanya, “Dapat ikannya?” jawab dia, “nggak!” sambil teriak-teriak kegirangan. Temannya satu lagi sibuk mandi. Sedangkan seorang perempuan manis ikut sumringah mendengar komunikasi kami dari warung. Dan saya terus berlalu.



Petualangan Berikutnya
Sebenarnya bersepeda itu paling asyik di hari Minggu. Selain di hari libur, juga minim kendararan yang berseliweran di jalanan. Tapi persoalannya adalah hari Minggu begitu sakral bagi saya. Tidak bisa diganggu, karena setiap hari Minggu saya jualan hijab di Sunmor (Sunday Morning) Universitas Gadjah Mada. Ya, jualan menjadi pekerjaan mengutip rejeki recehan untuk menyambung hidup.

Maka saya benar-benar bersepeda serius di tanggal merah saja untuk bertualang selanjutnya. Sudah ada rute yang akan saya coba, yakni ke Hutan Pinus Imogiri lanjut ke Bukit Bintang. Berikutnya lagi adalah ke kaki Gunung Merapi. Ya, ini uji coba bagaimana merasakan sensasi bersepeda di jalan yang cadas.

Setelah rute-rute itu dilalui dengan lancar, maka saya ingin ke Candi Borobudur (Magelang). Kemudian ke Surakarta atau Solo. Tentunya kedua rute ini menjadi pengalaman yang menarik, karena cukup jauh. Tak ingin pula ditinggalkan, yakni ke Wonosari (Gunungkidul). Nah, jika semua itu sudah dijalani, mental dan fisik semakin kuat, touring yang pastinya menantang adalah ke bagian utara Jawa Tengah, yakni Semarang dan sekitarnya.

Terlebih lagi saya memang belum pernah ke sana. Oh, ini akan menjadi petualangan yang tak kalah seru ketika saya bermotor dari Medan ke Yogyakarta. Masa muda adalah masa bertualang, dan saya tidak akan menghabiskan waktu di kamar, atau di ruang-ruang kampus yang tidak progresif, apalagi tidak berkeprimanusiaan. [Asmara Dewo]

Posting Komentar untuk " Bertualang dengan Sepeda"