Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidupilah Petani, Jangan Hidup Memanfaatkan Petani


Klickberita.com -- Setiap tanggal 24 September, kaum peduli pertanian menyuarakan aspirasinya di jalan, di depan gedung-gedung perwakilan rakyat, dan di tempat-tempat strategis lainya agar suaranya didengar.

Di Yogyakarta sendiri, hari tani kemarin kawan-kawan seperjuangan bersama berbagai elemen masyarakat juga turun. Berbondong-bondong penuh semangat revolusi dari parkiran Abu Bakar Ali, Jalan Malioboro, sempat lama di gedung DPR menunggu tanggapan dari perwakilan DPRD Yogyakarta, kemudian berakhir di Titik Nol.

Jika ditelisik segala macam tuntutan tersebut,maka semata-mata kaum peduli tani dan agraria hanya menuntut agar pemerintah daerah maupun pusat bisa menyejahterakan masyarakat tani.Sederhana sekali sebenarnya, sebuah tuntutan yang sejatinya memang haknya masyarakat.

Ilustrasi persawahan Indonesia | Foto Cifor
Namun persoalan sederhana itu, ingin hidup sejahtera di tanahnya sendiri menjadi polemik berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Tanah subur yang seharusnya menjadi masyarakat makmur, karena ada kepentingan pemodal dan selingkuhannya (pemerintah), membuat para petani terkubur.

Seperti Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ini tentu saja memakan korban bagi masyarakat yang terdampak secara langsung. Contoh di Yogyakarta, pembangunan mega proyek New Yogyakarta Internatioanl Airport (NYIA).

Dampak buruk yang diderita oleh kaum petani di sana adalah penggusuran dari tanahnya, baik dari yang suka rela, terpaksa, maupun sampai dengan perlawanan. Kita tidak perlu lagi membahas betapa pentingnya setapak lahan, atau sepetak rumah. Sebab jika anak manusia tidak punya tanah, maka hidupnya akan terlunta-lunta sampai di usia senja. 

Orang boleh tidak punya mobil, tidak punya motor, tapi akan menderita jika tak punya tempat tinggal. Lebih menderita lagi jika lahannya sudah tidak ada, seperti sawah yang biasa ditanami padi oleh petani. 

Baca juga:

Benar, sungguh benar masyarakat yang tergusur itu ada ganti ruginya, hanya saja siapa yang berani jamin hidup mereka lebih baik dari sebelumnya? Harus diingat, hidup nyaman bukan soal perkara materi, tapi juga lingkungan.Ratusan juta, atau bahkan milyaran rupian uang ganti itu belum tentu bisa menggantikan lahan yang akan digarap kembali.

Logikanya saja, siapa juga yang mau jual lahannya? Petani yang sadar betul akan sumber kehidupannya dari bumi, maka dia tidak akan menjual lahannya. Cukup rasional alasan yang sederhana tersebut.

Tampaknya masyarakat Indonesia banyak yang belum paham soal bagaimana manusia-manusia tamak di bumi ini mengumpulkan kekayaannya? Salah satunya adalah berinvestasi di tanah. Ya, tanah merupakan aset yang berharga. Tidak pernah sejarahnya harga tanah itu turun, dan memiliki aset berupa tanah jauh dari risiko rugi.

Selain itu dengan memiliki tanah,bisa mengembangkan bisnisnya,seperti mendirikan perusahaan. Lihat saja kasus pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Pengusaha dalam mengembangkan perusahaannya perlu tanah yang sangat luas, dan mereka tak perduli jika berdirinya perusahaan itu bisa‘mematikan’kehidupan petani di Rembang. Padahal petani tidak makan semen, tapi makan nasi dari padi.

Kita tidak menampik pula perubahan zaman, perubahan teknologi, zaman digitalisasi dan segala macam jenisnya, hanya saja yang haru kita antisipasi perkembangan zaman tidak harus membuat warga miskin semakin terancam dari lingkungannya.

Jangan pula secara halus mengusir petani dari desa ke kota. Hidup di kota jauh lebih sulit. Mau bekerja harus pakai ijazah, minimal SMA. Itu pun rebutan mencari pekerjaan. Ujung-ujungnya menjadi pengangguran di antara gedung-gedung pencakar langit.

Sebenarya kita yang hidup di negara agraris ini, seolah-olah bangga sekali sumber daya alam kita, khususnya dari tanahnya yang subur. Tapi lagi-lagi kita hanya sebatas bangga, tidak berani ikut serta memperjuangkan hak dari kaum tani itu sendiri. 


Di mana kita saat banyaknya kasus-kasus agraria di negeri ini? Atau kita cuma bilang: "Oh, kasihan". Kasihan saja tidak memberikan solusi pada mereka, tapi kita harus berada di barisan perjuangan itu.

Di barisan perjuangan rakyat dalam pembelaan tanah warga bukan pula perkara gampang. Jalan terjal harus dilalui, bahkan siap menerima terjangan peluru panas dari pihak kepolisian. Hal itu bisa dicermati pada saat kasus penembakan kepolisian di Desa Patijala Bawa, Nusa Tenggara Timur.Satu di antara warga tersebut meninggal akibat tertembus peluru di dadanya.

Tindakan brutal yang dilakukan aparat kepolisian itu benar-benar sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Yang mana seharusnya mereka menjadi pengayom dan pelindung warga, tapi malah menjadi pembunuh, hanya karena ingin membela pemodal dan penguasa.

Bayangkan jika hal ini terus terjadi, di mana warga membela tanah leluhurnya sendiri harus dibayar dengan nyawa? Teror demikian semakin masif dibuat oleh manusia-manusia rakus, agar warga tidak berani menghalangi nafsu bejad mereka menguasai tanah yang sebenarnya untuk rakyat.

Kita tidak bisa lagi berharap pada presiden dan jajarannya, mereka hanya obral janji untuk kepentingan politiknya.Nasib kehidupan yang lebih baik, dan selamatnya warga tani dari kuku-kuku pemodal dan pemerintah harus dari tangan petani sendiri, dari perjuangannya sendiri, tidak pula menitipkan perjuangan itu pada elit politik yang sedang berkampanye untuk mencari kursi.

Oleh sebab itu, jika masih ingin makan nasi dari petani kita sendiri, tidak beras impor dari Thailand, Vietnam, ataupun dari India, maka kita harus mendukung tani Indonesia. Selain mendukung kehidupan tani, kita juga harus berjuang bersama-sama agar tanah untuk rakyat segera bisa direalisasikan. Sebagaimana impian kawan-kawan perjuangan dalam mendorong reforma agraria sejati.

Dengan mewujudkan cita-cita luhur itu, pastinya masyarakat tani tidak bisa digusur oleh kepentingan pemodal dan penguasa. Karena tanah memang untuk rakyat, bukan yang lain! 

Tidak ada yang lebih penting lagi selain menyejahterakan masyarakat miskin desa yang sumber hidupnya dari sawah, ladang, dan kebun. Segenap jiwa raga kita harus mengalir semangat revolusi untuk kaum tani, bukan hanya memeras petani dan membunuhnya.Selamat hari tani![Asmara Dewo]




Posting Komentar untuk "Hidupilah Petani, Jangan Hidup Memanfaatkan Petani "