Perubahan Itu Dari Tangan Mahasiswa, Saudara!
Tanpa
mengurangi rasa hormat saya kepada seluruh element masyarakat Indonesia, saya
percaya bahwa di setiap gerak individu adalah perubahan. Namun perubahan yang
terbukti ampuh untuk mewujudkan cita-cita bangsa itu sendiri ada di tangan
mahasiswa. Mereka yang diberi semat sebagai kaum intelektual, mereka yang disebut-sebut
agen perubahan, dan mereka yang digaungkan sebagai pelopor perubahan di setiap
sendi kehidupan dan berbangsa.
Dulu, dulu sekali
saudara-saudara, kita bisa melihat sejarah bagaimana seorang pribumi terpelajar
seperti Tirtho Adhi Soerjo (mahasiswa Stovia), bangsawan Jawa yang melepaskan kepriyayiannya
untuk kepentingat rakyat pribumi masa itu. Ia menghimpun gerakan dan perlawanan
terhadap kolonial Belanda. Meskipun pada saat itu (tahun 1906) gerakan-gerakan
hanya beranggotakan kaum bangsawan, namun kita harus ingat pula inilah
benih-benih persatuan untuk perubahan Hindia Belanda (nama Indonesia pada masa
itu). Ia menulis dan mendirikan serikat yang dicatat sejarah, dan kemudian kita
kenal sekarang dengan Serikat Prijaji.
Aksi mahasiswa 1998 | Foto Istimewa |
Tulisan-tulisannya
membuat berang Belanda, tulisannya mampu menembus hati dan terbukanya pikiran
pribumi, bahwasanya bangsa mereka hanya diam ditindas, dibodoh-bodohi,
dijajahi, dan dikhiantati oleh bangsanya sendiri. Sebagai sosok berpengaruh
pada tahun 1913, tentunya tokoh-tokoh lain cukup banyak yang mengikuti
jejaknya, misalnya saja Mas Marco Kartodikromo yang juga menjadi tangan
kanannya di surat kabar milik pribumi pertama, yakni Medan Priyai. Karena berita
Medan Priyai terhadap Gubernur Belanda, Adipati Djojodiningrat, dan Raden
Notowidjojo, pendiri surat kabar itu pun ditangkap, dan dibuang ke Ambon.
Selain Tirtho Adhie
Soerjo dengan Serikat Priyayi-nya, sejarah juga mencatat gerakan organisasi Budi
Utomo pada tahun 20 Mei 1908. Dr. Soetomo bersama mahasiswa Stovia, yakni
Goenawan Mangoenkusomo, Soeraji, dan Wahidin Soediro Hoesoedo (sebagai
penggagas) melahirkan Organisasi Budi Utomo. Dan sekarang kita mengenal dengan
hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei. Mereka adalah
pribumi-pribumi terpelajar yang peduli terhadap nasib bangsanya, mereka yakin
dan semangat bahwa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri. Meskipun organisasi
tersebut tidak menjurus ke politik, sehingga tidak membuat perubahan yang nyata
untuk mengusir penjajah.
Pada tahun 1909,
lagi-lagi bangsa ini mencatat sejarah emasnya, Tirtho Adi Soerjo sosok yang
sudah ditulis di awal tadi kembali membuat organisasi SDI (Serikat Dagang
Islam) yang dideklarasikan di Surakarta bersama KH Samanhudi. Kemudian
organisasi yang berfokus pada perdagangan itu pun berkantor di Batavia
(Jakarta). Organisasi ini terus berkembang pesat di tangan Tjokroaminoto, dan
ia juga dipilih sebagai pimpinan Serikat Dagang Islam di Surabaya. SDI pun
berganti menjadi Serikat Islam (SI), agar pribumi lainnya tertarik masuk dalam
organisasi tersebut, karena fokus gerakannya lebih luas lagi.
Sosok-sosok berpengaruh
negeri ini seperti Soekarno (murid kesayangan Tjokroamnito, yang kemudian
menjadi Presiden RI pertama), Muso (Ketua PKI) Semaoen (Tokoh SI ‘merah’, Ketua
PKI pertama, yang juga sebagai pelopor pemboikotan buruh kereta api di
Semarang), dan Kartosoewirjo (Ketua DI/TII), Darsno, Alimin, dan tokoh-tokoh
lainnya. Tak hanya mereka yang banyak belajar dari Tjokroaminoto, namun seperti
Agus Salim dan Tan Malaka juga banyak belajar darinya. Sedangkan dari tokoh
Islam seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadyah) dan KH. Mas Mansyur bertukar
pikiran dengan beliau.
Kesadaran persatuan kaum
pribumi terpelajar semakin baik, pada tanggal 28 Oktober 1928, kaum intelektual
tersebut mendeklarasikan sumpahnya, yang kita kenal sekarang Sumpah Pemuda.
Pelopor-pelopor gerakan persatuan itu seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin,
Soenarlo, J. Lelmena, Soegoendo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Amir Syarifuddin
Harahap, WR. Soepratman, Moehammad Roem, Sie Kong Lieng, dan masih banyak lagi.
Melalui sumpah tersebut
kesadaran akan kesatuan semakin kuat, mereka yakin Indonesia adalah alat pemersatu
bangsa, apapun latar belakangnya. Sehingga sumpah tersebut menjadi cikal bakal
persatuan rakyat Indonesia di kemudian hari. Kita ketahui bersama, meskipun
dalam sumpah tersebut tidak mewakili penderitaan pribumi yang terjajah oleh VOC
Belanda, paling tidak mereka sadar dan paham, generasi muda harus bersatu untuk
mencapai perubahan yang lebih baik lagi terhadap bangsanya.
Dan boleh jadi
kawan-kawan, saudara-saudara sebangsa dan setanah air, jika kaum muda (Soekarni,
Wikana, Aidit, Chaerul Saleh) tidak tegas dan berani, mungkin kemerdekaan yang
kita raih sekarang ini melalui ‘hadiah’ dari pihak penjajah Jepang. Soekarno
dan Hatta yang saat itu ragu-ragu dalam melangkah, padahal sang proklamator tahu
bahwa Jepang sudah menyerah terhadap Sekutu. Tapi ia tidak berani mengambil
keputusan untuk memproklamirkan bangsa dan negaranya, sehingga kaum muda
berperan sangat penting melalui penculikan Soekarno ke Rengasdengklok, agar
Bung Besar hari itu juga memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Karena dianggap
proklamir itu tidak sah, dan tidak diketahui rakyat, maka Soekarno kembali
membacakan teks proklamasi pada esok hari pada tanggal 17 Agustus 1945. Hingga
hasil dari penculikan itu lahirnya sebuah negara tempat bernaung dan berpijak
kita sekarang, Republik Indonesia. Sebuah kemerdekaan yang cukup unik
sebenarnya, sang proklamator diculik dan dipaksa untuk membacakan teks
kemerdekaan.
Sayangnya, Presiden RI Soekarno,
seakan lupa diri, ia sudah tidak mewakili lidah rakyat lagi. Kehidupan rakyat
semakin susah, ia juga dianggap tidak mementingkan rakyat, ia lebih
mementingkan jabatannya. Soekarno juga ingin mengukuhkan dirinya sebagai
presiden seumur hidup melalui Demokrasi Terpimpim yang digagasnya.
Baca juga:
6 Karakter Dosen, Nomor 5 Paling Geram Mahasiswa
Tindakan dan Atribut Pembodohan saat Ospek
Mahfud MD: Wajib Hukumnya Mahasiswa Menuntut Keadilan
Baca juga:
6 Karakter Dosen, Nomor 5 Paling Geram Mahasiswa
Tindakan dan Atribut Pembodohan saat Ospek
Mahfud MD: Wajib Hukumnya Mahasiswa Menuntut Keadilan
Panasnya politik di
tahun 1960-an, antara PKI, partai Islam, dan TNI AD, membuat sang presiden tak
bisa memberikan rasa kepuasan terhadap pihak yang selalu bersebrangan. Hingga
meletus penculikan 7 jendral, yang dikenal dengan G 30 S PKI. Sebuah catatan
sejarah yang sangat kelam bagi bangsa kita.
Pada tahun 1966,
mahasiswa kembali ke jalan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menuntut
kebijakan-kebijakan Soekarno yang dianggap tidak pro rakyat. Hanya saja aksi
yang dilakukan mahasiswa itu ditunggani oleh elit politik, sehingga di kemudian
hari perjuangan mahasiswa itu dikhianati di masa Orde Baru. Soe Hok Gie, salah
satu mahasiswa angkatan 66 semakin frustrasi terhadap negeri dan bangsanya.
Bahkan teman-teman dalam perjuangan tersebut menjadi kaum elit politik yang
berkhianat (memperkaya diri sendiri). Ditambah lagi dengan penculikan,
pembuangan, dan pembunuhan terhadap anggota Komunis dan yang terlibat di partai
berlogo palu parit tersebut.
Di tangan Soeharto,
Indonesia semakin terpuruk, kesenjangan sosial mulai meninggi, praktik korupsi,
kolusi, nepotisme merajalela. Dan tidak mungkin juga kita lupakan, Soeharto
disebut-sebut sebagai Bapak Pembangunan, meskipun utang dan korupsinya juga
sangat besar. Dan pucuk kepemimpinan sang jendral itu berakhir pada tahun 1998,
setelah 32 tahun berkuasa. Soeharto dilengserkan oleh mahasiswa, ini salah satu
bukti nyata bahwa aksi dari persatuan mahasiswa bisa menumbangkan rezim jalim
seperti Soeharto.
Lagi-lagi angkatan
mahasiswa 98 ‘frustrasi’, Indonesia juga tak jelas arahnya. Demokrasi yang
diharap jauh dari harapan, era reformasi tak mencerminkan impian rakyat
seutuhnya. Kemiskinan tak teratasi, kesenjangan sosial tinggi, pendidikan hanya
bagi kaum kaya, KKN masih membudaya di ranah pemerintahan, perusahaan
kapitalisme ‘bersetubuh’ dengan birokrat, presiden hanya macam ompong,
seakan-akan tunduk pada kepentingan dari belakang, hukum yang dikebiri, dan
utang negara semakin menggelembung. Mungkinkah suatu hari nanti Indonesia
bangkrut seperti negara Yunani? Ya, bisa jadi, saudara-saudara!
Di tahun ke-3
kepemimpinan Jokowi-Kalla, istana Merdeka dikepung oleh ribuan mahasiswa dari
berbagai Universita di Indonesia, mereka menilai kepemimpinan Jokowi-Kalla tak
membawa perubahan yang lebih baik lagi bagi bangsa, sebuah rezim yang gagal. Bahkan
di daerah-daerah lainnya, mahasiswa menuntut agar Jokowi-Kalla mundur, karena
dianggap tidak becus memimpin.
Dalam sejarahnya
mahasiswa tidak pernah diam melihat pembodohan, penindasan, kejahatan, dan
penjajahan ekonomi global, seperti yang kita rasakan saat ini. Mereka terus
bergerilya menghimpun kekuatan, menjalin kekuatan dari berbagai organisasi yang
ada di tubuh perguruan tinggi itu sendiri, dan juga organisasi yang lahir dari
masyarakat. Sebab mahasiswa yakin teori-teori yang diajarkan di kelas hanya
omong kosong, dan tidak mengubah sesuatu apapun jika tidak bergerak untuk
mewujudkannya. Sebagai catatan, teori + praktik = perubahan.
Mahasiswa harus bersatu
padu dalam kebenaran apapun latar belakangnya, karena di jiwa mahasiswa itu
sendiri tertanam jiwa-jiwa patriot dari wasiat pejuang terdahulu. Dan ini
adalah wasiat dari mereka yang harus dan terus kita gigit kuat-kuat demi rakyat
Indonesia. Sekarang yang jadi pertanyaannya adalah apakah kita membiarkan
kedzaliman yang terus dirasakan rakyat? Apakah kita hanya duduk belajar di
kelas sementara pendidikan tidak dirasakan sepenuhnya oleh anak-anak miskin? Apakah
kita membiarkan negara ini dikuasai oleh kaum pemodal yang ‘bersetubuh’ dengan
pemerintah?
Tentu saja tidak! Sebagai
generasi perubahan dan pelopor kita harus bersama-sama menjadi pejuang atas
dasar kepentingan rakyat, bukan kepentingan organisasi, bukan kepentingan
partai politik, dan bukan kepentingan diri sendiri. Tundukkan ego kita
masing-masing, saatnya bersatu demi perubahan Indonesia yang jauh lebih baik
lagi. Hidup rakyat! Hidup mahasiswa! Perjuangkan kebenaran, kesejahteraan, dan
keadilan untuk rakyat! [Asmara Dewo]
Posting Komentar untuk "Perubahan Itu Dari Tangan Mahasiswa, Saudara! "