Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Persamaan Qinshihuang dan Soeharto

Untuk menjaga keamanan negara, seorang pemimpin punya cara sendiri untuk menyertir bangsanya. Bahkan demi tujuan kedaulatan negara itu pula, pimpinan tertinggi kerap melanggar hak-hak manusia. Pelanggaran hak-hak manusia untuk mendapatkan informasi kejadian masa lalu sering dianggap membahayakan rezim yang memerintah. Penguasa takut jika rakyat mempelajari sejarah akan membongkar dosa-dosa masa lalu penguasa. Hal itu bisa menjadi pemicu pemberontakan rakyat yang sadar atas nasibnya yang ditentukan oleh pemimpinnya.

Maka untuk menjaga itu semua penguasa harus menciptakan sejarah versi mereka sendiri, dan melenyapkan sejarah yang dianggap bertentangan dengan rezim. Caranya adalah mengumpulkan para cendekiawan untuk membuat karya heroik sang pemimpin, yang kemudian disebarluaskan secara terstruktur, terorganisir, dan masif. Sedangkan buku-buku yang dianggap bersebrangan dilarang peredarannya. Bertahun-tahun hal itu dilakukan, sehingga kerangka berpikir rakyat diisi sejarah versi mereka. Seolah-olah merekalah dewa penyelamat suatu bangsa.

Qinshihuang dan Soeharto 
Di Indonesia bisa dilihat pada tragesi 65. Yang mana pembunuhan 6 Jendral dan 1 Perwira dialamatkan ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Pimpinan PKI saat itu, D.N. Aidit tidak pernah disidangkan di depan pengadilan untuk menyampaikan pembelaan dan kebenarannya. Dia di tembak saat dalam pelariannya. Dampak dari tragedi itu adalah, anggota PKI dan para simpatisan mendapatkan balasannya. Dari pengakuan Sarwo Edi, dia yang memimpin pemusnahan masal itu berjumlah 5 juta korban jiwa.

Tak henti sampai pembantaian itu saja, rezim yang berkuasa membunuh mental keluarga PKI. Setiap keturunan PKI ruang geraknya dibatasi, tidak boleh menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), apalagi menjadi prajurit ABRI (sekarang TNI). Sedangkan para tawanan yang ditangkap setelah keluar dari penjara pun KTP-nya diberi tanda eks. Tapol (mantan tahanan politik).

Untuk menunjukkan kepahlawanan sang pemimpin, dibuat pula film fenomenal sepanjang sejarah Indonesia yang terkenal, Film G 30 S PKI. Doktrinisasi pada film kontroversi itu sukses mencuci otak generasi bangsa. PKI adalah partai kejam yang membunuh jendral yang ingin mengkudeta negara. Sialnya, tahun-tahun berikutnya investor asing mulai menguras kekayaan alam Indonesia, Freeport menanamkan kuku pengerukannya di tanah Papua.

Kaum kritis dibungkam, bahkan dibunuh, terlebih lagi dari golongan kiri yang senantiasa nyawanya terancam. Mengkritik dianggap subversip. Suara ulama tak didengar, sampai Buya Hamka mengundurkan diri dari penasihat presiden. Begitu juga dengan Wakil Presiden, Sultan Hamengku Buwono IX juga mengundurkan diri untuk menemani sang jendral tersenyum tersebut.

Sampai akhirnya Bapak Pembangunan itu ditumbangkan oleh kekuatan rakyat dan mahasiswa pada tahun 1998. Setelah lengser, tahun-tahun berikutnya dosa-dosa beliau diungkap ke publik, dan mendapat predikat tokoh paling korupsi sedunia pada masa itu. Sejarah kembali terkuak, kepahlawanan yang disematkan pada rezim orde baru selama itu hanya untuk kepentingan politiknya semata, bukan demi rakyat Indonesia. Sekarang demokrasi mula tumbuh dengan baik, meskipun masih ada saja oknum yang anti dengan buku-buku kiri.

Sebenarnya kita bisa mengeja, ada kesamaan antara kepemimpinan Soeharto dengan Qinshihuang. Kesamaannya adalah membuang sejarah versi lain, dan melahirkan catatan sejarahnya sendiri. Selain itu juga memimpin dengan cara yang bengis. Dan sama-sama ditakuti oleh rakyatnya.

Dari buku Qin, kaisar Terakota, buah karya dari Michael Wicaksono, dia menuliskan bagaimana perjalan Qinshuhuang menyatukan China yang berseragam dan utuh. Bahkan warisan sistem pemerintahannya masih bisa dirasakan di negeri tirai bambu tersebut. Karena sistem yang kesatuan, seragam, dan utuh itu pula Negara China menjadi kuat, mampu menandingi berbagai sektor negara digdaya seperti Amerika Berikat.

Berikut beberapa kisah penting dalam buku tersebut:

Pada tahun ke-34 pemerintahannya, Qinshihuang mengadakan pesta perjamuan di Istana Xianyang. Ia mengundang para pejabat tingginya, termasuk Perdana Menteri Li Si. Entah atas bujukan siapa, beberapa pejabat tinggi memberanikan diri untuk mengajukan usul mengenai pembagian Kekaisaran Qin menjadi daerah-daerah feodal untuk diatur oleh raja-raja bawahan, dengan kaisar sebagai raja tertinggi. Mereka menggunakan contoh raja-raja di masa lalu yang membagi-bagi wilayah mereka kepada keturunannya sebagai dalil penguat saran mereka.

Li Si kemudian menyanggah usul ini. Ia berkata:

“Lima maharaja tidak saling mencontoh, dan tiga rajasuci tidak saling meniru; masing-masing memerintah dengan caranya sendiri, berlainan satu sama lain, dan berubah seiring dengan perubahan waktu. Saat ini Paduka menyelesaikan tugas agung, menuntaskan tugas yang akan dikenang sebagai keberhasilan selama puluhan ribu generasi. 

Para sarjana bodoh ini mengetahuinya, namun masih berdalih menggunakan ketiga raja suci sebagai contoh; mana dasar hukumnya? Di masa lalu para bangsawan saling berperang satu sama lain, dan mengundang para sarjana yang berkelana. Saat ini dunia sudah aman, standar hukum sudah seragam; rakyat bekerja sebagai petani, dan cendekiawan mempelajari hukum dan aturan serta larangan. 

Sekarang kalian para sarjana tidak menyelesaikan masalah masa kini dan malah mencontoh masa lalu, menolak apa yang sudah terjadi ini, dan menantikan kekacauan bencana. Hamba, Perdana Menteri Li Si, memberanikan diri berkata: zaman dahulu dunia ini kacau balau, tidak dapat bersatu, karena para bangsawan saling beradu senjata, menerapkan aturan masa lalu dan menghancurkan masa kini, memakai kata-kata indah yang tak bermakna dan membuat kekacauan… Hamba memohon agar semua catatan sejarah yang tidak berasal dari Qin dibakar habis. Selain para pejabat daerah yang bertugas menyimpan catatan , siapapun di dunia ini yang menyimpan kitab ‘puis’, kitab ‘sejarah’, maupun buku-buku yang beraliran lain, harus menyerahkannya kepada kepala prajurit setempat atau pejabat daerah untuk membakar buku-buku itu. 

Jika ada yang berani membahas kitab ‘Puisi’ atau kitab ‘Sejarah’, harus dihukum di muka umum. Siapapun yang menggunakan masa lalu untuk menyalahkan masa sekarang harus dihukum sampai ke keluarganya sekalipun. Pejabat yang melihat dan mengetahui adanya hal ini namun tidak melaporkannya juga dijatuhi hukuman yang sama. Jika 30 hari setelah perintah ini diumumkan, orang itu masih tidak membakar bukunya, maka ia harus ditato dan dikirim ke untuk pekerjaan Tembok Besar. Yang tidak dimusnahkan adalah buku-buku tentang pengobatan, ramalan, dan pertanian. Jika seseorang ingin mempelajari hukum, maka orang itu harus menjadikan seorang pejabat sebagai gurunya.”

Retorika ini seperti menampar wajah para pengusul bembagian daerah feodal tadi. Mereka mencaci Li Si sebagai orang yang tak tahu malu dan penuh curiga terhadap orang lain. Mereka juga menuduh Li Si meragukan kesetiaan keturunan kaisar dan keluarga istana. Namun Qinshihuang langsung memotong cacian mereka itu, dan seperti bisa diduga, mengabulkan saran Li Si. Mereka yang tadi membuka mulut dan melontarkan makian, langsung menelan kembali kata-kata mereka dan diam seribu bahasa, agar tidak dituduh “mengkaji masa lalu untuk menyalahkan masa kini”.

Ini adalah awal klimaks perseteruan aliran Legalisme dan Konfusianisme. Perintah kaisar mengenai pemusnahan buku-buku Konfusianisme ini langsung disebarluaskan ke penjuru negeri, dan batas waktu 30 hari untuk penyerahan buku dan pemusanahannya pun dimulai.

1. Yang dimaksud Puisi di sini adalah salah satu kitab klasik Konfusianisme yang menggunakan sajak berima untuk mengajarkan filsafat Konfusianisme
2. Yang dimaksud Kitab Sejarah di sini adalah kitab klasik aliran konfusianisme yang menceritakan sejarah China sejak zaman Raja Yu sampai masa-masa awal dinasti Zhou Barat.

Negara Legalis
Tidak dipungkiri bahwa alirang Konfusianisme memiliki banyak pengikut. Sampai sekarang pun, orang China masih masih menjalankan berbagai aturan dan tradisi yang ditetapkan oleh Konfusius dan penerusnya, Mencius, yang kemudian melembaga menjadi adat-istiadat bangsa China. Konfusius diangkat sebagai Guru Agung, dan pendidikan konfusianisme menjadi standar pendidikan ala kekaisaran China selama berabad-abad sampai di awal abad ke-20.

Menurut ajaran Legalisme, hukum adalah kekuasaan tertinggi negara di bawah sabda raja. Sistem imbalan dan hukuman diatur dengan sangat jelas, dan tidak menyisakan lubang jaring sekecil apapun untuk menjerat semua pelanggar kesalahan, baik rakyat jelata sampai raja sekalipun.

Akibat sistem ini, Qin menjadi negara yang sangat kuat, dan rakyatnya sangat menjunjung tinggi hukum dan mematuhinya dengan sekuat tenaga, sehingga jalan-jalan menjadi aman, dan rakyat terdorong untuk berbuat jasa sebanyak-banyaknya agar mendapat imbalan besar dari negara.

Namun perjalanan aliran Legalisme di Qin selalu mendapatkan benturan dengan para penganut Konfusianisme. Mereka menganggap bahwa aliran Legalisme merusak tatanan moral dan sosial yang sudah lama terbentuk dan berjalan dengan baik. Mereka beranggapan bahwa hanya tatanan sosial dan hukum yang ditempa oleh waktu sajalah yang layak untuk diterapkan, selain juga karena tatanan dan hukum itu diciptakan oleh para raja-raja bijak di masa lalu: Yao dan Shun, Raja Tang dari Shang, maupun Raja Wu dan Zhou. Menciptakan dan menerapakan aturan baru yang tidak teruji hanya akan merusak keteratutan yang sudah tercipta, dan malah menimbulkan kekacauan. [Klickberita.com/Asmara Dewo]

Baca juga:
Negara, Yogyakarta, dan Reformasi Jitu Wei Yang
Tiga Warisan Qinshihuang yang Membuat China Hebat sampai Sekarang
20 Bukti Adanya Kerajaan Sriwijaya dari Peneliti Sejarah Bernard H.M Vlekke


Posting Komentar untuk "Inilah Persamaan Qinshihuang dan Soeharto"