Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Boikot yang Menjadi Senjata Rakyat

Boikot pertama kali didengar dan dijalankan di Indonesia di awal kebangkitan nasional, yaitu di awal abad 20, tahun 1906-1907. Sebuah artikel “Boycott” yang tajam dan liar dari Bapak Pers Nasional Tirtho Adhie Soerjo melalui surat kabar asuhannya, Medan-Prijaji, membuka mata dan telinga pribumi. Tirtho Adie Soerjo secara tak langsung mendidik pribumi untuk melawan atas kesewenang-wenangan perusahaan gula, pemerintahan Belanda, dan kaum priyayi yang jadi tangan kanan Gubermen (Pemerintah Belanda). 

Ketika itu pengusaha-pengusaha batik yang bergabung di SDI (Serikat Dagang Islam) Solo dan Yogyakarta agar memboikot barang-barang dari perusahaan Belanda. Para pengusaha batik tidak membeli bahan lagi terhadap perusahaan tersebut. Akibat pemboikotan itu pula beberapa perusahaan Belanda gulung tikar. Hal ini membuat pemerintah Belanda berang, dan mulai terusik kedaulatannya. Sebab pemerintahannya sendiri digerakkan oleh roda perusahaan yang dikendalikannya. 

Ilustrasi Boikot | Foto Shutterstock 
Dalam novel Jejak Langkah karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, sempat menyinggung awal pemboikotan di novel sejarah paling fenomenal tersebut. “Boycott, Tuan,” kata Frischboten. Kemudian ia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi, “dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah.”

Boikot sendiri awal katanya adalah boycott. Dikutip dari blog hidayatadhiningrat, Boycott merupakan nama seorang mantan militer Britania, Kapten Charles Cunningham Boycott. Setelah Kapten Boycott pensiun dari dinas militernya, ia ke Irlandia menjadi agen tanah untuk tuan tanah bangsawan, Lord Erne (John Crichton, Earl Erne Ketiga). Di tahun 1880, petani Irlandia mengalami masa panen yang sangat buruk. Para petani yang menyewa lahan Lord Erne meminta harga sewa lahan diturunkan sebanyak 25 persen. 

Namun tuan tanah bangsawan itu menolaknya, melalui tangan kanannya, Kapten Boycott. Penurunan harga sewa tanah hanya 10 persen. Para petani itu pun memprotes, tapi Kapten Boycott malah mengganjar mereka dengan mengusir 11 orang petani, dan memilih untuk menggarap lahan sendiri. Inilah awal mula penyebab kemarahan petani. 

Pada saat itu sudah berdiri sebuah organisasi Liga Lahan Irlandia, yang dipimpin leh Charles Stewart Parnell dan Michael Davitt. Atar laporan anggotanya itu Charles Stewart Parnel memberikan solusi jitu yang dikenang sepanjang masa, katanya dalam pidatonya: “Saat seseorang mengambil-alih ladang tempat seseorang lain telah terusir, kalian harus menghindar darinya saat bertemu di jalan – kalian harus menghindar darinya di jalan-jalan kota – kalian harus menghindar darinya di toko – kalian harus menghidar darinya di ladang dan di tempat umum – dan bahkan di tempat ibadah, dengan membiarkannya sendiri, memberinya pengucilan moral, mengasingkannya dari tempat ini, seolah-olah dia seorang penderita kusta – kalian harus menunjukkan padanya sikap benci terhadap tindak kejahatan yang dia lakukan.”

Petani pun menjalankan ucapan Charles Stewart Parnel, hasilnya Kapten Boycott mengalami kesulitan untuk memanen kebunnya, karena tidak ada yang mau bekerja untuknya. Kapten Boycott terpaksa mendatangkan pekerja dari luar yang dikawal ketat 1.000 polisi. Namun Kapten Boycott malah rugi besar, karena biaya untuk memanen lebih besar dari hasil panennya. Karena itu pula Kapten Boycott pun bangkrut. 

Sejak itulah kata Boycott santer di surat kabar, sampai di Indonesia sendiri pada awal abad 20 mulai memperlakukan pemboikotan. Benarlah apa yang ditulis Bung Pram dalam novel jejak langkahnya: “Bahwa yang kecil tidak selamanya kalah, bahkan yang besar-besar selalu dikalahkannya? Kuman kecil juga menumbangkan gajah.”. Boikot mengajarkan persatuan, peringatan, dan perlawanan. 

Boikot sudah menjadi senjata rakyat, ketika rakyat sudah tidak suka terhadap perusahaan, malahan benci sekali, maka jika sudah mengeluarkan senjatanya, siap-siap perusahaan akan gulung tikar. Apakah perusahaan yang semena-mena tidak pernah belajar sejarah?! Jangan anggap enteng rakyat, sekali rakyat teriak boikot, maka tak terbendung lagi kekuatan rakyat. Bagaimanapun caranya. [Klickberita.com/Asmara Dewo] 

Baca juga:
Mengkritik, Ikut Demo, dan Berorasi Di Indonesia Dianggap Makar

Info Penting: Klick Berita di-update setiap Sabtu pagi. Nantikan artikel kami di pekan depan, terimakasih.

Lihat video terbaru asmarainjogja:

Katon Bagaskara di festival Gunung Sewu:



Posting Komentar untuk "Sejarah Boikot yang Menjadi Senjata Rakyat"