Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jika TNI Jadi Penasihat Hukum "Pasti Banyak Menang"

Ilustrasi Pengadilan


Klickberita.com-Saya membayangkan ketika Penasihat Hukum seperti TNI (Tentara Nasional Indonesia) bisa mengadvokasi kasus-kasus sipil, baik dalam tahap non litigasi, maupun di litigasi (peradilan umum). Berbadan tegap, berambut cepak, berbicara tegas, intelektual teruji, dan setiap anggota berjiwa Korsa yang tidak diragukan lagi. Saya sangat yakin setiap perkara “pasti banyak menangnya”.

Selain itu masyarakat awam nan miskin yang mencari keadilan, tetapi diacuhkan oleh Polri (Polisi Republik Indonesia), Jaksa, Hakim, dan tidak maksimalnya pendampingan hukum oleh Advokat Sipil, tentu memilih Penasihat Hukum/Kuasa Hukum dari kalangan TNI. Kenapa? Karena mendapatkan keadilan saat ini di Indonesia bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Alih-alih mendapatkan akses keadilan di tingkat kepolisian, yang ada jadi korban PHP (Pemberi Harapan Palsu) petugas.

Tak heran ada pameo hilang kambing, jadi hilang kerbau.

Jadi masyarakat memilih jalan lain untuk mendapatkan keadilan. Ya, karena penegak hukum sendiri yang memudarkan harapan dan kepercayaan masyarakat.

Apakah Anda pernah mengalami permasalahan hukum dengan Kepolisian? Lalu bagaimana pengalaman Anda saat menghadapi mereka?

Saya sangat senang jika kita mau berbagi pengalaman bagaimana penegak hukum seperti anggota Polri yang melanggar SOP dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Belakangan terjadi perdebatan publik karena Mayor Dedi Hasibuan mendatangi Polresta Medan untuk penangguhan tahanan terhadap saudaranya. Tetapi petugas Polresta bersikukuh tetap menahan saudara Mayor dalam kasus dugaan pemalsuan surat keterangan lahan. Alasan Petugas Polri karena ada laporan lainnya terhadap saudara TNI tersebut, jadi tidak satu perkara saja.

Buntutnya, Mayor Dedi Hasibuan sempat diperiksa oleh Puspom TNI dan Puspomad dan hasilnya sang mayor tidak terbukti melanggar pidana.

Permasalahannya tidak sampai di situ saja. Kalangan Advokat dan Organisasi yang berbasis penegakan demokrasi bersuara atas sikap Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro yang mengatakan seorang perwira hukum bisa menjadi penasihat hukum dalam persidangan. Legal Standing-nya berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1971.

Mengacu Undang-Undang Advokat dan Permenkumham

Pasal 1 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat menjelaskan “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 18/2003 yang bisa diangkat menjadi Advokat adalah “ tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.”

Dan TNI adalah pegawai negeri sebagaimana Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pegawai negeri terbagi menjadi: 1. Pegawai Negeri Sipil atau ASN, 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lalu selain Advokat siapakah yang bisa mengadvokasi masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum? Jawabannya adalah Paralegal.

Pasal 1 ayat 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum menjelaskan: “Paralegal adalah setiap orang yang berasal dari komunitas, masyarakat, atau Pemberi Bantuan Hukum yang telah mengikuti pelatihan Paralegal, tidak berprofesi sebagai Advokat, dan tidak secara mandiri mendampingi Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan.”

Nah, siapa yang bisa direkrut jadi Paralegal? Pasal 4 huruf d Permenkumham No. 3/2021 menjelaskan: “Untuk dapat direkrut menjadi Paralegal : d. bukan anggota TNI dan Polri, atau Aparatur Sipil Negara.”

Jadi jelas TNI tidak bisa memberikan bantuan hukum secara litigasi maupun non litigasi.

Pertanyaannya mana yang lebih diutamakan Undang-Undang atau Surat Edaran? Pasti Undang-Undang.

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menerangkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Asas lex superior derogate legi inferiori, bisa diartikan peraturan perundang-undangan yang di bawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Pasal 1 ayat (43) Permendagri No. 55 Tahun 2010 menjelaskan “Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.”

Dan SE bukan peraturan perundang-undangan, SE diterbitkan untuk memperjelas suatu peraturan perundang-undangan, bukan malah sebaliknya bertentangan dengan Undang-Undang itu sendiri. Seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1971. Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka secara otomatis SE tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Merebut Keadilan

Masyarakat yang sedang menghadapi suatu permasalahan hukum sudah tepat didampingi Advokat atau Paralegal dari Organisasi Bantuan Hukum. Jika masyarakat itu digolongkan kurang mampu untuk membayar honorarium, maka bisa mencari Organisasi Bantuan Hukum.

Memang di lapangan sulit untuk mengakses keadilan, terlebih lagi di tingkat paling bawah, di Kepolisian. Presisi seperti slogan yang digembar-gemborkan Kapolri Sigit Sulistyo seperti omong kosong. Anggota di bawah tidak serius menerapkannya.

Alhasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri paling rendah dibandingkan penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan KPK. Korps Bhayangkara itu hanya mendapatkan 64% kepercayaan masyarakat berdasarkan survei LSI yang dikutip Kata Data pada Februari 2023. Sementara Kejaksaan 72%, Pengadilan dan KPK 71%.

Sebaliknya tingkat kepercayaan masyarakat pada kelembagaan, TNI juaranya. TNI mendapat kepercayaan 29%, dan Polri hanya 8%.

Berdasarkan data di atas, tidak heran masyarakat yang memiliki keluarga dari TNI mengadu atas permasalahan hukumnya. Sebenarnya ini bukan solusi untuk mendapatkan keadilan, tapi di lapangan terjadi.

Kita masih ingat 6 anggota TNI menuduh seseorang pencuri motor karena motor salah satu keluarga prajurit itu hilang. Akibatnya lelaki itu sempat dianiaya dan dibawa ke kantor kepolisian. Setelah diperiksa pemuda yang sudah babak belur belum terbukti pelakunya.

Tentu kita tidak menyetujui langkah yang diambil oleh prajurit tersebut, karena arogan dan budaya kekerasan berujung pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Sangat menyayangkan TNI mengurusi permasalahan sipil.

Kita juga berharap terhadap rekan-rekan Advokat untuk menjalankan Probono atas perintah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Hal ini tak hanya mengungkap kebenaran materil saja, tetapi juga dengan hukum formilnya. Karena saya sangat yakin, profesi Advokat yang bisa menjalankannya, dan tentu saja lebih humanis, sebagaimana perintah Undang-Undang Advokat.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat dan Konsultan Hukum

Sumber: Advokatmanado.com

Posting Komentar untuk "Jika TNI Jadi Penasihat Hukum "Pasti Banyak Menang""